Jumat, 08 Februari 2013

Phsycopate Class ch. 3

Sudah ada 7 orang yang dimasukkan ke ruang eksekusi kelas 7I dan diledakkan dengan bom rakitan Willy. Dan hasilnya, ruang eksekusi mereka menjadi kotor oleh darah dan bau oleh mayat yang membusuk. Siapa yang mau disuruh membersihkan mayat?
Apalagi, setelah beberapa kejadian pembunuhan, kelas 7I menjadi kelas yang bisa dibilang angker. Beberapa anak indigo (dapat melihat makhluk ghaib) sering melihat penampakan di sekitar kelas 7I. Anak 7I pun merasakan hawa-hawa aneh setiap kali mereka berkumpul di kelas itu.
“Teman-teman,” kata Juliet, dengan ekspresi khawatir. “Apa kalian merasa, di kelas ini ada hantunya? Aku sering merinding setiap duduk di sofa atau bermain komputer.”
“Ya, aku juga merasakannya,” kata yang lain.
Keadaan itu berlanjut sampai beberapa minggu. Bahkan, Charlene pernah menemukan sebongkah kepala di dalam lokernya. Padahal, di kelas itu tak ada yang mau membersihkan mayat dari ruang eksekusi dan anak kelas lain terlalu lemah untuk menyentuh mayat. Sedangkan Nath, dia pernah ditarik oleh makhluk ghaib ke perpustakaan, padahal jelas-jelas dia berjalan sendirian. Dan minggu-minggu di sekolah itu semakin menakutkan bagi mereka.

Hari Sabtu.
“Ya ampun, aku tak tahan lagi berada di sini!” keluh Allison. Dia baru saja datang sambil ngos-ngosan karena ada makhluk ghaib yang menggelayutinya.
“Aku juga, Al! Kau ingat kan, dulu aku pernah menemukan kepala?” kata Charlene, kesal. Apalagi setelah menemukan kecoak di dalam tasnya. “Astaga! Kecoak! Sejak kapan kecoak ada di sini?”
Licorice mengangkat bahu. “Kita harus pindah dari sekolah ini. Kita bisa saja membunuh murid lain, tapi itu sama saja dengan menambah hantu di sekolah ini.”
Allison mengangguk, lalu diam. Tiba-tiba, “AHA! Aku tau!”
“Apa?” tanya Darren, tiba-tiba ikut dalam pembicaraan.
“Bibiku! Ya, Bibiku!”
“Kenapa dengan Bibimu?” tanya Thomas.
“Bibiku, Mambo Loa, kan peramal! Dia punya Fortune Tell’s Shack! Pasti dia punya sesuatu untuk menghilangkan makhluk halus yang mengganggu kita!” jelas Allison berapi-api.
“Fortune Tell’s Shack? Di mana?” tanya Bryan, melirik sedikit ke arah Allison dan sejenak melupakan game War Craft yang sedang dimainkannya.
Allison mengetuk-ngetuk dahinya. “Em, di dekat sekolah ini, kok. Di dekat pertigaan di sana.”
“Oh. Sekarang saja! Aku sudah nggak tahan lagi sama hantu-hantu jelek itu,” usul Jerry. Mereka semua menyetujui, dan mereka langsung berangkat.

Fortune Tell’s Shack milik Mambo Loa, bibi Allison, ternyata memang dekat dengan sekolah mereka. Di sana, Mambo Loa sedang duduk di hadapan bola kristal yang berputar.
“Bibi!” seru Allison. Mambo Loa mengangkat pandangannya dari bola kristalnya.
“Allison McFlamkins!”
“Apa kabar, Bi?” tanya Al lagi.
“Baik. Bagaimana denganmu dan kakakmu, Deddy? Baik-baik saja, kan?”
“Tentu saja, Bi.”
“Oh ya, untuk apa kau datang kemari?” tanya Bibi Loa (begitulah Allison memanggilnya) setelah mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
“Ehm. Begini Bi, akhir-akhir ini di sekolah kami banyak makhluk halus yang mengganggu kami. Kami jadi takut. Apa Bibi punya sesuatu untuk menangkal makhluk-makhluk itu?”
Bibi Loa berpikir sejenak. “Sesuatu untuk menangkal makhluk ghaib? Jimat, maksudmu? Ya, ada. Sebentar, kucarikan dulu.”
Bibi Loa masuk ke sebuah ruangan, dan anak-anak itu menunggu. Charlene dan Licorice sejak tadi melongo melihat Bibi Loa. Mungkin karena mereka belum pernah melihat peramal secara langsung -_______-
Tak lama kemudian, Bibi Loa kembali. Di tangannya terdapat sebuah jimat berwarna biru, juga sebuah buku kwitansi.
“Ini dia, Allie,” kata Bibi Loa, menunjukkan jimat tersebut kepada Allison.
“Terima kasih, Bi,” kata Allison. “Teman-teman, ayo kita pulang.”
Bibi Loa melotot. “Pulang? Hei, tunggu dulu!”
“Ada apa lagi, Bi?” tanya Allison.
“Berani-beraninya kalian pulang sebelum membayar jimat itu! Semua orang tau, tak ada yang gratis di dunia ini. Termasuk semua barang yang berasal dari Fortune Tell’s Shack. Jadi, kalian harus membayarnya!”
Anak-anak itu saling menatap, dan mengecek saku mereka. Hampir tak ada yang memiliki uang berlebih. Semuanya selalu menghabiskan uang mereka sendiri, untuk hal-hal yang tak perlu.
“Memangnya berapa harganya?” tanya Bryan, yang memang anak orang kaya.
“Murah. Hanya 40 dolar,” jawab Bibi Loa enteng.
“40 dolar? Yang benar saja!” bisik Charlene kepada Licorice. Lic hanya mengangkat bahunya.
“Ayo, cepat. Bilang saja kalian tak punya uang, dan kembalikan jimat itu. Anak kecil memang belum saatnya menyentuh barang-barang seperti ini,” sindir Bibi Loa. Charlene sudah mulai meraba pedang anggarnya. Ini artinya, sebentar lagi akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
“Siapa yang kau maksud dengan anak kecil?” tanyanya dingin, sambil mengacungkan pedang anggarnya ke hidung Bibi Loa.
“Tentu saja kalian! Memangnya siapa lagi anak kecil di sini? Kalian!” jawab Bibi Loa.
“Grrh. Sekali lagi kau ucapkan kata itu, kau akan kehilangan kedua bola matamu,” ancam Charlene.
“Oh ya? Memangnya kau pernah menyentuh sebuah bola mata?” tanya Bibi Loa meremehkan.
“Tentu,” Charlene merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah bola mata yang belum sempat disimpannya di lemari koleksinya. Bola mata itu masih berlumuran darah, dan otot-otot mata.
Bibi Loa menelan ludahnya. “Baiklah, baiklah. Aku tak ingin kehilangan bola mataku. Sebutkan apa lagi yang kalian butuhkan, aku akan memenuhinya.”
“Kalau begitu, beri kami masing-masing satu jimat,” kata Darren memutuskan.
“Jimat apa?” tanya Bibi Loa, menatap pedang anggar Charlene dengan takut.
“Jimat yang sesuai dengan kami. Kau pasti punya banyak sekali jimat, kan?” tanya Thomas. Dia merasa kesal karena peramal tidak tau kebutuhan mereka.
“Tentu saja… Baiklah, silakan masuk,” ajak Bibi Loa. Mereka pun mengikuti wanita itu ke dalam ruang pribadinya, tempat dia menyimpan jimat. “Berbarislah, anak-anak. Aku akan memberi kalian masing-masing satu jimat.”
Anak-anak langsung berbaris. Bibi Loa meramal mereka sekaligus memberi mereka masing-masing sebuah jimat. Juliet dengan rajin mencatat jimat apa saja yang didapat teman-temannya.
Alice               = Kekuatan penuh
Allison            = Tepat sasaran
Andrea           = Anti mati
Angus            = Lari cepat
Bryan            = Invisible
Charlene        = Anti luka + anti mati
Darren           = Ahli strategi
Emma            = Bijaksana + anti mati
Flo                 = Gesit
Jane              = Anti mati
Jerry             = Tepat sasaran + Anti luka
Jim                = Kekuatan penuh
Juliette          = Cerdik + Menulis cepat
Licorice          = Penyembuh
Luna              = Tepat sasaran
Nathline         = Pemberani + anti racun
Neilson           = Anti mati
Nick               = Anti mati
Patrick           = Anti luka
Thomas                   = Anti racun
Veronica         = Anti mati
Willy             = Mechanical skill
~~~~~~~~~*
“Terima kasih, Bibi Loa,” ucap anak-anak. Bibi Loa hanya mengangguk, sekali-sekali melirik ke arah pedang anggar yang sedang digenggam Charlene, khawatir pedang itu akan melukainya. Dia menghembuskan nafas lega begitu anak-anak itu pergi dari Fortune Tell’s Shack-nya.
“Aku akan mengunci rapat pintu Fortune Tell’s Shack-ku dari mereka. Mereka telah membuatku bangkrut,” keluhnya.

Di kelas 7I.
“Kita harus segera memasang jimat ini!” kata Allison sambil menunjukkan jimat biru yang pertama kali ditunjukkan oleh Bibi Loa.
“Di depan pintu saja,” usul Darren. Yang lain setuju, dan mulai memasang jimat tersebut.
Selesai memasang, mereka duduk melingkar di tengah karpet, sambil memegang jimat masing-masing.
“Memangnya jimat ini beneran ampuh?” tanya Jerry ragu.
“Tentu saja! Sudah banyak orang datang ke Fortune Tell’s Shack dan mereka mendapat keberuntungan,” jawab Allison, membela Bibinya.
“Masalahnya Al, kita dapat ini kan sambil ngancam Bibimu. Nanti Bibimu nggak rela, dan jimat ini sama sekali nggak ada khasiatnya. Percuma aja kita ke sana,” protes Jerry.
“Diamlah! Tentu saja keberuntungan itu tak langsung datang. Kita harus tunggu beberapa lama, baru keberuntungan akan datang!” kata Allison, membuat Jerry kembali terdiam.

3 hari kemudian.
“Rasanya jimat ini tak berguna sama sekali,” keluh Juliet.
“Memangnya kenapa?” tanya Allison, merasa jimatnya baik-baik saja.
“Bibi Loa mengatakan, dengan jimat ini aku bisa menulis cepat. Tapi apa hasilnya? Kecepatan menulisku biasa-biasa saja,” jelas Juliet.
“Mungkin menulis cepat hanya dilakukan di saat-saat tertentu. Tapi Juliet, kuperhatikan akhir-akhir ini kau semakin suka menulis dan sebentar saja kau sudah membuat paling tidak 2 lembar tulisan.”
“Oh ya?”
“Iya!”
“Kalau begitu, mulai sekarang Juliet jadi pencatat laporan kita,” kata Darren, tiba-tiba ikut nimbrung.
Juliet mendelik. “Pencatat laporan? Apa maksudmu? Laporan apa?”
“Laporan mengenai siapa saja yang kita bunuh, tanggal berapa, di mana lokasinya, yah, semua yang berhubungan dengan aksi pembunuhan kita,” Darren menjelaskan.
“Oh, baiklah. Daripada aku diam saja melihat aksi pembunuhan yang kalian lakukan,” kata Juliet akhirnya.
“Kalau begitu, sekarang kita harus apa?” tanya Darren berlagak bodoh. Padahal, jelas-jelas dia adalah ahli strategi di kelas 7I.
“Tentu saja membunuh. Tapi membunuh siapa? Itu yang jadi pertanyaan,” jawab Charlene, meskipun dia juga bertanya.
“Guru-guru,” ucap Allison pelan. Hal ini bukannya menjawab pertanyaan Charlene, tapi memberitahu teman-temannya bahwa ada guru yang datang.
“Anak-anak,” kata guru tersebut. “Saya mendapat laporan bahwa kalian suka membunuh. Apa itu benar?”
“Memang apa buktinya, Ma’am?” Licorice balik bertanya.
“Anak-anak kelas reguler mengaku melihat kalian melakukan pembunuhan. Sebelumnya, jawab pertanyaan saya. Benarkah kalian membunuh?”
“Tidak,” jawab Charlene dingin.
“Kalau memang kalian tidak membunuh, untuk apa kalian membawa senjata tajam? Miss Courtland, bisa kau jelaskan semua ini? Kenapa kau membawa senjata itu?”
Charlene mengeluarkan pedang anggarnya. “Ini? Ini memang bukan untuk membunuh. Ini untuk menyiksa, Ma’am.”
Perlahan, Charlene maju ke hadapan gurunya. Kedua bola mata guru itu pun jatuh ke tangan Charlene.

Jaga bola matamu baik-baik sebelum pedang Charlene sempat menyentuhnya.
Pepatah yang sangat tepat digunakan ketika anak kelas lain atau malah guru-guru bertemu dengan Charlene Courtland dan pedang anggarnya. Berita kekejaman Charlene sudah tersiar kemana-mana.
“Semua orang sekarang takut sama kamu, Charl,” kata Licorice, ketika mereka sedang asyik makan roti di gazebo. “Lihat saja. Setiap kamu lewat, mereka langsung lari terbirit-birit. Huh, aku jadi kesal.”
“Kesal kenapa?” tanya Charlene.
“Aku iri. Kenapa mereka nggak takut padaku,” keluh Licorice. “Oh ya, kamu harus jaga sikapmu, Charl. Nanti Wira nggak mau sama kamu.”
“Siapa peduli.”
“Tentu saja kamu harus peduli! Ada apa dengan Wira? Apa dia menyakitimu?”
“Tak ada lelaki yang berani menyakitiku. Pedang anggarku akan segera bekerja.”
“Terus, ada apa?”
“Nggak papa. Aku malas. Sudahlah, Lic, jangan membicarakan anak itu lagi. Aku bosan.”
Licorice menurut, jadi dia diam saja. Selesai makan, mereka berjalan di koridor anak reguler, dan anak-anak itu langsung menciut setiap kali Charlene melewati mereka. Pandangan mereka tertuju pada pedang anggar Charlene, yang bisa saja dikeluarkan kapanpun Charlene mau.
Charlene sendiri biasa saja, dia hanya mengeluarkan pedangnya di saat yang benar-benar diperlukan. Tetapi, tetap saja semboyan itu disalahartikan sebagai, “Charlene Courtland adalah maniak bola mata”.

Keesokan harinya, terrible day for Charlene.
“Gawat! Pedangku, pedangku!” seru Charlene, panik. Dia masih memakai piyama dan rambutnya berantakan. Licorice, yang sekamar dengannya, ikut bangun dan panik.
“Kenapa pedangmu?”
“Hilang! Padahal semalam aku meletakkannya di sebelah bantalku, seperti biasa!”
“Pasti ada yang mencurinya! Lihat, pintu kita tidak terkunci. Padahal, semalam jelas-jelas aku mengunci pintu. Kenapa ada yang bisa masuk?”
“Masalahnya adalah, pedangku hilang dan aku tak bisa melakukan apapun tanpa pedangku.”
Licorice menatap Charlene prihatin. “Tenang. Aku dan teman-teman akan membantumu, Charl.”
“Terima kasih, Licorice,” ucap Charlene, terharu. Licorice hanya mengangguk.
“Sekarang, kau mandi, lalu kita ke kelas. Oke?”
“Oke, Lic.”

Siang itu, di 7I sangat ribut. Semuanya membahas tentang hilangnya pedang anggar Charlene yang keramat dan ditakuti anak satu sekolah. Mereka mengkhawatirkan nasib Charlene nantinya. Dengan hilangnya pedang itu, semua orang pasti akan menindas Charlene.
“Tenang, Charlene. Kami akan membantumu,” Allison menenangkan Charlene. Charlene hanya mengangguk dengan wajah cemas.
Darren juga iba pada Charlene. Oleh karena itu, dia berkata, “Bryan, pergilah memata-matai anak-anak di sekolah ini. Bawa binokular Emma dan walkie talkie ini.”
“Baiklah,” kata Bryan.
“Darren, bolehkah aku ikut? Aku juga ingin membantu,” pinta Angus.
“Baiklah. Karena kau bisa berlari cepat, kau memperhatikan lebih dulu secara sekilas, baru Bryan yang memperhatikan secara detil.”
Angus dan Bryan menurut, dan menjalankan tugas mereka. Charlene ditahan Allison di sofa, tak boleh ke mana-mana. Sebab, kata Allison, kalau Charlene beranjak dari sofa, anak-anak kelas lain akan menindasnya. Charlene sendiri menurut, harap-harap cemas akan nasib pedangnya.
Tiba-tiba, walkie talkie Darren berdering.
Bryan kepada Darren. Ganti.
“Darren kepada Bryan. Sudah ketemu? Ganti.”
Ya, sudah. Pelakunya Fleta Gail, anak kelas 8D. Ganti.
“Baiklah. Kembali ke kelas, Bryan. Ganti.”
Oke. Angus sudah kembali? Ganti.
“Belum. Mungkin dia masih menyelidiki. Kalau sempat, ajak dia kembali, Bryan. Ganti.”
Baiklah.”
Tak lama kemudian, Bryan dan Angus kembali. Semuanya lega karena mereka berdua selamat.
“Baiklah. Sekarang, Licorice dan Nathline ke sana. Allison, tetap di sana, jaga Charlene supaya tidak ke mana-mana. Ini cukup berbahaya. Willy, siapkan ruang eksekusi. Alice, jaga di sana. Patrick juga. Aku akan ke 8D, membantu Licorice dan Nathline,” jelas Darren. Semuanya mengangguk dan melakukan tugas masing-masing. Jane ikut duduk di sebelah Charlene. Dia diam saja, tahu bahwa suasana hati Charlene sedang buruk.
Licorice, Nathline, dan Darren pergi ke 8D. Benar saja. Di sana, Fleta sedang memamerkan pedang anggar, yang tak lain dan tak bukan adalah milik Charlene. Licorice menerjang masuk.
“Hahaha, siapa itu?” tanya seseorang, menertawakan gaya Licorice saat masuk.
“Aku sahabat Charlene,” jawab Licorice tenang.
“Sahabat Charlene Courtland? Haha, si sombong itu? Yang kerjanya cuma keliling sekolah untuk memamerkan pedang anggarnya, INI?” Fleta menunjukkan pedang itu ke wajah Licorice.
“Benar! Serahkan pedang itu segera!” Tiba-tiba, Darren.
“Wow, Darren Black datang untuk membantu,” kata teman-teman Fleta, yang merupakan fans berat Darren. Mereka menghampiri Darren, tapi dengan cepat Darren menunjukkan gergajinya. “Mau apa kalian? Mau kepala kalian putus?”
“Haah, rupanya anak ini sama saja dengan Charlene. Mereka juga memamerkan senjata mereka,” kata orang yang tadi menertawakan Licorice.
“Kami melakukannya untuk membela diri!” terdengar suara Nathline, menancapkan jarum akupunturnya. Seketika, orang itu beku.
Clang!
Licorice langsung menahan serangan Fleta. Rupanya, Fleta ingin meniru kebiasaan Charlene, yaitu menusuk bola mata orang. Tapi, dia payah dalam bermain pedang, jadi dengan mudah pedang anggar itu telah jatuh ke tangan Licorice.
“YA!” teriak seseorang, membuat semuanya kaget. Licorice menoleh. Ya ampun, Charlene! Charlene langsung menyerbu Licorice. “Pedangkuuu!”
Charlene langsung menusuk bola mata Fleta Gail dan memasukkannya ke dalam kantong. “Ah, aku cinta kau, pedangku! Aku tak akan membiarkan orang lain menggunakanmu lagi!”
“Charlene!!” Tiba-tiba datang Allison dan Jane. “Hei, kenapa kamu kabur… Yey, akhirnya pedangmu kembali!”
“Iya, terima kasih, Licorice, Darren, Nathline!” ucap Charlene bahagia. Mereka, tanpa memperdulikan anak-anak lain di kelas 8D, langsung kembali ke kelas. Jane meninggalkan pines-pines tajam di koridor kelas 8, menghalangi jalan anak 8D yang hendak mengejar mereka. Charlene tersenyum sambil mengelus-elus pedang kesayangannya itu.

“Bagaimana?” tanya Emma.
“Misi berhasil. Lihat saja,” jawab Darren sambil menunjuk Charlene.
“Syukurlah… Kalian bertarung?” tanya Emma lagi.
“Yap. Dengan anak 8D. Harusnya Lic yang membunuh Fleta Gail, tapi tiba-tiba Charlene datang dan menusuk bola mata Fleta. Lihat saja di kantongnya. Tapi, untunglah Jane datang. Kami tak dikejar oleh anak 8D karena kaki mereka tertusuk pines-pines Jane,” cerita Darren.
“Tumben Jane bisa berpikir cepat. Biasanya kan, dia lola, ups,” komentar Luna. Jane diam saja, mungkin lolanya kambuh.
Mereka semua kembali ke aktivitas masing-masing. Namun, misi mereka hari ini telah berhasil, mengembalikan pedang anggar itu ke tangan Charlene Courtland.

Kali ini, Charlene berjalan biasa saja dengan pedang terselip di pinggangnya. Dia hanya akan menggunakan pedang itu di saat-saat penting, seperti ketika ada yang menyerangnya atau bermasalah dengan kelas 7I. Sayangnya, yang bermasalah dengan anak 7I sangat banyak, sehingga mereka semua perlu dibunuh -__-
“Wow. Lihat, Charlene Courtland sekarang lebih rendah hati,” komentar seseorang.
“Rendah hati apanya? Dia tetap membunuh!” protes yang lain.
“Kalau itu memang hobinya, bagaimana lagi? Yang penting, menjaga sikap kita agar bola mata kita tidak jatuh ke tangannya.”
“Ya, benar. Aku setuju denganmu.”
Charlene mendengar percakapan anak-anak itu, tapi dia tidak menghiraukannya. Hatinya masih diliputi rasa senang karena pedang anggarnya telah kembali ke tangannya dengan selamat, masih mengkilat dan masih tajam.

Jum’at siang.
“Pokoknya kalian harus ikut RCE hari ini!”
Anak-anak perempuan kelas 7I kecuali Andrea sedang berurusan dengan kakak kelas pembina ekskul RCE (Red Cross Extra) karena sudah berkali-kali mereka membolos dari ekskul itu.
“Tapi…” kata Charlene pelan.
“Tapi apa? Kalian sudah berkali-kali membolos ekskul RCE. Alasan kalian selalu sama, kerjakan tugas, tugas, dan tugas. Bukannya kalian sama sekali tak ada tugas?” tanya kakak kelas itu galak. Charlene meliriknya sinis. Kakak kelas yang satunya menyikut temannya, dan berbisik,
“Hei. Jaga sikapmu. Ayo kita pergi kalau kau tidak mau kehilangan bola matamu.”
Akhirnya, mereka pun pergi. Charlene hanya mengangkat alisnya dan menggenggam pedang anggarnya. Dasar kakak kelas payah. Lihat saja nanti. Kami akan ikut, tapi kami juga akan melakukan pembunuhan.
“Jadi, bagaimana?” tanya Alice.
“Sudah, ikut saja,” jawab Charlene sinis. Dari nada bicaranya, Alice sudah tahu, Charlene akan membiarkan pedang anggarnya bekerja.

“Jadi Adik-adik, hari ini kita belajar tentang bidai. Masih ingat?” tanya Roxy Queen, salah satu kakak kelas pembina ekskul RCE. Semuanya hening. “Coba Charlene, jelaskan apa itu bidai.”
“Bidai itu… ehm, apa ya?” Charlene kebingungan menjawab karena dia tak pernah memperhatikan pelajaran.
“Begitu saja tidak bisa! Sini, maju ke depan!” perintah Tracy Clodd, kakak kelas yang tadi marah-marah pada anak kelas 7I.
Charlene menatapnya sinis. Dia memang benar-benar maju, tapi sambil menodongkan pedang anggarnya.
“Charlene… turunkan pedang itu,” pinta Roxy, khawatir akan nasib Tracy.
“Tidak mau,” jawab Charlene, masih terus menodongkan pedangnya ke wajah Tracy.
“Aku bilang turunkan, sekarang!” Roxy beranjak untuk merebut pedang itu, tapi Charlene justru menodongnya sekarang.
“Jangan ikut campur urusanku. Alice,” panggil Charlene pelan. Alice mengangguk, lalu memukul kepala Roxy dengan honey drizzle-nya sampai pingsan. Kini, ujung tajam pedang Charlene kembali mengarah ke wajah Tracy.
“Charlene, tolong, turunkan pedang itu dari wajahku,” pinta Tracy mengiba. Charlene tak menghiraukannya.
“Kau lupa atau tak tahu, semua yang mengganggu anak 7I harus dibunuh. Kau lupa atau tidak tahu?” tanya Charlene. Croot! Darah muncrat begitu dia menusukkan pedang anggarnya ke mata Tracy.
“Aaaawwwhhh!!!!”
“Balasan untukmu. Ini lagi,” kata Charlene enteng sambil menusuk bola mata Tracy yang satunya. Anak-anak lain, yang berada di ruangan bersama anak 7I, hanya berdesis ketakutan.
“Charlene Courtland! Apa yang kau lakukan? Kau telah membuat kerusuhan dan mengotori tempat ini!” Kakak-kakak kelas yang lain langsung menyerbu Charlene, namun Licorice, Nathline, Alice, dan Jane langsung bangkit untuk membantu Charlene. Setelah Nathline dan Alice membuat kakak-kakak kelas itu tak sadarkan diri, mereka langsung lari keluar ruangan. Jane menaburkan pines-pinesnya, menyebabkan darah berceceran di lantai. Mereka terus berlari sampai kamar terdekat, yaitu kamar Alice dan Jane. Mereka masuk dan mengunci pintunya.
“Kenapa dikunci? Itu tindakan pengecut!” olok Charlene, lalu membuka kuncinya.
“Huh, dasar kakak-kakak kelas pencari masalah! Sudah tahu mereka pasti akan menemui ajalnya, malah memaksa kita ikut RCE yang membosankan!” omel Licorice.
“Iya! Ngomong-ngomong, kamarmu luas sekali, Alice,” komentar Allison sambil memperhatikan kamar itu.
“Kamarmu juga luas, Al,” protes Alice.
“Tapi kamarmu lebih luas. Buktinya, kamar ini cukup menampung 11 orang. Kamarku dan Nathline hanya cukup menampung maksimal 6 orang. Tidak ada kamar mandinya, lagi! Jadi, setiap pagi aku numpang mandi di kamar Veronica,” kata Allison.
“Sudahlah Al, yang penting bisa tidur nyenyak setiap malam,” Jane menenangkan.
Mereka duduk di sana cukup lama, bahkan sampai mereka ketiduran di kamar Alice dan membuat Andrea panik mencari Veronica, teman sekamarnya.

“Pagi! Pagi!”
Suara cempreng itu membangunkan mereka semua dari tidur lelap semalam. Pemiliknya adalah Charlene, yang bangun terlebih dulu, tetapi masih agak ngantuk sehingga suaranya cempreng.
“Charlene! Ngapain kamu bangunin kita pagi-pagi? Masih ngantuk, nih!” omel Licorice. “Lho? Di mana aku? Ini kan, kamar Alice!”
“Hoahm, apa?” Alice terbangun mendengar namanya dipanggil. “Lho? Jadi, semalam kita tidur di lantai?”
“Wah, kita kecapekan habis lari dari kakak-kakak kelas, nih,” komentar Luna.
“Iya. Aku mandi duluan ya,” kata Charlene, seenaknya memasuki kamar mandi di kamar Alice.
“Eh, enak saja! Aku duluan!” Licorice mencegahnya.
“Kan aku yang bangun duluan, Lic! Jadi, aku yang mandi duluan!” Charlene tak mau kalah.
“Hhh, ya sudah lah. Tapi cepat!” Licorice mengalah. Ia tak mau Charlene marah dan dia akan kehilangan kedua bola matanya.
Charlene segera mandi, lalu membiarkan Licorice yang mandi. Selesai mandi, mereka semua kembali ke kelas. Di kelas, anak laki-laki semuanya sudah datang, asyik main game atau main gitar. Anak perempuan, seperti biasa, duduk di sofa, asyik melakukan kegiatan masing-masing.
Perhatian bagi semua anggota paduan suara diharapkan berkumpul di depan studio musik sekarang juga.
“Sial! Paduan suara!” umpat Luna.
“Huh! Aku malas!” keluh Nathline.
“Aku juga!” tambah Flo.
Charlene menatap teman-temannya. “Teman-teman?”
“Ya, Charl?”
“Kalian mau…” tanya Charlene, dengan nada yang bisa ditebak oleh teman-temannya.
“Ya. Kau ikut?”
“Tentu saja!” jawab Charlene girang.

“Pepiti.. Pepitoo…” terdengar suara anggota paduan suara bernyanyi. Charlene mengendap-endap. Sebenarnya, ini bukan urusannya. Yang harus melakukannya adalah Luna, Flo, Nathline, Juliet, Patrick, dan Bryan. Dia hanya ikut sebagai pelengkap penderitaan.
Flo bersiap-siap dengan kapaknya ketika guru paduan suara menyuruh Nathline bernyanyi. Tanpa berkata apapun, dia mengayunkan kapaknya, dan darah pun muncrat. Anggota paduan suara yang lain mendesis ketakutan dan langsung lari terbirit-birit. Flo membersihkan darah dari kapaknya ketika Charlene mengambil bola mata dari guru itu.
“Misi kita sudah selesai. Tak ada masalah. Tak akan ada lagi RCE dan paduan suara,” kata Luna, dan mereka semua mengangguk setuju.

By : Nilna Qomara Nurul Husna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar