SELAMAT JALAN ISTRIKU
Tiba-tiba HP
ku berdering, setelah menjawab salam suara diseberang telepon tampak
panik “Ayah... bunda mimisan nich.” Hmm... kumaklumi kepanikan istriku
saat itu karena belum pernah dia mengalami mimisan seperti ini.
Memang cuaca di bulan Agustus 2007 siang itu begitu teriknya. Aku pikir
ini akibat cuaca yang terik itu. Kemudian aku sarankan dia untuk segera
ke dokter.
Beberapa hari
kemudian istriku sakit pilek. Seperti biasanya kalau sakit ia hanya
minum obat warung dan jarang sekali mau periksa ke dokter. “Oalah
bunda…. ke dokter ajah kok takut,” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya
dengan ujung jari, ia merajuk bibirnya maju 2 centi, lucu melihatnya
seperti itu.
Dua minggu berselang tapi pileknya belum juga
hilang. Malah katanya ada yang terasa menyumbat di saluran hidungnya,
rasanya tak nyaman dan susah bernafas. “Bun… besok kita ke Rumah Sakit
ya! biar ayah ijin masuk siang,” rayuku agar ia mau ke Rumah sakit.
Keesokan harinya saya ajak ia ke RS. Bhakti Yudha Depok. Saat itu
dokter THT bilang istriku alergi pada debu dan juga bulu-bulu binatang.
Tapi sampai obatnya habis pileknya belum juga ada tanda-tanda
kesembuhan.
Anehnya yang sering keluar lendir hanya hidung
sebelah kiri saja. Bahkan istriku mulai susah bernafas melalui hidung,
ia hanya bisa bernafas melalui mulut. Dan ketika saya membawanya periksa
untuk kedua kalinya dokter menyarankan untuk rontgen. Namun dari hasil
rontgen tidak terlihat adanya kelainan apapun di hidung istriku.
***
Tanggal 3 Nov 2007 ...
Aku mengajaknya periksa ke RS Proklamasi Jakarta, karena menurut
informasi di sini peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar, dengan alat
penyedot dokter mengeluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Senang
rasanya melihat ia dapat bernafas dengan lega. “Alhamdulillah…”
Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul. “Duh... bunda!”
Kontrol kedua ke RS. Proklamasi masih saja dokter belum bisa
menyampaikan penyakit apa yang dialami istriku ini.
Dokter
memasukkan kapas basah ke hidung istriku (ternyata itu adalah bius
lokal), beberapa saat kemudian sebuah gunting kecil dimasukkan kedalam
hidung dan... “krek” potongan daging kecil diambil. Belakangan baru aku
tau tindakan inilah yang dinamakan biopsi. Tak ada yang disampaikan
kepada kami. Dokter menyarankan dilakukan CT Scan. Kemudian kami menuju
ke RSCM untuk CT Scan.
Keesokan harinya hasil CT Scan aku bawa
kembali ke Dokter RS Proklamasi. Setelah melihat hasil Scan, Dokterpun
menyampaikan hasilnya dan juga hasil biopsi dari laboratorium.
“ini ibu positif,” kata dokter sambil menunjukkan foto CT Scan. Nampak
ada sebuah massa diantara belakang hidung dan tenggorokan istriku. Cukup
besar seukuran kepalan tangan. Aku masih belum mengerti maksud
kata-kata nya dan memang sama sekali tak ada pikiran yang aneh aku coba
bertanya, “maksudnya apa dok?”
“Itu positif kanker!”
Dek... seolah detak jantungku berhenti “KANKER… Dok?” Tiba-tiba mataku
jadi gelap, sebuah beban berat serasa menindih badanku. Aku diam dan tak
bisa berkata apa-apa, lama aku terdiam.
“Kanker...?” tanyaku,
tapi kalimat itu tak mampu terucap hanya bersarang di kepalaku. Sebuah
penyakit yang selama ini hanya aku kenal lewat informasi dan
berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri orang terdekatku orang
yang paling aku sayangi. Penyakit yang menakutkan itu menyerang istriku.
Kutatap wajah cantik istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang... teduh… Tak ada ekspresi apa-apa aku makin bingung.
“duhh… bunda apa yang ada dalam fikiranmu bunda…”
“Sekarang bapak ke RSCM ke bagian Radiologi kita harus bertindak
cepat,” tiba-tiba aku tersadar. Segera kuambil surat pengantar dokter
dan menuju RSCM.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun
sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker
di ruang tunggu spesialis Radiologi ini. Aroma kecemasan bahkan keputus
asaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi
saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan istriku. Aku harus tetap
menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Dihadapan dokter Radiologi aku bertanya, “sebenarnya istriku kena kanker apa dok?”
“kanker nasofaring.” jawab dokter singkat.
Ya Allah….kanker apa lagi ini? Istilahnya saja aneh bagiku. Kenapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi Insya Allah masih bisa disembuhkan dengan pengobatan sinar
radiasi dan kemoterapy,” dokter mencoba menangkap kegalauan diwajahku.
“Nanti ibu harus menjalani pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Terbayang beratnya derita dan kelelahan yang harus dialami istriku.
Belum lagi dengan kombinasi pengobatan kemoterapy yang melemahkan fisik.
Keluar dari ruang radiologi seolah semuanya jadi gelap, rasanya aku tak
kuat menahan segala beban ini. Segera aku sms family dan teman-teman
dekatku, aku kabarkan keadaan istriku dan kumintakan do’a dari mereka.
Tak terasa bulir-bulir bening air mata bermunculan di sudut mataku.
“Ayah kenapa? nangis yach...?” dengan polos pertanyaan itu kel uar dari bibir istriku.
“iya, ayah sayaaang… sama bunda,” suaraku gemetar.
Ku usap lembut kepala istriku. Ku tepis perlahan tangannya yang mencoba
mengusap air mataku, ku gengggam kuat jari-jari lemahnya. Hatiku
berbisik “kenapa tak ada kesedihan di wajahmu bunda? apakah bunda ga tau
penyakit ini begitu berbahaya? Atau Allah telah memberitahukan ini
semua kepadamu?”
“Bunda biasa ajah koq...” Jawabanya malah makin membuatku tak bisa bernafas, air mataku akhirnya jatuh juga.
Kususuri lorong-lorong RSCM dengan langkah lemas tak bertenaga seolah
aku melayang, tulang-tulang terasa tak mampu menyangga badanku yang
kecil ini.
Tanggal 5 Desember 2007 ...
Mulai hari itu
istriku harus dirawat inap di RS. Proklamasi. Semua persiapanpun
dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll. Hasilnya rahim masih bersih dan
tulangpun normal artinya kankernya belum mejalar ke bagian lain,
Alhamdulillah… sempat kuucap kata syukur itu.
Tanggal 8 Desember 2007 ...
Hari ke empat. Sore itu aku dipanggil ke ruang Dokter Sugiono yang akan
melakukan Kemoterapy. Dikatakan bahwa kanker istriku stadium 2A dan
Insya Allah masih bisa diobati. Istrikupun siap untuk menjalani
pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian kami minta ijin ke Dokter untuk
diperbolehkan pulang sambil mempersiapkan segala sesuatunya.
Malam hari ketika kami di rumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga
tentang pengobatan yang akan kami lakukan. Dengan berbagai pertimbangan
dan alasan pihak keluarga menyarankan agar kami tidak menempuh jalan
kemo dan radiasi. Kami disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara
alternatif dan pengobatan herbal.
Akhirnya sejak saat itu kami
melakukan ikhtiar pegobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat
herbal. Karena saat itu istriku sudah susah untuk menelan maka obat
herbal yang diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan.
Setiap hari istriku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal yang
baunya sangat menyengat. Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar
rutin minum semua obat-obatan itu.
Semangatnya untuk sembuh
begitu besar. Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan
malam-malamku selalu ku habiskan dengan tahajud dan hajat.
Aku
mulai rajin mencari semua informasi yang berhubungan dengan kanker
nasofaring, mulai dari makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik
pengobatan alternatif. Semua informasi aku cari melalui internet, koran
dan dari rekan-rekan kerja.
Tiga bulan pengobatan, tapi Allah
sepertinya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akhirnya obat
herbal aku tinggalkan. Bahkan pengobatan alternatif sudah aku
tinggalkan sejak 1 bulan pertama karena aku ragu. Beberapa keluarga
istri mulai putus asa. Malah ada yang beranggapan penyakit ini adalah
kiriman dari orang. Tapi aku bantah semuanya,sempat ada pertentangan di
antara kami. Aku yakinkan istriku bahwa ini adalah memang ujian dari
Allah,
“Bun... semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh
sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit,
berobat kesini-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bun. Yang
penting sekarang kita jangan lelah berihtiar dan bunda tetep harus
semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.
Berat badan
istriku mulai turun drastis karena tak ada asupan makanan, sebelum sakit
beratnya 53 Kg kini tinggal 36 Kg. Kondisinya makin parah dan puncaknya
ketika aku lihat mata kirinya sudah tak focus. Cara ia melihat seperti
orang juling. Menurut Dokter herbal yang menangani istriku inilah
rangkaian perjalanan kanker tersebut yang lama kelamaan akan menyerang
otak. Dokter menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Tanggal 26 Maret 2008 ...
Akhirnya aku kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kali ini aku membawanya
ke RS. Husni Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang terdiri Dokter
THT, Dokter Internis dan Dokter spesialis ahli kemoterapy; Kebetulan
Dokter Sugiono ahli kemoterapy yang dulu merawat istriku di RS.
Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini Dokter sugiyono kembali
menangani istriku.
Sore itu Dokter memanggilku ke ruangannya.
Dokter menjelaskan stadium kanker istriku sudah menjadi 4C, dan
kankernya sudah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak.
Melihat hasil CT Scan nya aku merinding, terlihat jelas tulang-tulang
tengkorak itu keropos layaknya daun termakan ulat. Aku ingin menjerit,
“Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ayah bun, ayah tak mampu menjaga bunda…!”
Yang lebih mengagetkan ketika dokter mengatakan, “kita hanya bisa
memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.” Seolah hitungan
mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan hampir taksadarkan diri,
sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar. Dengan dipapah adik aku
keluar dari ruang dokter.
Segera aku menuju Mushola kuambil air wudhu dan kujalankan sholat. Entah sholat apa yang kujalankan ini.
“Aku ingin ketenangan aku butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan
segala permohonan ini di hadapanMu yaa Allah. Bisa saja dokter memfonis
dengan analisanya, tapi Engkaulah yang maha kuasa atas segala
sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua takdir, sakit ini dariMu ya
Allah dan padaMU juga aku mohon obat dan kesembuhannya.”
Segala
ikhtiar dan do’a tiada lelah kulakukan tuk kesembuhan istriku.
Malam-malamku kulalui dengan sujud panjang di samping bangsal rumah
sakit. Kubenamkan wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi, tiba-tiba aku
merasa tak mimiliki kekuatan apapun, aku berada dalam kepasrahan dan
penghambaan yang lemah.
“Robb… Engkau maha mengetahui, betapa
segala ihtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah kami melawan penyakit
ini, kini aku serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup
mengalahkan kekuatannMu yaa… Robb, Tunjukkan pertolonganMu, beri
kesembuhan pada istriku Ya... Allah.”
Saat itu istriku masih
bisa bicara meski dengan suara kurang jelas. Karena tenggorokannya pun
sudah menyempit tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas.
Untuk mengantisipasi agar tidak tersumbat saluran nafasnya, dokter
menyarankan agar dipasang ventilator dileher istriku. Akupun
menyetujuinya meskipun aku tak tega, tapi ini resiko terkecil yang bisa
diambil.
Istriku pasrah, dia minta aku menemaninya ke ruang
operasi. Aku sangat mengerti ia sangat takut dengan peralatan medis di
ruang operasi. Kemudian aku mendampinginya kedalam ruang operasi untuk
pemasangan Ventilator. Aku melihat dengan jelas leher istriku disayat
kemudian dimasukkan alat bantu pernafasan itu. “Sebenarnya aku tak tega
melihatmu seperti ini bunda, tapi inilah yang terbaik untukmu saat ini.”
Selesai pemasangan ventilator bicaranya sudah tak bersuara lagi. Sejak
saat itu praktis komunikasi kami hanya dengan isyarat atau terkadang
istriku menulisnya pada lembar-lembar catatan kecil yang sengaja aku
siapkan. Tentu saja hal ini terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia
terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia mengeluh.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan akupun menyetujui untuk dilakukan kemoterapy terhadap istriku.
Tanggal 6 April 2008 ...
Kira-kira jam 12 siang kemo tahap pertama dilakukan. Dengan perasaan
tak menentu aku melihat dokter meracik obat dengan perlengkapan pengaman
yang lengkap. Karena menurut dokter obat ini memang keras.
“Ya Allah beri kekuatan pada istriku…!” Beri kesembuhan melalui ihtiar obat ini ya Allah...!”
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga.
Menurut Dokter kemo ini dilakukan dalam 3 sampai 5 tahap. Satu tahapan
kemo memakan waktu 5 hari kemudian jeda 3 minggu untuk dilanjutkan ke
tahap berikutnya.
Hari kedua setelah kemo kurang lebih jam 9
malam, istriku mulai merasa mual dan muntah. Hari ketiga jam 12 malam
mulai keluar mimisan dengan darah hitam mengental. Hari ke empat jam 8
pagi ketika saya memandikan dan membersihkan mulutnya yang terus menerus
mengeluarkan lendir, terdapat lendir bercampur darah hitam pekat dan
mengental.
Menurut dokter ini adalah tanda kankernya sudah
mulai hancur. Malam harinya istriku tidur sangat nyenyak dan tidak
banyak batuk berdahak seperti hari-hari sebelumnya.
Alhamdulillah kemo tahap pertama selesai. Dokter bilang jika kondisi
istriku membaik maka tiga hari lagi boleh pulang. Terlihat wajah cerah
istriku ketika mendengar kabar ini. “nanti kalo pulang mau kemana bun...
ke Sawangan apa ke Kebayoran (rumah ibunya)?”
“Ke Sawangan aja
rumah kita sendiri,” jawabnya melalui secarik kertas. Namun ternyata
dua hari kemudian ia mengalami diare yang hebat ini adalah efek samping
dari obat kemo, sehingga kondisinya kembali lemas. Rencana pulangpun
harus ditunda menunggu kondisinya membaik. Tetapi makin hari kondisi
istriku makin drop. Hingga menjelang kemo tahap kedua malah albumin
dalam darahnya menurun.
Selama dirawat istriku meminta agar
saya sendiri yang memandikannya, bahkan aku juga yang membersihkan
kotorannya. Semuanya saya kerjakan dengan telaten karena aku merasa
sekarang saatnya untuk membalas semua kebaikan yang telah dilakukannya
kepadaku selama ini. Ketika istriku sehat dialah yang selalu merawatku,
menemaniku dan selalu menyiapkan semua kebutuhanku.
Selama
hampir satu bulan di Rumah Sakit kami merasa menemukan keluarga baru.
Keakraban terjalin antara kami dengan team dokter, dengan para suster
bahkan juga dengan cleaning service yang tiap hari membersihkan kamar
istriku. Saya merasa senang ketika suatu hari istriku dapat tertawa
riang bercanda dengan para suster meski tawanya tanpa suara.
Minggu, 4 Mei 2008 ...
Kemo tahap ke 2 dilakukan. Sepertinya Allah benar-benar menguji
kesabaranku. Ketika hendak dilakukan kemo, tabung infus 1000cc yang
digunakan untuk campuran obat kemo ternyata tidak ada. Rumah sakit
kehabisan stock, dan ini adalah sebuah kecorobohan yang mestinya tidak
terjadi.
Karena tentunya pihak rumah sakit telah mengetahui
jadwal pelaksaan kemo ini. Dokterpun marah. Kemudian Dokter menyarankan
saya untuk segera membeli sendiri tabung infus di tempat lain. Tujuan
saya adalah RSCM sebagai Rumah sakit terdekat, namun jika menuju RSCM
menggunakan kendaraan akan memakan waktu lama karena jalannya memutar.
Saya pun berlari ditengah terik matahari pukul 12 siang menuju RSCM.
Namun di sana pun tidak tersedia, kemudian saya berlari lagi menuju RS
Sant Carolus, di sinipun nihil.
Begitu juga ketika saya ke
Apotik melawai tak bisa mendapatkannya. Akhirnya saya mendapatkan tabung
infus tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat. Akhirnya kemo tahap ke 2
pun dapat dilakukan.
Senin, 5 Mei 2008 ...
Hari ini
Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke 4. Perhatian dan kecintaan
istriku pada anaknya tak pernah berkurang. Dibatas ketidak berdayaannya
dia menuliskan sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah buat Dinda, ayah
beliin jaket nanti bunda titip mukena, kasihan mukena dede sudah jelek.
Bilang ke dede ini mukena dari bunda.”
Atas permintaan istriku
siang itu sebagai tanda syukur kami memotong 2 buah kue ulang tahun
yang salah satunya untuk dibagikan ke suster-suster yang jaga. Kemudian
istriku minta dibantu turun dari tempat tidur, katanya ingin duduk
bareng deket Dinda. Ia mencoba memberikan senyum bahagia pada Dinda dan
menyembunyikan rasa sakitnya. Sementara Dinda nampak bahagia dipangku
bundanya, mungkin ia mengira bundanya hanya sakit biasa saja. Lagu
“selamat ulang tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku.
Terasa pilu aku menatap mereka.
Selasa, 13 Mei 2008 ...
Biasanya jika istriku menginginkan sesuatu ia akan membangunkan saya
dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Namun malam itu saya merasa sangat
ngantuk dan lelah, saya menulis pesan pada istriku, “bun... nanti kalo
perlu apa-apa panggil suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape, jangan
bangunin ayah ya!” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia
mengusap tanganku kemudian menuliskan sesuatu “ayah tidur aja gapapa
kok, bunda juga mau istirahat.”
Rabu, 14 Mei 2008 ...
Entah mengapa pagi ini aku sangat ingin merawatnya. Ketika ia kembali
diserang diare berkali-kali yang sangat hebat aku sendiri yang
membersihkan semuanya. Kemudian memandikannya dan mengganti pakaiannya.
Pagi itu aku minta Lia anak sulung kami yang masih duduk di kelas 5 SD
untuk menjaga bundanya, sebelum kemudian aku tinggal berangkat kerja.
Siang pukul 11 Lia menelpon “Ayah, bunda pingsan nafasnya cepet
banget.” Aku kaget dan sangat khawatir. Selang 15 menit Lia sms “bunda
sekarang ada di ruang ICU”. Astaghfirullah haladziim… apa yang terjadi
pada istriku. Segera aku minta izin meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit
aku dapati Lia menangis sesegukan tak berhenti. “bunda yah… tolongin
bunda yahh…!”
Kuhampiri istriku yang tergolek taksadarkan diri.
Perawat memasang semua peralatan pada tubuh istriku, entah alat apa
saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali. Tangan dan kakinya
pun sangat dingin. Hingga menjelang maghrib aku tak beranjak dari
sampingnya. Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa. Sementara di luar
ruang ICU sudah banyak kerabat berdatangan.
Tekanan darahnya
sangat rendah di bawah 70. Dokter memberikan obat penguat tekanan darah
dengan dosis tinggi. Tekanan darahnya sempat naik namun masih dikisaran
75-80, sangat rendah. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat perangsang
namun hasilnya tetap sama tak berubah. Dokter memanggilku, perasaanku
gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan
yang amat sangat. Dugaanku benar Dokte rpun menyerah.
Melihat
kondisinya yang terus menurun ia menyarankan agar semua alat bantu
dilepas saja. “maksudnya dok...?” aku menodong penjelasan. “secara medis
kondisi ibu sudah tidak dapat ditolong lagi, lebih baik kita do’akan
saja.” Aku benar-benar lemas mendengarnya seluruh badanku gemetar
merinding “benarkah tak ada lagi harapan.” Tiba-tiba aku merasakan
ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau menyerah, aku meminta agar semua
alat bantu itu tetap terpasang pada tubuh istriku, sambil menunggu
keputusan team dokter besok pagi.
“Aku tak mau kehilanganmu
bunda.” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, ayah
ingin menatap mata bening bunda untuk terakhir kalinya,” kubisikan
lembut ditelinganya.
Pukul 22, aku disodori surat pernyataan,
tak sempat aku baca, kata suster ini adalah Surat persetujuan untuk
melepas semua alat bantu dari tubuh istriku. “Tak sanggup aku melakukan
ini bun, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu
meski dalam ketidakberdayaanmu.”
Akhirnya adikku yang
menandatanganinya. Aku tak ingin selalu dihinggapi rasa bersalah jika
menandatangani surat itu. Kemudian semua alat bantu dilepas dari tubuh
istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.
“Bun…
Inilah yang terbaik yang diberikan Allah buat kita, maafkan ayah bun
ayah tak bisa menjaga bunda. Ayah ikhlas bunda pergi, ayah terima semua
dengan ihklas bun... Jangan khawatir bun, ayah akan menjaga dan merawat
anak-anak kita,” kubisikan lirih di telinga istriku.
Kutemui
Lia yang menunggu di luar ruang ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia
menangis keras sejadi-jadinya, mungkin ia paham apa yang kumaksudkan.
“Bunda… Lia ga mau kehilangan bunda, jangan tinggalin lia bundaa...!”
Tangisnya memekik, merebut perhatian semua orang di ruang tunggu ICU
ini. Semua mata menatap kami tapi mereka diam seolah mahfum dengan
keadaan kami.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah aku
mengucapkan kata-kata menyerah “kalau memang hendak Engkau ambil, maka
mudahkan,” tak pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta
kesembuhan, kesembuhan karena aku memang menginginkan istriku
benar-benar sembuh.
Sepertinya kini aku harus menyerah dan
pasrah “Ya... Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas
ya Allah…, mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul
khootimah.”
Menurut suster dalam kondisi seperti ini pasien
masih bisa mendengar. Kubimbing istriku menyebut kalimat “LAAILAHA
ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH...” perlahan aku membimbingnya. Rasanya
aku mengerti betul setiap helaan nafasnya, raga kami bagai menyatu.
Kuulang hingga berkali-kali dengan helaan nafas yang terirama pelan. Dua
bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia sanggup
mengikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah...!
Kamis, 15 Mei 2008 ...
Aku terbangun ketika tiba-tiba seorang suster memanggil “Keluarga ibu
Siti Nurhayati...!” Aku bergegas masuk ke ruang ICU, jam menunjuk Pukul
05.05, masih pagi dengan hawa dingin yang menyusup tulang. “Ma’af pak,
ibu sudah tidak ada.” ujar suster tadi singkat. Meski aku tau maksudnya
tapi aku masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung
ketubuh istriku. Tak ada lagi yang bergerak disana.
Bagai
tersambar petir, kudekap tubuh lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris
senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN.” Aku lunglai terduduk
disampingnya tapi tak ada lagi air mata yang keluar. “Bun, Ayah ikhlas
melepas bunda, Allah telah memilihkan jalan terbaik buat kita.”
Selamat Jalan Istriku… jemput aku dan anak-anak nanti di pintu SurgaNya.
=====
Sumber : Sudah Tahukah Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar