Selasa, 05 Februari 2013

Phsycopate Class ch.2

Sebelumnya, Terima Kasih untuk Nilna Qomara Nurul Husna (penulis cerita Phsycopate Class)
***



Suatu pagi...

Seorang guru berlari-lari di sepanjang koridor. Dia memasuki kelas aksel 7I dengan ngos-ngosan. Setelah itu, dia menatap semua murid di kelas tersebut, semua tampak muram.

“Anak-anak,” katanya pelan, “Hari ini, akan diadakan razia. Harap semuanya berdiri dan biarkan anggota SSP memeriksa kalian.”

Semua murid beranjak dari bangku mereka dengan enggan. Bahkan, Angus (selaku anggota SSP di 7I) pun mengumpat-ngumpat bersama Thomas dan Jim. Anggota SSP yang lain langsung memencar dan menggeledah bangku dan tas anak-anak.

“Hei! Aku menemukan susu kaleng! Punya siapa ini?” tanya seorang anggota SSP.

“Itu punyaku,” jawab Patrick. “Tolong jangan dirampas. Aku sedang kekurangan kalsium. Aku butuh minum susu yang banyak.”

“Oh ya? Itu pasti cuma alasanmu saja!” bantah yang lain.

“Benar! Lihat wajahnya! Pucat!” bela Neilson. Dia mencekik Patrick untuk membuatnya pucat, meskipun agak sulit karena leher Patrick sedikit lebih besar dari kedua tangannya.

“Yah, benar juga. Mungkin dia tidak bohong. Baiklah, anak gendut, ambil susu kalengmu ini. Cepat, minum! Aku tak ingin kau mati kekurangan kalsium,” anak SSP yang merazia susu kaleng Patrick segera memberikannya pada Patrick.

“Terima kasih,” ucap Patrick, lalu segera meminumnya sampai habis. Neilson melepaskan cekikannya sambil ngos-ngosan.

“Hei! Ada laptop dan flashdisk di sini! Punya siapa?” tanya Peony Moraea, salah satu anggota SSP yang dikenal oleh Charlene, Licorice, Allison, dkk.

Licorice dan Charlene mengangkat tangannya dengan tatapan sinis. “Laptopnya punya Charlene, flashdisk-nya milikku. Kenapa memangnya?” tanya Licorice sinis.

“Yah, seperti yang kau tau, kami akan merampasnya,” kata anak SSP yang lain, laki-laki yang tidak dikenal.

“Untuk apa?” tanya Charlene, merasa kesal.

Anak itu menatap Charlene tajam, tapi Charlene menatapnya lebih tajam lagi, setajam ujung pedang anggar. “Tentu saja untuk diperiksa! Bisa saja kau menyimpan hal-hal tak berguna di laptopmu! Atau, bisa saja kau menyimpan konten-konten porno!”

“Tidak! Lihat saja di sini!” kata Charlene, meskipun dia panik karena dia menyimpan satu folder berisi foto-foto Wira =o=

“Ya! Lihat saja di sini! Untuk apa di bawa-bawa ke ruangan lain kalau bisa mengeceknya di sini? Lagipula, untuk apa Charlene menyimpan hal-hal seperti itu?! Jangan-jangan, kau yang menyimpannya! Atau, kalau ada file-file seperti itu, kau ingin meng-copy-nya, ya?!” Licorice membela Charlene.

Anak itu terdiam. Terpaksa dia mengembalikan laptop dan flashdisk itu kepada Charlene dan Licorice yang menampakkan senyum kemenangan. “Pity you are,” bisik Charlene pada anak itu. Tapi, anak itu diam saja, kembali ke anggota SSP yang lain.

Hari itu, anggota SSP gagal total merazia anak-anak 7I. Mereka terlalu pandai mencari alasan. Sementara itu, di kelas lain, mereka sukses besar. Mereka tak habis pikir, mengapa sulit sekali merazia di kelas 7I.

“Anak-anaknya memang pandai nyari alasan,” kata Peony. Dia kenal sebagian besar anak kelas 7I. Anggota SSP yang lain mengangguk, kecuali tentu saja Angus Spyke, anggota 7I sendiri, dan Wira Nathaniel.



2 hari kemudian. Sehari sebelumnya Charlene izin tidak masuk karena ikut kompetisi anggar tingkat nasional.

“Wow, kau dibelikan pedang anggar karena menang kompetisi? Waw, hebat!” puji Alice, memandang pedang anggar milik Charlene yang panjang, mengilat, dan tajam. Pedang anggar Charlene adalah pedang khusus karena pedangnya keras dan kaku. Biasanya kan, pedang anggar itu meliuk-liuk. Punya Charlene beda.

“Ya. Sebenarnya aku tak ingin membawanya, tapi kata Mom, aku harus membawanya. Untuk berjaga-jaga saja,” kata Charlene, merasa bangga. Selama ini, belum pernah ada temannya yang menggeluti bidang anggar.

“Bagaimana lawanmu?” tanya Licorice.

“Dengan mudah kukalahkan. Begitu aku menusukkan pedang anggarku, dia langsung jatuh tanpa menangkis,” jawab Charlene. “Dan aku menang.”

Tiba-tiba, seorang guru masuk sebelum Charlene sempat menyembunyikan pedang anggarnya. Guru itu melihat pedang anggar Charlene, dan yakin bahwa itu milik Charlene Courtland.

“Miss Courtland, tolong kemari dan bawa BENDA itu,” katanya sinis. Charlene, pasrah pada kenyataan bahwa pedangnya akan disita, maju ke depan. “Bukankah sekolah telah melarang membawa senjata tajam ke sekolah?”

“Yaa…” jawab Charlene ragu. “Tapi ini kan…”

“Tak ada tapi-tapian. Singsingkan lengan bajumu,” kata guru itu sinis. Pasrah, Charlene menyingsingkan lengan bajunya. Guru itu menghunus pedang anggarnya, dan menggoreskannya ke kulit Charlene.

“Ah!” pekik anak perempuan, tak tega melihat darah segar mengalir dari tangan Charlene. Charlene sendiri hanya diam menahan sakit.

“Bagaimana? Sakit, kan?” tanya guru itu. Tapi, bukannya menghentikan ‘aksi’-nya, guru itu semakin bersemangat menggores lengan Charlene yang kini berlumuran darah segar. “Saya tahu, kamu tak pernah ikut peribadatan apapun. Kamu anak Atheis, kan? Harusnya ini cukup untuk mengingatkanmu. Mulai hari ini, kau harus punya keyakinan.” Setelah dia puas, dia menghentikannya, lalu mengembalikan pedang anggar Charlene. “Itu pelajaran bagimu untuk tidak membawa senjata tajam lagi dan belajar beragama.”

Charlene diam saja. Tangannya sangat perih karena jutaan goresan dan darah yang mengalir deras. Guru itu sangat kejam. Awas saja kau. Aku akan balas dendam, batin Charlene.

Guru itu pun menerangkan pelajaran, tak memedulikan Charlene yang menderita. Dia malah menerangkan dengan sedikit senyum di wajahnya, seolah dia telah melakukan sesuatu yang sangat mulia.



“Charlene, bagaimana keadaanmu?” tanya Nathline, teman sebangku Charlene, panik.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Charlene datar.

“Tidak mungkin. Lenganmu berwarna merah karena darah. Kau TAK MUNGKIN baik-baik SAJA,” Nathline menyangkal. “Kita harus segera ke rumah sakit, Charl.”

“Tidak mau.”

“Ayolah! Nanti kau terinfeksi!”

“Aku, tidak, mau!” Charlene bersikeras. “Jangan paksa aku, Nath. Aku tak akan menyerah hanya gara-gara guru sialan itu.”

“Kau dendam padanya, Charl?” tanya Darren.

Charlene melirik Darren sebentar. “Ya. Suatu saat aku akan membalaskan dendamku. Menyiksanya, menyayat tangannya, bahkan akan lebih dari itu. Aku akan membunuhnya, dengan tanganku sendiri!”



 “Charlene, kamu nggak papa?” tanya Emma khawatir sambil memperhatikan lengan Charlene yang masih berdarah.

“Nggak papa, tapi aku lemas,” kata Charlene.

“Jelas. Kamu kekurangan banyak darah,” komentar Neilson.

“Ayo! Makan dulu! Minum susu!” seru Licorice panik.

“Ah, nggak apa-apa, Teman-teman. Aku cuma minta satu dari kalian semua.”

“Apa, Charl? Bilang aja!” pinta Flo cemas.

“Aku minta, kalian pulang ke rumah dan mulai Senin besok, bawa senjata kalian,” kata Charlene serius.

Anak-anak yang lain mengernyit. Lalu, serempak bertanya, “Buat apa?”

“Balas dendam. Kurasa anak-anak laki-laki bisa juga membawa mercon. Begini rencananya. Beberapa anak lelaki menculik guru itu dan kunci dia di kamar mandi. Siapkan mercon yang bisa meledak dalam beberapa menit. Lalu, aku akan menyiksanya dengan pedang anggarku ini,” jelas Charlene sambil menunjukkan pedang anggarnya.

“Baiklah. Bilang saja, kau ingin kami jadi psikopat,” kata Licorice sambil menerawang.



Hari Senin. Kini, tak ada wajah muram di kelas 7I. Hanya ada wajah bengis yang siap membalaskan dendam kepada siapapun yang membuat mereka marah. Itulah yang membuat mereka membawa segala macam senjata tajam. Semua bertujuan untuk membalaskan dendam mereka, terutama dendam Charlene pada guru yang menyiksanya.

Guru yang mereka nantikan datang juga. Tiba-tiba, semua anak laki-laki meringkus si guru dan membawanya ke kamar mandi. Tangan dan kakinya diikat, mulutnya ditutup dengan lakban. Mereka telah menyiapkan bom mercon untuk guru itu, dan Charlene berdiri dengan tenang di depan si guru.

“Nah, hari untuk balas dendam datang juga,” gumamnya, tapi keras sehingga sudah pasti sang guru mendengarnya. “Kira-kira, akan kuapakan kau dengan pedang anggarku ini? Tusuk perut? Tidak, tidak. Itu tak menyakitkan. Bagaimana kalau kita tusuk bola matamu dan kita tarik keluar? Ya, itu pasti menyakitkan.”

Dan Charlene pun menusukkan pedang anggarnya ke bola mata guru itu, lalu menariknya keluar dari lubang mata. Kini, sang guru hanya memiliki satu bola mata.

“Satu bola mata rasanya belum cukup untuk membalaskan dendamku. Rasanya harus dua-duanya,” kata Charlene, tanpa basa-basi langsung menusuk bola mata satunya, dan menariknya keluar. Setelah itu, dia menjejalkan kedua bola mata itu di dalam tempat sampah, menggembok pintu kamar mandinya, dan kembali ke kelas.

“Kau apakan guru itu, Charl?” tanya Lic. Charlene hanya tersenyum licik.

“Aku? Bukan apa-apa. Aku hanya menusuk dan mengeluarkan kedua bola matanya, lalu kubuang ke tempat sampah,” jawab Charlene enteng. “Hah, rasanya lega sekali setelah balas dendam.”

Nathline bergidik ngeri membayangkan kedua bola mata itu. Mengapa Charlene tenang-tenang saja?

“Kerja bagus, Charl,” kata Lic. “Harusnya kau tadi mengajakku! Aku juga mau!”

“Ini urusanku dengan guru itu, Lic, jadi aku-lah yang seharusnya balas dendam. Kau boleh melakukannya pada guru-guru yang lain. Tusuk kepalanya, aku akan tusuk bola matanya,” kata Charlene dengan mata berbinar-binar setelah menyiksa sang guru.

Guru berikutnya, Mrs. Anna, muncul di depan pintu kelas. Kelas 7I tampak hening, tapi raut wajah mereka seperti menanti sesuatu. Ketika Mrs. Anna asyik menerangkan pelajaran, tiba-tiba terdengar suara, ‘PYAR! PYAR!”

“Apa itu?” bisik Nathline.

“Mercon yang dipasang anak laki-laki sudah meledak. Sebentar lagi guru itu pasti mati,” kata Charlene tenang.

“Oh…” Nathline manggut-manggut, lalu kembali memerhatikan pelajaran.



“Kenapa kalian tak bawa senjata, Andrea, Veronica, Juliet, Jim, Bryan?” tanya Darren heran melihat kelima temannya tak membawa senjata apapun.

“Aku tak bisa mengambil apapun di rumah. Semuanya dijaga ketat oleh kakakku. Apalagi senjata. Aku sama sekali tak boleh melukai siapapun dengan senjata,” jawab Veronica sedih.

“Aku tak bisa menemukan senjata yang berbeda dari kalian. Kakekku pengoleksi senjata, tapi aku bingung. Ada senapan angin, tapi aku tak ingin menggunakannya. Sepertinya tidak cocok untukku,” jawab Jim sambil memalingkan muka. “Lagipula orangtuaku tak akan mengizinkanku. Mereka over-protective terhadapku.”

“Alasan untukku, aku tak mau berurusan dengan darah,” jawab Juliet.

“Ada banyak senjata, tapi begitu aku menyentuhnya, alarm langsung berbunyi. Terpaksa aku kabur,” keluh Emma. “Aku hanya bisa mencuri binokular Paman Corten. Aku ingin pakai bazooka, tapi, yah, gara-gara alarm.”

“Aku memang tak bawa senjata, tapi aku dapat yang lebih baik,” kata Bryan. “Aku dapat uang banyak dari ATM Dad. Bisa kita gunakan. Aku juga dapat walkie talkie. Satu untukmu, Darren, satu untukku.”

“Baguslah. Andrea?” tanya Luna.

“Ya? Satu-satunya alasanku, aku tak mau jadi pembunuh seperti kalian. Pekerjaan tidak terhormat. Aku masih bisa cari jalan lain untuk cari kepuasan. Aku kan hebat. Tidak seperti kalian yang payah,” olok Andrea.

“Kau…” hampir saja Luna menikam pisaunya ke jantung Andrea. Tapi, cepat-cepat Darren menahannya.

“Kau harus jaga bicaramu,” kata Charlene acuh tak acuh, lalu pergi keluar kelas.

“Kalau kau tak mau kehilangan bola matamu,” tambah Licorice.

“Jaga baik-baik bola mata jelekmu itu,” Luna menambahkan sebelum pergi mengikuti Charlene dan Licorice, meninggalkan Andrea yang termenung memikirkan kata-katanya barusan. “Nath, kenapa kau menggunakan jarum akupuntur?”

“Apa salahnya?” Nathline balik bertanya.

“Yah, menurut ilmu kedokteran, jarum akupuntur justru digunakan untuk menyembuhkan orang,” kata Neilson filosofis.

“Jarum ini bukan untuk menyembuhkan orang,” ujar Nathline sambil tersenyum misterius. “Jarum ini untuk membekukan orang. Sangat sulit untuk mendapatkan jarum akupuntur macam ini.”



*All flashback, except Charlene Courtland.



Alicia Grizzle

“Hei, Alicia! Sekolahmu memberikan libur akhir pekan? Kebetulan sekali!” seru Mr. Grizzle saat melihat Alice memasuki pelataran rumah. Alice menatap ayahnya dengan tidak bersemangat. Ia langsung melempar tasnya ke sofa. “Alicia! Jaga sopan santunmu! Setelah bergaul dengan teman baru, beginikah sikapmu saat bertemu orangtua?”

What are you talking about?” tanya Alice datar sambil meneguk air putih. Ia menatap rak-rak di dapur, berpikir apakah ada senjata yang bisa dipakainya. Sayangnya segala senjata tajam di-protect oleh orangtuanya. Mereka meletakkan pisau-pisau di tempat yang tak diketahui Alice dan adik-adiknya.

Mr. Grizzle tersenyum kecut. “Bagaimana kalau kau membantu Dad beternak lebah? Saatnya panen madu.”

“Madu?” ulang Alice.

“Yap. Kau suka madu, kan?”

“Terserah,” Alice mengangkat bahu dan mengikuti ayahnya ke halaman belakang, tempat peternakan lebah madu mereka. Keluarga Grizzle memang punya peternakan lebah madu yang diwariskan turun-temurun.

“Pilih yang mana, mengambil madu atau mengaduk madu?”

Alice melongok untuk melihat pilihan yang diajukan Mr. Grizzle. Mengambil madu maksudnya mengambil madu dari sarang lebah. Mengaduk madu maksudnya mengaduk madu agar lebih steril. “Mengaduk menggunakan apa?”

“Pertanyaan aneh. Tentu saja honey drizzle.”

Honey drizzle milik keluarga Grizzle bukan honey drizzle biasa. Ukurannya lebih besar dan lebih berat. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaduk honey drizzle itu dengan mudah. Tetapi, Alice lebih tertarik pada honey drizzle itu daripada pengambilan madu langsung.

“Aku mau mengaduk madu saja,” kata Alice memutuskan.

Mr. Grizzle mengernyit. “Benarkah? Tapi honey drizzle itu benar-benar berat. Kau tahu itu, Alicia.”

Alice diam saja. Ia bergerak untuk menghampiri tong besar berisi madu. Sebuah honey drizzle ada di dalamnya. Ukurannya jumbo dan pegangannya lebih dari satu kepalan tangan. Alice menyentuh honey drizzle itu dan mencoba mengaduknya. Awalnya memang agak berat karena dia belum terbiasa, tapi dia tetap mencoba.

“Ya ampun! Apa kau orang terpilih keluarga Grizzle, Alicia? Kau bisa mengaduk madu dengan honey drizzle itu!”

Alice tak menghiraukan perkataan ayahnya. Tapi ia tahu honey drizzle itu benar-benar berat. Kalau misalnya kupukulkan ini pada musuhku, apa yang akan terjadi, ya? Apa kepalanya pecah? Pikirnya. Alice mengangkat honey drizzle itu dan berjalan ke halaman depan.

“Alicia! Alicia!” seru Mr. Grizzle.

Tapi Alice tak punya waktu untuk panggilan ayahnya. Ia memukulkan honey drizzle itu pelan ke kepala ayahnya. Mr. Grizzle langsung pingsan. Alice menyambar topi dan tasnya lalu berlari menuju Greenwich Junior High School.



—Allison McFlamkins

Allison berjalan lurus ke Nelson Road. Sebenarnya rumahnya ada di Park Row, dekat Old Royal Naval College, tapi tujuannya bukan itu. Ia ingin ke rumah Kakek McFlamkins. Kakeknya adalah pembuat senjata-senjata tajam. Mungkin saja Allison bisa meminjam atau meminta salah satu senjata itu.

“Kakek! Nenek!” seru Allison.

“Iya, iya, siapa di sana?” tanya sebuah suara sambil membuka pintu. Nenek McFlamkins. “Allison! Cucuku! Apa kabar? Lama tidak berkunjung!”

“Maaf, Nek,” ucap Allison saat Nenek McFlamkins memeluknya.

“Siapa yang datang, Stephanie?” tanya sebuah suara berat dari dalam rumah.

“Cucu kita, Rod! Allison berkunjung!” jawab Nenek McFlamkins.

Tiba-tiba Kakek McFlamkins muncul dengan tergopoh-gopoh. Allison meringis melihatnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berkunjung ke rumah kakek dan neneknya. Itu pun bersama orangtuanya. Allison tidak pernah berniat untuk mengunjungi kakek dan neneknya.

“Allison! Apa kabar, Cu? Bagaimana keadaan Sarah dan Jo? Adik-adikmu? Jason dan Aiden?” tanya Kakek McFlamkins.

“Satu-satu, Kek. Kami semua baik. Maaf jarang mengunjungi kalian,” jawab Allison, tak tahan untuk mengintip ke dalam rumah.

“Ah, aku lupa menyuruhmu masuk. Ayo, masuk dulu! Mau teh jahe seperti dulu?” tawar Nenek McFlamkins sambil menghidangkan berbagai camilan. Allison yang sedang kelaparan langsung memakannya.

“Kakek, apa Kakek masih membuat senjata-senjata seperti dulu?” tanya Allison tanpa basa-basi.

Kakek McFlamkins menoleh. Lalu, mengusap-usap janggutnya. “Sebenarnya aku sudah pensiun untuk hal itu. Tetapi, aku masih punya koleksinya. Kenapa? Kau ingin memiliki salah satu senjata buatan kakekmu?”

“Bagaimana Kakek bisa tahu?”

Kakek McFlamkins tertawa. “Tentu saja. Aku bisa membacanya dari matamu. Kau pasti penasaran dengan senjata. Mau senjata apa? Tombak? Busur? Pedang?”

“Entahlah. Aku bingung, tapi aku ingin senjata yang cocok untukku.”

Kakek McFlamkins bangkit dari sofa dan masuk ke sebuah ruangan. Tak lama kemudian, ia keluar dengan sebuah busur dan tabung berisi banyak anak panah. Beliau memberikannya pada Allison.

“Busur. Kau pasti cocok dengan busur.”

Allison mengamati senjata di tangannya itu. “Aku belum pernah menyentuh busur sebelumnya, Kek. Hanya sekali, waktu latihan drama. Tapi, tali busurnya bukan dari karet dan temanku mematahkan satu-satunya anak panah. Mana mungkin aku cocok dengan busur.”

Kakek McFlamkins menepuk pundak Allison. “Kalau kau rajin berlatih, kau pasti ahli menggunakan busur. Kalau kau butuh latihan, kau bisa datang kapan saja. Tapi, jangan sampai orangtuamu tahu.”

“Terima kasih, Kek.”

“Ini tehnya, Allie,” kata Nenek McFlamkins sambil menghidangkan teh di hadapan Allison. Ia terhenyak melihat busur dan anak panah di tangan Allison. “Rod! Apa yang kau lakukan? Menjerumuskan cucumu dengan senjata jahanam itu?!”

“Tidak apa-apa, Stephanie. Kita bisa melatihnya agar jadi pemanah terbaik,” Kakek McFlamkins tertawa.

“Jangan sampai Sarah dan Jo tahu…” protes Nenek McFlamkins.

“Tentu saja!” seru Kakek McFlamkins. “Sembunyikan di tempat aman, Allie. Kalau orangtuamu tahu, mereka bisa membunuhku.”

“Tentu, Kakek,” balas Allison. “Aku pergi dulu.”

“Hati-hati di jalan!” seru Kakek dan Nenek. “Sering-seringlah berkunjung!”

Allison hanya mengangguk singkat sebelum berlari kembali ke sekolah.



—Andrea Hilton

“Andy! Kau pulang?” tanya Rickie, adik Andrea, begitu melihat kakaknya memasuki halaman depan rumah mereka, rumah keluarga Hilton di Hoskins Road.

“Rickie, berapa kali kukatakan, jangan panggil aku dengan sebutan itu! Menyebalkan,” omel Andrea. “Mana Nenek?”

“Nenek pergi arisan. Memangnya kenapa?”

Andrea mengangkat bahu dan memasuki rumah. Ia mengamati perabotan di rumah itu. Ada banyak benda tajam. Pisau, belati, jarum… Tapi apa? Memangnya dengan membawa senjata itu dia akan dapat nilai bagus? Perintah Darren memang tak masuk akal. Tapi perlakuan Charlene justru lebih tidak masuk akal. Membunuh.

“Ngapain lihat-lihat pisau? Membosankan. Lebih baik ikut aku main game terbaru!” ajak Rickie.

“Diam kau!” omel Andrea.

“Huh, biasa aja dong. Nggak usah marah-marah,” protes Rickie.

Andrea mengabaikan adiknya dan kembali melihat-lihat senjata di rumah itu. Ada juga senapan kakeknya yang biasa digunakan untuk berburu. Tapi kegiatan itu berakhir tahun lalu. Kakek sudah tidak kuat lagi dan anjing pemburu sudah mati. Senjata apa yang bisa memuaskan anak-anak itu? Pikirnya. Huh. Apa tidak usah, ya? Merepotkan saja. Toh, aku juga tidak akan dapat apa-apa. Ini pembodohan!

“Huh, sudahlah. Aku pergi dulu,” kata Andrea.

“Ya,” jawab Rickie singkat. Ia sudah larut dengan game-nya. Andrea mendengus, lalu pergi sambil membanting pintu.



—Angus Spyke

Angus melompati pagar rumahnya dan menendang tumpukan daun di halaman belakang. Sebentar lagi salah satu anggota keluarganya akan datang dan memarahinya, tapi dia tidak peduli. Siapa peduli? Tak ada yang benar-benar menyayangiku, pikirnya sambil mendengus. Mungkin waktu ia masuk ke rumah, tak ada yang akan memperhatikannya.

“Kyaaa! Mom! Jessie mengambil ikat rambutku!” Terdengar suara Rhonda, kakak perempuannya. Angus mengangkat bahu. Keadaan di rumah pasti berantakan. Apalagi kalau kakak sulungnya, Aaron, ada di rumah.

“Aaron! Tenangkan Rhonda!” seru Mom.

“Tidak mau. Aku mau pergi dulu,” balas Aaron sambil menendang pintu. Ia nyaris menabrak Angus yang berdiri di depan pintu. “Angus! Minggir!”

“Apa? Angus pulang?” tanya Jessie heboh.

“Memangnya kenapa? Itu berita biasa!” balas Geordie, kakak Angus yang lain.

“Angus jauh lebih tenang daripada berandal-berandal kecil seperti kalian,” olok Rhonda, yang meskipun sudah berumur 17 tahun, tapi kelakuannya masih kekanak-kanakan.

Aaron berdecak kesal, lalu berlari ke motor sport-nya. Keadaan di rumah benar-benar kacau dan dia tidak bisa mengatasi adik-adiknya. Rhonda yang kekanak-kanakan, Geordie yang bawel, Jessie yang cerewet dan berlebihan, Herbert yang pendiam dan nyaris tak diketahui di mana keberadaannya, juga Angus. Angus biasa saja, tapi Angus-lah tempat mereka menumpahkan semua kekesalan. Semenjak Dad meninggal.

“Maaf, rumah benar-benar berantakan,” kata Jessie sambil merapikan buku-bukunya yang berserakan.

“Tidak apa-apa,” jawab Angus.

“Mau makan apa?” tawar Rhonda.

“Tidak, terima kasih,” tolak Angus halus.

Semuanya terdiam begitu Angus berjalan menuju kamarnya. Meskipun hidupnya kacau dan sering menderita, Angus tak pernah mengeluh. Dia bahkan tidak mau menceritakan apapun pada mereka meskipun mereka keluarganya sendiri. Geordie Spyke memukul kepalanya karena tak bisa menemukan Herbert Spyke di mana pun. Rhonda Spyke menjambak rambutnya sendiri karena membiarkan Aaron Spyke pergi. Jessie Spyke berusaha membantu Mom di dapur.

Angus memperhatikan detail kamarnya. Tak ada yang berubah. Semuanya pasti berusaha agar Aaron tidak mengacak-acak kamarnya. Kamar adalah privasi. Tak boleh ada yang masuk tanpa izin.

Ia membuka laci mejanya. Agak sulit dibuka. Tapi, ia berjuang dan akhirnya laci itu terlepas. Isinya berserakan di lantai. Potongan-potongan kertas dan sesuatu yang mengilap. Belati.

“Ini…” bisik Angus sambil menyentuh belati itu. Belati yang diwariskan Dad sebelum meninggal. “Pakai ini saja.”

Angus mengantongi belati itu dan berlari menuruni tangga. Tanpa mengucapkan apapun pada anggota keluarganya, ia keluar rumah dan berlari menuju sekolahnya. Jessie melambaikan tangannya sambil mengusap air matanya. “Angus yang malang,” bisiknya.



—Bryan Stuart

“Hei, ini sudah malam,” tegur penjaga warnet tempat Bryan menghabiskan sorenya. Bryan menatap lelaki itu innocent.

“Sebentar lagi,” katanya.

“Ini sudah jam 10. Saatnya tutup. Aku juga mau tidur! Memangnya kau pikir ini warnetmu, apa? Kau harus pulang!”

Bryan merengut. “Memangnya kenapa? Akan kubayar lebih!”

“Nak, ini bukan masalah uang. Bagaimana kalau orangtuamu mencarimu? Berikan nomor rumahmu agar aku bisa menghubungi keluargamu!”

Bryan menyambar tasnya dan menekan tombol power. Komputer di hadapannya langsung mati. Lelaki di hadapannya terkejut. “Kenapa?! Kau yang minta sendiri. Tak perlu menghubungi keluargaku. Selamat malam.”

“Anak kurang ajar,” umpat lelaki itu ketika Bryan keluar dari warnet. Tapi Bryan tak mendengarnya. Ia berjalan untuk menyetop taksi. Rumahnya agak jauh dari warnet itu. Sebenarnya ia mengajak Thomas, Darren, dan Jim juga, tapi mereka pulang lebih dulu. Apa sih pentingnya keluarga? Mereka cuma mengatur hidupmu. Ini hidupku sebagai Bryan Stuart. Tak ada yang boleh mengaturnya, omelnya dalam hati.

“Bryan!”

Bryan menoleh. Sebuah lamborghini mendekat ke arahnya. Perlahan, kaca mobil terbuka. Mrs. Stuart menatapnya dengan tatapan cemas khas seorang ibu.

“Ke mana saja, Nak? Mom berusaha menjemputmu ke GJHS. Wali kelasmu menelepon Mom untuk menjemputmu. Tapi kau tak ada di sana. Mom khawatir sekali, Nak!” kata Mrs. Stuart.

“Aku bisa pulang sendiri, Mom,” protes Bryan.

“Mom khawatir kau nyasar. Ayo, naik!” ajak Mrs. Stuart sambil membukakan pintu mobil. Bryan memasuki mobil dengan enggan. “Bagaimana nilai-nilaimu di sekolah? Harus berjuang, ya. Supaya nilai-nilaimu membaik.”

Bryan terdiam. Ia mengaku, nilainya memang menurun dan nyaris diturunkan ke kelas reguler. Angus juga. Tapi, dia menepis jauh-jauh pikiran itu. Kalau kami sukses membunuh semua guru, takkan ada tugas dan takkan ada yang mempermasalahkan nilai, pikirnya.

Mobil itu memasuki garasi rumah keluarga Stuart. Keluarga Stuart memang terbilang kaya. Mobilnya banyak. Tapi, Bryan tak mempermasalahkan hal itu. Ia lebih suka di sekolah. Rumah bagai penjara, pikirnya.

“Bryan? Ayo masuk!” ajak Mrs. Stuart.

“Ah, iya, Mom!” seru Bryan.

Bryan masuk ke rumah dan mulai menjelajah. Setahunya orangtuanya selalu mengamankan benda-benda tajam. Hanya ada benda-benda standar; gunting, jarum, pisau. Tak ada senjata yang menarik. Harusnya paling tidak ada machine gun atau semacamnya, protesnya dalam hati. Sumpah, aku tak bisa menemukan apapun!

Bryan mengendap-endap ke kamar orangtuanya. Ia mengangkat bantal dan mengambil sesuatu. Setelah itu, ia buru-buru kabur dari rumah. Di jalan, ia mengamati benda yang baru saja diambilnya. Dompet cokelat tebal. Isinya uang dan banyak kartu ATM. Mr. Stuart memang menyimpan kekayaannya di berbagai bank. Bryan tersenyum ketika melihat kertas berisi daftar kode pin untuk membuka rekening. Meskipun aku tidak dapat senjata, setidaknya aku dapat uangnya, pikirnya. Pandangan matanya beralih pada benda lain di kamar itu. Sepasang walkie talkie.

“Mungkin saja walkie talkie akan berguna,” gumamnya, lalu kabur lewat jendela.



—Darren Black

Darren menghabiskan sorenya dengan Bryan, Jim, dan Thomas di sebuah warnet. Mereka bebas karena Bryan-lah yang membayar semuanya, termasuk camilan dan soft drink. Tapi, semuanya harus diakhiri ketika jam menunjukkan pukul 6 sore.

“Aku harus pulang,” kata Darren.

“Kenapa?” tanya Jim.

“Sudah jam 6. Aku bisa dimarahi,” jawab Darren.

“Ya sudah,” Thomas mengangkat bahu. Darren berdecak kesal dan segera pergi dari warnet itu. Rumahnya dekat dari warnet itu, jadi jangan sampai keluarga Black tahu apa yang dia lakukan. Dia bisa mati di tempat saat itu juga.

“Twinkle twinkle little stal…” gumam Mary, adik perempuannya, saat Darren masuk rumah. Mary masih kecil, jadi belum bisa mengucapkan huruf ‘r’ dengan benar.

“Mary Black,” panggil Darren, “mana Mom dan Dad?”

“Meleka pelgi,” jawab Mary. “Kak Dallen balu pulang? Ini sudah sole. Penny masak lasagna buat makan siang. Enak banget.”

“Baiklah,” hanya itu yang diucapkan Darren sebelum masuk ke kamarnya. Setelah berganti baju, ia keluar kamar. Tak ada benda yang menarik di rumahnya, hanya ada koleksi barang-barang kuno dan antik. Tapi, pandangannya beralih pada kotak besar di dekat tangga.

“Apa itu?” gumamnya sambil mendekat. Kotak itu masih baru, tapi agak berdebu. Ia membuka tutupnya. Darren langsung berdecak kagum. Sebuah gergaji mesin. Sejak kapan Dad menggunakan gergaji mesin?

Tapi dia tak memikirkan hal itu lama-lama. Darren mengangkat gergaji itu. Agak berat. Darren tersenyum girang. Ia menekan tombol ON dan menggergaji kaki meja. Meja itu langsung ambruk. Darren menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah yakin tak ada yang memperhatikan, ia langsung pergi sambil membawa gergaji mesin itu.



—Emma Wreath

Emma mengendap-endap ke gudang rumahnya yang terletak di samping rumah. Ada jalan rahasia yang dibuat pamannya di gudang itu, agar dia bisa masuk rumah tanpa ketahuan. Emma membuka pintu yang berdebu dan masuk. Jalan itu berupa terowongan bawah tanah yang hanya bisa dilewati dengan merangkak. Emma mendesis jijik saat melihat sarang laba-laba dan banyak semut. Tapi ia mengabaikannya dan cepat-cepat menyusuri terowongan. Begitu sampai di kamar mandi—terowongan mengarah ke kamar mandi—Emma mendesah lega. Ia mengalami krisis oksigen di dalam terowongan.

Emma menyibak tirai yang menutupi bathtub. Ada tali di atas. Pamannya telah membuat banyak escape way di rumah itu. Emma biasa menggunakannya untuk keluar masuk rumah atau bermain petak umpet. Yang tahu hal itu hanya dia dan pamannya. Tapi Corten Wreath sudah meninggal sekarang. Hanya Emma yang menyimpan rahasia escape way dari pamannya.

Tali itu mengarah pada ruang botani. Mungkin saja Dad ada di sana. Tapi Emma tak melihat tanda-tanda kehidupan kecuali tanaman di ruang botani. Ia membersihkan debu dari roknya dan pergi ke ruangan yang dilabeli ‘Dangerous. Sharp. Don’t Enter’. Emma tahu ruangan itu menyimpan benda-benda tajam dan senjata api. Pamannya yang memberitahu hal itu.

“Pilih mana? Bazooka, senapan, rifle, Sniper, belati, pisau, pedang, gergaji, jarum…” gumam Emma sambil melihat-lihat senjata yang ada di sana. “Bazooka saja? Ini keren.”

Emma mengulurkan tangan untuk menyentuh senjata itu. Tiba-tiba, alarm berbunyi nyaring. Emma panik. Ia cepat-cepat keluar ruangan dan bersembunyi di ruangan sebelahnya. Kamar Paman Corten. Ia menyambar sebuah binokular dan melemparkan tali keluar jendela. Ia memanjat keluar jendela sambil mengeluh.



—Florice Wayne

“Ya, ya. Kira-kira senjata apa yang ada di rumah?” gumam Flo sambil berjalan menuju rumahnya yang terletak di dekat rumah Emma. Ia menyesal harus pulang setelah Summer Class yang menyenangkan. Anak-anak lain yang tidak ikut Summer Class diliburkan selama musim panas dengan setumpuk tugas. Yang ikut Summer Class, diadakan tour keliling Greenwich. Tanpa PR. Ditambah libur akhir pekan di musim gugur. Jelas anak-anak aksel memilih ikut Summer Class.

Dari kejauhan, Flo bisa mendengar suara gergaji mesin, gergaji biasa, dan kapak. Pasti suara pekerja di bisnis penebangan kayu keluarga Wayne. Mr. Wayne, ayah Flo, memang membuka bisnis penebangan kayu dan pengolahannya. Sedangkan Mrs. Wayne membuka bisnis kue kering.

Flo terdiam. Ia mengendap-endap ke halaman belakang. Saat itu, tak ada siapapun. Pekerja-pekerja Dad pasti sedang istirahat, pikirnya. Flo melompati pagar dan masuk ke ruang perkakas.

“Hanya ada kapak…” gumamnya. “Tidak apa-apa lah.”

Flo mengambil salah satu kapak dan bersiap pergi. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di dalam tong. Ia mengambilnya.

“Apa ini? Wow, kapak antik,” pujinya. Ia menyentuh ujung tajam kapak itu. Jarinya langsung berdarah. “Awh. Kapak keren! Siapapun yang terkena kapak ini, pasti langsung mati!”

Flo tersenyum riang lalu keluar. Ia segera pergi dari rumahnya. Flo tak menyadari kalau dari tadi Mr. Wayne memperhatikan tingkah lakunya.



—Jennifer Dominic

“Pulang juga, Jane?” tanya Sammy pada adiknya.

Jane menoleh. “Yap. Aku kangen Mom dan Dad, juga Nancy.”

“Tak kangen padaku?” Sammy mengedipkan mata. Jane hanya tertawa. Samantha Dominic sangat berbeda dengan keluarganya yang lain. Dia satu-satunya yang berkulit hitam. Mungkin itu keturunan dari kakek Jane dari pihak ibu. Sebelum pindah ke Woolwich, keluarga mereka tinggal di Libya, Afrika. Sammy dan Jane lahir di Libya, sedangkan Nancy lahir di Rusia, saat mereka singgah di sana.

“Kau tak berhasil dengan upaya pemutihan kulit?” tanya Jane.

“Yah, beginilah. Syukuri saja. Toh aku lebih kuat terhadap sinar matahari dibanding kalian semua,” kata Sammy bangga.

Mereka memasuki rumah keluarga Dominic di Earlswood Street. Tak ada orang di rumah kecuali Nancy. Ia sedang bermain sendiri. Nancy masih duduk di kelas 4 SD.

“Hei, Nancy,” sapa Sammy.

“Kak Sam!” seru Nancy. “Kak Jane!”

“Halo halo,” sapa Jane. Ia cepat-cepat masuk ke gudang. Ia mengobrak-abrik perkakas Mr. Dominic. Jane tersenyum melihat sekotak paku.

“Aku pakai paku saja,” gumamnya. “Kalau paku-paku ini kutebar, yang menginjaknya pasti terluka. Yap, aku pakai ini saja.”

Jane mengambil kantong tebal dan memasukkan paku-paku itu ke dalamnya. Setelah itu, ia membuka pintu ke balkon. Jane mengulurkan tali dan memanjat turun. Ia segera berlari menuju Greenwich Junior High School.



—Jerry McClair

Jerry berlari mengejar taksi yang meninggalkannya begitu saja di Trafalgar Road. Padahal rumahnya ada di Colomb Street. Terpaksa, Jerry berjalan kaki ke Colomb Street meskipun jaraknya masih jauh. Tapi setidaknya ia tidak perlu membayar. Begitu ia menjelaskan krisis keuangannya pada sopir taksi, ia langsung diturunkan di Trafalgar Road. Sopir-sopir taksi memang kejam, pikirnya.

“Ingin punya shuriken seperti Naruto dan kawan-kawan? Belilah di sini! Shop-riken buka setiap hari, dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam! Datanglah!”

Jerry menoleh. Iklan di teve. Ia membaca plang nama toko itu. SHOP-RIKEN. Jerry mengintip dari jendela dan melihat berbagai bentuk shuriken dipajang. Ada juga boneka-boneka figurin serial kartun Naruto. Jerry menyadari kalau shuriken itu bukan shuriken mainan. Buru-buru ia masuk ke dalam.

“Ada yang bisa dibantu, Nak?” tanya seorang pria gendut berambut putih dengan style ala Kiba. Ia membawa anjing pudel warna pink yang dikalungi name-tag bertuliskan Akamaru.

“Em, aku ingin melihat-lihat shuriken,” jawab Jerry.

“Oh, silakan. Kupikir kamu mau beli figurin,” kata orang itu, si Kiba jadi-jadian.

Jerry mendekat pada rak penuh shuriken dan menyentuhnya. Ia mengambil satu dan menggoreskannya ke jari. Perih. Berdarah. Itu benar-benar shuriken. Jerry berdecak kagum. “Berapa harganya?”

“Ukuran kecil 2 poundsterling. Ukuran besar 4 poundsterling,” jawab orang tadi.

“Mahal sekali!” protes Jerry.

“Ini shuriken asli. Diimpor dari Jepang langsung.”

Jerry mendengus. Tiba-tiba, ia melempar shuriken itu. Shuriken itu menancap di kepala penjaga toko. Si pudel langsung menggonggong.

“Ah!” jerit si penjaga toko. Kepalanya mengeluarkan darah. Jerry melemparkan lebih banyak shuriken. Akhirnya, orang itu mati. Inilah pembunuhan pertama Jerry McClair.

“Karena kau sudah mati, semuanya untukku saja,” kata Jerry. Ia mengambil semua shuriken dan menjejalkannya ke dalam tas. Setelah itu, ia menuju ke barat, bukan timur seperti seharusnya. Ia kembali ke Greenwich Junior High School.



—Jimmy Duncant

“Tumben Jim nggak ikut ke warnet,” komentar Thomas ketika Jim menolak ajakan Darren untuk pergi ke warnet bersama Thomas dan Bryan. Jim hanya tersenyum tipis.

“Aku bokek,” jawabnya asal.

“Tenang aja, kutraktir. Gak ada lo gak rame, ikutan yuk,” ajak Bryan.

“Nggak usah. Aku mau pulang saja,” kata Jim. Ia membayangkan rumahnya di Romney Road. Rumahnya yang selalu tampak bagaikan penjara baginya.

Sejak kecil, Jim selalu diperlakukan seperti anak kecil. Ia selalu diatur. Seluruh kegiatannya pun dijadwal. Jim home-schooling bersama Mrs. Duncant sampai kelas 6 SD. Lalu, ia didaftarkan ke Greenwich Junior High School oleh Mr. Duncant. Mungkin pria itu berpikir anaknya akan lebih disiplin karena GJHS berupa sekolah asrama yang jadwalnya ketat. Setiap hari Minggu, Jim wajib pergi ke gereja. Ia adalah seorang Katolik, meskipun ia tidak terlalu berniat melaksanakan tuntutan agamanya. Semuanya karena orangtuanya selalu memperlakukannya seperti anak kecil.

“Kent, Jimmy kecil kita pulang!” seru Mrs. Duncant ketika melihat sosok Jim memasuki teras.

“Ah, iya. Halo, Jimmy!” sapa Mr. Duncant.

Jim mendengus. Tuh, kan. Mom memanggilnya ‘Jimmy kecil’. Padahal, Jim bersikeras ingin dipanggil ‘Jim’ saja sejak umur 7 tahun. Nama ‘Jimmy’ terkesan kekanak-kanakan, padahal dia sudah 12 tahun. Payah.

“Mom, panggil aku Jim saja,” pinta Jim.

“Jim? Nama kuno. Jimmy adalah nama yang bagus. Grandpa yang memberikan nama itu untukmu,” kata Mrs. Duncant.

Jim mendesah. Sangat sulit membujuk kedua orangtuanya. Keduanya sama-sama keras kepala dan jika mereka sudah membuat keputusan, itu adalah keputusan final. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.

“Astaga, apa yang terjadi pada sikumu?” tanya Mrs. Duncant sambil mengelus siku Jim yang membiru.

“Kemarin tanpa sengaja sikuku membentur rak buku,” jawab Jim.

“Astaga. Harusnya kau berhati-hati, Nak. Bagaimana kalau kami kehilangan dirimu?” tanya Mr. Duncant.

Jim diam saja. Kedua orangtuanya sebenarnya tidak menyayanginya. Mereka bersikap seolah mereka memperhatikannya, tapi mereka tak sekalipun mengucapkan kata ‘aku menyayangimu, Jimmy’ atau semacamnya. Mereka lebih menyukai sepupu Jim, Catherine. Jim berpikir seharusnya dia tidak pulang saja. Hanya menambah penderitaannya saja.

“Bagaimana nilaimu di sekolah?” tanya Mr. Duncant saat Jim duduk di sofa sementara Mrs. Duncant menghidangkan secangkir teh. “Aku belum sempat menelepon wali kelasmu.”

“Baik,” jawab Jim sambil meminum tehnya. Pahit tapi segar. Mrs. Duncant memang selalu menghidangkan teh herbal untuk tamu-tamunya.

“Tehnya pahit?” tanya Mrs. Duncant. “Oh, aku lupa kau benci teh herbal.”

Mrs. Duncant masuk lagi untuk membuatkan minuman. Jim memperhatikan ruang tamu keluarga Duncant. Segala jenis senjata api ada di sana. Senapan, Sniper, rifle, senapan angin, dan lain-lain.

“Kenapa senjata-senjata itu dipajang di dinding?” tanya Jim.

“Untuk mengenang mendiang Kakekmu,” jawab Mr. Duncant.

“Tidak digunakan lagi?”

“Percuma saja. Tak ada yang bisa membidik dengan tepat di keluarga ini kecuali Kakekmu. Lagipula, amunisinya habis.”

Jim terdiam dan mengamati senjata-senjata itu. Ia berpikir untuk mengambil senapan angin, tapi diurungkannya. Belum tentu ia cocok dengan senjata itu. Lagipula, ia bisa dimarahi habis-habisan oleh Mr. Duncant. Orang ini memang galak, berbeda dengan ayah kandungnya. Josh Duncant, ayah kandung Jim, adalah seorang tentara. Ia meninggal saat Jim berusia 5 tahun. Setelah itu, sepupu Josh, Kent Duncant, melamar ibu Jim. Sejak saat itu, perilaku Mom pada Jim berubah. Beliau mulai berlaku over-protective dan kelihatan tidak sayang pada Jim. Diam-diam Jim ingin sekali membunuh ayah tirinya.

“Ini, Jimmy. Mom buatkan jasmine tea untukmu,” Mrs. Duncant memberikan secangkir teh untuk Jim. Jim langsung menyeruputnya.

“Terima kasih, Mom. Aku harus pergi,” kata Jim.

“Mau kemana kau?” tanya Mr. Duncant dingin.

“Maaf, aku harus kembali secepatnya,” Jim berlari kencang kembali ke GJHS, meninggalkan kedua orangtuanya yang hanya terdiam.



—Juliette Miltonia

“Aku hanya akan pulang, menyapa Mom dan Dad, menginap, lalu kembali,” gumam Juliet. “Aku tak akan pernah berurusan dengan senjata apapun.”

Juliet menendang kaleng soft drink di depannya. Sebenarnya ia agak kesal dengan Charlene. Gara-gara dia, mereka harus susah payah pulang untuk mengambil senjata. Kalau bisa, ia tidak usah pulang. Tapi Juliet sudah terlalu kangen rumah. Daripada homesick, lebih baik pulang sebentar.

“Juliet!” seru Mrs. Miltonia begitu melihat anaknya memasuki teras.

“Hei, Mom,” sapa Juliet singkat, “mana Dad?”

“Ah, kau seperti tak kenal Dad saja. Selalu sibuk dengan bisnisnya,” jawab Mrs. Miltonia sambil tersenyum. “Ayo masuk. Mom baru saja masak enak.”

Juliet mengikuti Mrs. Miltonia memasuki rumah. Selama musim panas ia dan teman-temannya tidak pulang ke rumah, tapi ikut Summer Class. Lagipula, Greenwich Junior High School jarang memberikan libur. Juliet bisa semakin homesick kalau hari ini ia tidak pulang.

“Tenderloin steak,” kata Mrs. Miltonia, “ukuran large.”

“Nyam!” seru Juliet. Ia melahap tenderloin steak-nya dengan cepat.

“Setelah ini kau boleh tidur, Sayang. Besok siang kau kembali ke sekolah.”

Juliet mengangguk. Ia beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.



—Licorice Leslie

“Kau yakin mau menghabiskan malam sendirian di sini?” tanya Licorice khawatir pada Charlene yang duduk manis di kasurnya.

“Tentu saja. Ada masalah?” Charlene balik bertanya.

“Yah, mungkin saja ada guru bertanya kenapa kau tidak pulang, kau mau jawab apa?”

Charlene meringis. “Jawab saja, orangtuaku pergi ke Spanyol untuk menjenguk nenekku yang sakit. Daripada sendirian di rumah, lebih baik di sekolah saja.”

Licorice berkacak pinggang. “Yakin?”

“Jangan bersikap seolah-olah aku ini anak kecil, Lic.”

“Oke, oke. Aku pergi dulu, ya? Hem, kalau bisa aku akan ke sini nanti malam. Pasti membosankan berada di rumah.”

“Aku akan menunggumu.”

Licorice memakai sepatunya dan keluar kamar. Ia tak membawa tasnya. Licorice melambaikan tangan pada Charlene dan segera berlari menuruni tangga. Rumahnya lumayan dekat dari GJHS, di Woodlands Park Street, di sebelah rumah Charlene. Ia harus naik taksi untuk sampai di rumah. Licorice merogoh sakunya. Hanya cukup untuk naik taksi sampai Trafalgar Road. Lumayan dekat ke Woodlands Park Street, tapi dia malas jalan kaki. Oleh karena itu ia memilih untuk jalan-jalan saja ke Hoskins Street, mungkin ada senjata bagus.

Licorice melirik toko orang Jepang di pertigaan. Licorice menempelkan hidung dan tangannya di kaca. Ada kimono, yukata, resep-resep makanan, dan… katana. Katana kan senjata! Licorice berseru dalam hati. Ia segera memasuki toko itu.

“Nggak ada orang, ya…” gumamnya. Ia bergerak mendekati rak tempat katana itu dipajang. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh katana itu.

“Jangan disentuh!” seru seorang wanita dengan logat yang aneh. “Konichiwa. Maaf mengagetkan. Aku Yuriko Endo. Harap jangan menyentuh katana itu kecuali ingin membelinya.”

“Berapa harganya?” tanya Licorice.

“5 poundsterling,” jawab Yuriko.

“Murah?” tanya Licorice.

“Kami sedang obral. Kau ingin beli?”

Licorice mengeluarkan uang 5 poundsterling dari dalam sakunya. “Ini. Cukup, kan?”

Yuriko menghitung uangnya dan Licorice mendapatkan katananya. Ia membukanya dan menghunusnya. Licorice tersenyum girang dan langsung pergi meninggalkan toko itu. Ia segera kembali ke Greenwich Junior High School.



—Luna Selena

Luna memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia justru berkelana GJHS untuk mencari senjata. Pilihannya adalah dapur. Di dapur ada banyak senjata. Segala macam pisau, parutan (untuk memarut kulit orang), panci (untuk memukul kepala orang), garpu (untuk menusuk-nusuk), sendok (untuk mencongkel bola mata), gelas (bila dipecahkan bisa untuk menusuk), pengupas wortel (untuk mengupas kulit orang), dan lain-lain.

“Permisi…” kata Luna pada ibu-ibu tukang masak yang ada di dapur GJHS.

“Ya, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satunya.

“Saya mencari benda tajam,” jawab Luna jujur.

“Benda tajam apa? Di sini banyak benda tajam,” kata seorang wanita berbaju biru.

Luna diam dan mengamati apa saja yang ada di sana. Ia beranjak dan mengambil sebuah pisau yang kelihatan tajam dan sebuah parutan kecil tapi sangat tajam.

“Pinjam dulu ya!” kata Luna sambil menunjukkan pisau dan parutan itu.

“Mau memarut kelapa, ya?” tanya ibu tadi.

Luna mengangguk. Ia tak bisa bilang kalau senjata itu akan digunakan untuk membunuh. Luna berterima kasih, lalu pergi.



—Nathline Grayson

“Aku pulang…” gumam Nathline ketika membuka pintu rumahnya. Tanpa melepas sepatunya yang berlumuran lumpur, ia memasuki dapur. Terlihat ibunya sedang mengupas wortel. Nathline mendengus. Tanpa memperdulikan ibunya, ia mengendap-endap ke sebuah ruangan.

Ruangan itu masih bersih seperti biasanya. Tercium aroma pahit dari berbagai tanaman obat. Nathline terbatuk sambil menutup hidungnya dengan rompinya. Baunya selalu sama. Tanaman obat, pikirnya. Pandangan Nathline menyapu sekeliling. Di sudut ruangan, tepatnya di sebuah rak rendah, ada kotak merah dari beludru. Nathline tahu pasti apa isinya.

“Jarum akupuntur,” katanya sambil menyentuh kotak itu.

“Sedang apa Miss Grayson di ruang pengobatan?” tanya sebuah suara. Nathline menoleh dengan waspada.

“Dad,” gumamnya. “Apa yang Dad lakukan di sini? Nindy!”

“Hai, Kak,” sapa Nindy.

Mr. Grayson menatap rak tempat Nathline berdiri. “Singkirkan tanganmu dari kotak itu. Kau belum bisa menggunakannya.”

“Ini jarum akupuntur,” Nathline mendengus.

“Benar. Tapi kau belum bisa menggunakannya. Lebih baik pergi ke kamarmu dan tinggal di sana sampai makan malam.”

Nathline memalingkan muka. Ia membuka penutup kotak itu. Di dalamnya ada banyak jarum dengan berbagai ukuran. Dia menatapnya dan menyentuh isi kotak itu.

“Sudah kubilang, jangan disentuh!” bentak Mr. Grayson. “Sejak kapan kau berani melawan Dad?”

Nathline diam saja. Ia mengambil sebatang jarum paling panjang. Tanpa disangka, ia melemparkannya ke arah Mr. Grayson. Jarum itu menancap di perut ayahnya. Nindy tersentak kaget sampai melempar bonekanya. Mr. Grayson langsung membeku.

“Oh, jadi jarum akupuntur ini jenis langka, ya?” gumam Nathline. “Thanks, Dad. Aku akan memakainya. Oh, sebelumnya, tolong jangan halangi jalanku.”

Mata Nathline berkilat dan dia menancapkan jarumnya ke jantung Mr. Grayson berkali-kali. Pria itu langsung meregang nyawa. Setelah puas, Nathline tersenyum licik ke arah Nindy. “Tak usah takut begitu, Nindy. Lebih baik jangan katakan ini pada siapapun kalau kau tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.”

Nindy terisak. Nathline mendengus dan pergi dari rumah itu.



—Neilson Richard

Neilson pergi ke tempat praktik ayahnya di Trafalgar Road. Di tempat praktik dokter pasti ada banyak senjata tajam. Tapi bukan itu tujuan Neilson. Ia ingin membunuh dengan suntikan racun. Racun diisikan ke dalam suntikan dan digunakan untuk menyuntik lawan. Cara membunuh untuk seorang dokter.

“Yah,” kata Neilson sambil memasuki ruangan ayahnya.

“Neilson?” tanya Mr. Richard.

“Yap.”

“Ada apa kemari? Sakit?” tanya Mr. Richard lagi. “Biar kuperiksa dulu.”

Neilson menggeleng. “Bukan, Yah. Aku nggak sakit. Aku cuma mau minta suntikan yang diisi racun. Apa Ayah punya?”

Mr. Richard menghentikan aktivitasnya dan berpikir sejenak. “Suntikan berisi racun? Racun menyakitkan atau mematikan?”

“Mematikan.”

“Ayah punya. Tapi untuk apa? Alat itu hanya digunakan saat pasien kesakitan untuk mati.”

Neilson gelagapan. Apa ia harus mengaku pada Ayahnya? Ia terdiam, lalu menunduk. “Untuk membunuh.”

“Anakku sudah berani melakukan hal itu?” tanya Mr. Richard tidak percaya. Ia berdiri, membuka lemari dan menyerahkan sebuah kotak pada Neilson. “Itu seperangkat alat suntik dan beberapa botol racun. Kau harus menggunakannya sesering mungkin. Setiap bulan, Ayah akan mengirimkan alat suntik dan botol racun baru.”

“Ayah… tidak marah?”

“Kenapa harus marah? Membunuh lebih menyenangkan dibandingkan menyaksikan orang-orang tersiksa dengan sakitnya. Kematian lebih baik bagi orang itu. Sudahlah, lebih baik kau pergi. Jangan sampai ada pasien memergoki kotak ini.”

Neilson mengangguk dan segera keluar ruangan. Ia tersenyum. Ayahnya mendukung pembunuhan yang akan dilakukannya.



—Nicholas Einstein

Sesuatu di saku Nick berdering. Nick selalu membawa handphone-nya, tetapi ia harus berhati-hati jika ada razia SSP. Untung saja HP itu belum pernah kena razia.

“Yeah, halo?” kata Nick saat mengangkat telepon.

“Nicky, hari ini pulang?” tanya sebuah suara lembut dari seberang telepon.

“Tentu, Mom. Ada apa?”

“Pulang cepat, ya. Sepupumu datang.”

“Larry?”

“Ya. Larry datang jauh-jauh dari Swiss. Mungkin dia membawakanmu oleh-oleh.”

“Oke, Mom. Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa, Nicky.”

Nick meng-lock HP-nya dan memasukkan ke dalam saku. Tanpa sadar ia sudah berjalan sampai pertigaan. Rumah keluarga Einstein ada di Lassell Street. Ia mempercepat langkahnya. Ia jarang bertemu Larry karena Larry tinggal di Swiss. Setiap datang ke Greenwich, Larry selalu membawa banyak benda menarik. Mungkin saja Larry punya sesuatu yang bisa digunakan untuk melukai orang, pikirnya.

“Hei, Nick!” sapa Larry ketika melihat Nick.

“Larry! Apa kabar?” tanya Nick.

“Baik. Aku bawa oleh-oleh bagus, tapi jangan bilang orangtuamu dan orangtuaku.”

“Apa?”

Larry tersenyum misterius dan menarik lengan Nick. Mereka masuk ke kamar tamu tempat Larry tidur. Larry membuka tasnya dan menyerahkan sebuah kotak.

“Apa ini?” tanya Nick.

“Buka saja,” perintah Larry.

Nick membuka kotak itu. Isinya lembaran-lembaran aneh yang mengkilap. “Itu bom stiker,” kata Larry. “Kalau kamu lepas penutupnya, lalu kamu tempelkan ke orang, dalam beberapa detik orang itu akan melambung dan meledak di langit.”

“Ini…” gumam Nick.

“Ya? Itu untuk membunuh. Aku iseng membelinya di Tricks ‘n Pranks. Penjualnya nggak bilang kalau itu buat membunuh. Simpan saja yang itu. Kalau kurang, aku kirimi lagi. Aku sudah punya banyak.”

Nick tersenyum melihat bom-bom stiker itu. Bentuknya unik. Siapapun tak akan menyangka kalau itu bom. Nick menyalami Larry.

“Aku pergi dulu, ya. Bersenang-senanglah,” kata Nick. Larry mengangguk. Nick berlari ke GJHS. Ia tak sabar untuk menggunakan bom stikernya.



—Patrick Daniel

“Aku pinjam pak tukang saja, ah,” kata Patrick pada dirinya sendiri. Ia melihat para tukang bangunan yang sedang bekerja di GJHS. Ia menaiki tangga kayu ke atas (yang bikin Author heran, tangganya kok kuat menopang berat tubuh Patrick? Dia kan, ehem, gendut).

“Yah, pak tukangnya nggak ada,” gumam Patrick. Ia melihat sesuatu. “Apa ini? Hem, bor baterai? Menarik.”

Tanpa mengatakan apapun, Patrick mengambil bor itu dan lari menuruni tangga. Ia segera pergi sebelum ada yang mengetahui apa yang dilakukannya.



—Thomas Breadnose

Thomas keluar dari warnet pukul setengah 7 sore dan berjalan menuju Greenwich Park Street. Rumahnya ada di sana. Sebenarnya Thomas tidak berniat pulang. Anak-anak kecil yang jadi tetangganya pasti menghina nama keluarganya yang agak aneh. Breadnose. Seluruh anggota keluarga Breadnose berhidung mancung, tapi tidak berbentuk roti. Mungkin karena pendiri keluarga Breadnose, Gregory Breadnose, hidungnya berbentuk seperti roti.

“Ah, Thomas!” seru Mrs. Breadnose. “Sudah pulang? Bisa ke minimarket sebentar?”

“Mom, aku kan baru pulang,” protes Thomas. “Lagipula sudah sore.”

“Sebentar saja! Beli obat nyamuk!” kata Mrs. Breadnose.

“Memangnya kenapa? Nyamuknya muncul lagi?”

Mrs. Breadnose mengangguk dan menyerahkan sejumlah uang. “Sebentar saja. Pilih yang bentuk semprotan. Lebih efisien.”

Thomas menerima uang itu dan berbelok ke minimarket. Sebenarnya ia sudah lelah, tapi Mrs. Breadnose pasti akan menyuruhnya terus sampai dia berangkat. Thomas masuk ke dalam dan mulai mencari obat nyamuk.

“Gudang kimia Chemistry Appleby di Park Vista ditutup?” Thomas bisa mendengar orang di sebelahnya bicara.

“Ya. Katanya Mr. Appleby menciptakan banyak racun mematikan di gudang itu. Makanya ditutup,” jawab satunya.

Thomas terdiam. Racun mematikan? Bagaimanapun, racun kan senjata juga. Digunakan untuk membunuh. Thomas memperhatikan obat nyamuk yang dipegangnya. Jika semprotan itu diisi racun, pasti sangat mematikan. Thomas tersenyum. Ia mengeluarkan uang sakunya. Masih cukup untuk membeli satu obat nyamuk lagi. Thomas mengambil dua obat nyamuk dan langsung membayarnya.

Thomas berjalan lurus ke Park Vista. Tidak terlalu jauh dari Greenwich Park Street. Di sana, ada sebuah bangunan reyot yang diberi plang Chemistry Appleby. Pintunya dipaku dengan kayu. Thomas memanjat ke atap dan masuk lewat cerobong asap.

“Aduh!” serunya ketika terjerembap ke lantai. Thomas membuka matanya. Ruangan itu kotor dan berdebu. Banyak cairan kimia yang ditaruh di botol. Thomas berdiri dan menghampiri rak berisi cairan-cairan kimia. Salah satunya dilabeli ‘Racun Mematikan’.

“Ini dia,” gumam Thomas sambil mengambil botol itu. Ia membuka salah satu obat nyamuk dan membuang isinya, lalu mengisi botol obat nyamuk dengan racun. “Sekarang aku sudah punya senjata. Aku tinggal meletakkan obat nyamuk di teras depan, lalu kembali ke GJHS.”

Thomas mendobrak pintu belakang dan segera pergi dari bangunan itu. Setelah itu, ia meletakkan obat nyamuk yang dibelinya di teras depan rumahnya dan segera pergi.



—Veronica Grey

“Veronicaa… Nicaveroo…” terdengar nyanyian sumbang dari balkon di rumah keluarga Grey di Tuskar Street.

“Please deh, Kak. Namaku nggak cocok kalau dinyanyikan,” protes Veronica.

“Siapa yang nyanyi? Kakak cuma nyebut namamu aja. Tumben pulang? Bukannya kamu ikut Summer Class, ya?” tanya Rinka Grey, kakak Veronica.

“Kakak. Sekarang musim apa?” Veronica balik bertanya dengan tatapan datar.

“Hem… Oh ya, sekarang musim gugur. Hehe.”

Veronica mengabaikan Rinka dan masuk ke dalam rumah. Mom dan Dad sudah melakukan banyak renovasi ke rumah kecil itu. Bahkan, mereka membuka usaha laundry. Veronica melupakan hal itu dan beranjak ke ruang tengah. Kakeknya mantan pemburu, dulu punya banyak senjata. Senjata-senjata itu masih ada saat Veronica pulang musim semi lalu.

“Lho? Senjata-senjata Kakek ke mana?” tanya Veronica kaget. Ruang tengah dipenuhi lukisan-lukisan abstrak yang sudah pasti dibuat Rinka.

“Semuanya disimpan di rak. Biar nggak ada yang menyalahgunakan,” jawab Rinka.

“Kenapa diganti sama lukisan nggak berbentuk?”

“Eh, jangan salah. Lukisan abstrak itu lukisan paling bagus. Nilai seninya paling tinggi.”

Veronica mencibir. “Nilai seni apanya, cuma coretan asal-asalan. Udah ah, aku pergi lagi, ya.”

“Mau ke mana?”

“Jalan-jalan,” jawab Veronica singkat. Ia keluar rumah dan segera berjalan menuju Old Woolwich Road, tempat Greenwich Junior High School berada.



—William Smith

Willy memutuskan untuk pergi ke laboratorium IPA karena ia tak mungkin pulang. Orangtuanya tinggal di London, jadi Willy dititipkan di asrama GJHS. Willy sempat melihat Luna berjalan menuju dapur, tapi dia diam saja. Untuk apa seorang lelaki datang ke dapur? Pasti memalukan.

Laboratorium IPA di GJHS lumayan luas. Ada enam meja panjang yang biasa digunakan untuk praktikum. Tersedia banyak peraga, juga tengkorak yang dinamai Joysen Froste McNaville. Peralatan kimia juga lengkap. Bahkan mereka punya ruangan khusus untuk percobaan kimia dan ruang kecil berisi koleksi formula. Willy sangat suka laboratorium, apalagi bagian mekanik dan teknologi. Ia suka berurusan dengan kabel-kabel. Dalam waktu singkat, ia dapat menciptakan bom sederhana dengan tingkat ledakan yang lumayan.

“Apa aku pakai senjata bom saja?” gumamnya sambil menyentuh kabel-kabel. “Aku hanya butuh waktu dua menit untuk merancang bom sederhana. Dalam empat menit, bomnya bisa meledakkan satu ruangan. Dalam enam menit, satu koridor. Dalam satu jam, mungkin aku bisa menghancurkan dunia.”

Willy mengambil peralatan-peralatan yang dibutuhkannya. Setelah itu, ia membawanya kembali ke kamarnya. IQ Willy memang sangat tinggi, bisa dibilang jenius. Ia belajar membuat bom secara otodidak. Jadi, maklum saja kalau dia begitu.

Willy menyentuh tombol ON. Yap. Bekerja. Daya ledaknya rendah, hanya sanggup membolongi meja ini, pikirnya. Dalam 3 detik, bom itu meledak. Benar perkiraannya. Meja tempat ia meletakkan bom itu bolong. Willy tersenyum. Ia tak sabar untuk menunjukkan kemampuannya pada teman-temannya.

*End of Flashback



3 hari berlalu di kelas 7I. Selama itu, hampir tak ada orang yang dibunuh. Mereka diam saja, sesekali mengasah senjata tajam mereka supaya semakin tajam.

Pagi itu dikejutkan dengan adanya sebuah lemari kaca di sudut ruangan. Semua anak bertanya-tanya, siapa yang memberikan lemari itu dan untuk apa. Bukankah di kelas mereka sudah ada rak? Dan juga kulkas? Jadi, untuk apa lemari itu?

“Untuk menyimpan bola mata koleksi Charl,” kata Darren menjelaskan. “Pokoknya, seseorang mengirimkan lemari ini untuk kita supaya Charlene bisa mengisinya dengan bola mata koleksinya.”

“Bola mata? Hiiiyy!!!” Nathline bergidik ngeri. Sudah cukup dengan kejadian 3 hari yang lalu, sekarang dia akan duduk di depan sebuah lemari yang akan berisi jutaan bola mata.

“Kenapa memangnya? Jangan takut, Nath. Bola mata itu tak akan menyiksamu,” kata Charlene menenangkan Nathline. “Tapi, siapa yang akan kita bunuh? Baiklah, kalian yang melukainya, tapi akulah yang akan mengambil bola matanya.”

Semua anak berpikir. Mereka terdiam beberapa saat, kemudian Jane mengangkat tangan.

“Aku tau! Kita bunuh Dickey Kingsleigh!” usulnya bersemangat.

“Oh ya! Aku setuju!” kata Lic dan Charlene bersamaan. Anak-anak lain pun setuju, lalu mulai menyusun rencana.

“Begini. Nick, kau temui Dickey. Tempelkan bom ini padanya. Yah, bagaimanapun caranya, jangan sampai dia menyadarinya. Lalu, Darren dan aku akan memasukkannya ke tong sampah organik. Dalam 20 detik, dia akan meledak,” kata Jim. Semua mengangguk setuju.

“Aku tak mau mengoleksi bola mata Dickey,” kata Charlene sinis.

“Terserahmu saja. Aku juga tidak menganjurkannya,” Darren mendukung. Memang, hampir semua anak di kelas 7I yang mengenal Dickey sangat membencinya, karena sikapnya yang keperempuanan, tidak gentle, dan payah.

Rencana itu dilakukan saat istirahat. Sementara anak-anak lain makan di kantin, Nick, Darren, dan Jim melakukan tugasnya. Di tangan Nick tertempel bom stiker yang belum diaktifkan. Bom itu diaktifkan jika terkena orang lain. Oleh karena itu, Nick memegangi tangannya, takut kalau dia salah sasaran. Rugi juga menghabiskan uang untuk membeli bom stiker yang mahal.

Akhirnya, Nick menemukan Dickey di kelasnya. Nick segera menepuk pundak Dickey. “Hai, Dickey!”

Setelah itu, Nick langsung pergi. Kali ini giliran Darren dan Jim yang mengangkut Dickey ke tong sampah di depan sekolah. Pasti tak akan ada yang menyadarinya. Biar saja mereka menemukan mayat Dickey. Toh mereka tak akan bisa menghidupkan Dickey kembali.

“Waaa! Mau dibawa ke mana aku?!” tanya Dickey sambil menangis. Darren dan Jim tidak menghiraukannya, lalu memasukkan Dickey ke tong sampah. Setelah itu, mereka kembali ke kelas.

“Bagaimana?” tanya Jane.

“Sukses,” jawab Darren bangga. Dia duduk di kursinya, terdiam sambil mencabuti rambutnya (kebiasaan yang tak bisa hilang). Semuanya masih deg-degan sampai terdengar suara “DHUAAAARRR!!!!” di halaman sekolah. Licorice langsung melompat girang. Dia melongok ke luar jendela. Yap, mayat Dickey ada di sana. Sementara itu, Charlene tersenyum gembira. 2 masalahnya telah selesai.



Namun keesokan harinya, timbul masalah baru. Kejahatan yang mereka lakukan mulai terendus oleh pihak sekolah. Teruatama karena mereka telah membunuh salah satu guru di sekolah itu. Pihak sekolah pun mengadakan rapat untuk memutuskan sangsi yang akan mereka jatuhkan. Sayangnya, pimpinan sekolah sedang berada di luar negeri untuk study banding. Sedangkan ia ada di sini, sudah pasti dia akan memberikan hukuman kejam yang tanpa kenal ampun pada anak-anak 7I.

“Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan pada anak-anak itu. Ini sudah keterlaluan. Tetapi, segala macam pembunuhan yang telah di lakukan oleh anak-anak itu, jangan sampai bocor pada khalayak ramai. Kita biarkan saja kejadian itu menjadi rahasia sekolah ini. Pada wali murid, kita akan bilang tidak tahu apa-apa dan ketika si murid hilang, ia sudah tidak lagi berada di wilayah sekolah. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan menyebar ke khalayak ramai dan nama sekolah kita tetap tidak tercoreng. Bagaimana pendapat saudara sekalian?” jelas salah satu guru penjang lebar.

“Aku setuju dengan pendapat anda. Kita harus beri mereka pelajaran yang membuat mereka kapok. Tapi, jangan sekalipun melaporkan mereka pada aparat berwajib. Kita pasti akan masuk pemberitaan. Tutup kasus ini rapat-rapat,” sahut salah satu guru perempuan.



7I class.

Rupanya, mereka juga tengah mengadakan rapat tertutup. Mereka duduk lesehan membentuk lingkaran di karpet.

“Guru-guru itu pasti telah mengendus perbuatan kita. Mereka bisa tahu karena kita tidak membereskan jasad guru itu selesai meledakkan petasannya,” kata Will.

“Pasti. Dan sekarang, mereka mungkin sudah menyiapkan berbagai hukuman kejam untuk kita..” sahut Emma.

“Kita juga harus membalas mereka. Kita tidak boleh kalah!” kata Veronica berapi-api.

“Tapi, tidak hanya kekerasan yang kita butuhkan. Kita juga membutuhkan strategi yang jitu!” kata Darren.

“Yah.. terserah kau sajalah Darren. Kau ahlinya. Tapi, tentu saja tidak semua guru kita bunuh,” kata Charlene.

“Tentu saja. Kita tidak boleh membunuh guru piket. Karena jika kita memesan senjata, yang akan mengumumkan kedatangan senjata itu siapa? Tentu saja guru piket kan?” kata Luna.

“Iya. Kita hanya harus membunuh guru yang bagi kita sangat menyebalkan. Kita lihat saja nanti yang harus kita bunuh selanjutnya,” kata Licorice.

“Ya, kita lihat saja nanti siapa guru yang menghukum kita paling kejam. Itulah yang kita bunuh!” sahut Jerry menyetujui usul Licorice.

“Hey.. itu artinya, kita harus menerima hukuman dari mereka dulu?!” tanya Charlene.

“Aku tidak mau kalau harus menerima hukuman terlebih dahulu!” sahut Luna.

Semuanya bingung. Mereka juga tidak mau menerima hukuman. Tetapi, mereka tidak mungkin membunuh semua guru. Mereka harus mengukur tingkat kekejaman guru yang akan di bunuh saat hukuman berlangsung.

“Hmm.. kita harus memata-matai mereka. Mungkin hanya ada beberapa orang yang menghukum kita. Tidak mungkin semuanya. Sejauh ini, aku perkirakan yang akan menghukum kita adalah guru laki-laki..” prediksi Juliet.

“Kupikir juga begitu. Tapi bisa juga Mrs. Tracy. Dia galak. Ingat, dia pernah memarahi kita cuma gara-gara nilai kita tidak tuntas,” kata Nathline, mengacu pada Mrs. Tracy Waller, guru matematika.

“Aku mencurigai Mr. Roughton,” komentar Charlene, “dia pernah menuduhku halangan sampai 3 minggu gara-gara aku tidak ikut peribadatan mana pun. Guru seni yang buruk, padahal dia wali kelas kita.”

“Monsieur Bilkav Belkie baik,” protes Juliet.

“Bryan! Aku tugaskan kau untuk memata-matai mereka semua. Ingat. Jangan sampai kau ketahuan. Gunakan badanmu yang gesit agar bisa bergerak selicin mungkin,” utus sang ketua kelas—Darren.

“Aku ikut! Aku juga bisa bergerak licin!” sela Angus tiba-tiba.

“Bergerak licin apanya. Memangnya belut,” olok Flo.

“Itu kiasan, Flo. Maksudnya, biar nggak ketahuan,” jelas Luna.

“Bodo, ah,” Flo mengangkat bahu.

“Jadi, kita punya dua mata-mata. Angus dan Bryan. Bryan, ini pakailah binokular milik Emma. Jika kau tidak bisa mengamati mereka dari dekat, kau bisa melihat mereka dari jauh,” kata Darren.

“Jika pintu ruang guru tidak ditutup, Darren..” gumam Nathline.

“Coba saja penemuan baruku. Aku baru saja merancang perekam suara walaupun terhalang tembokpun, kiat bisa mendengarkan suara orang di dalam!” usul Willy sambil mengeluarkan sebuah benda kecil. Willy memang anak yang lumayan jenius dan ber-IQ tinggi.

“Apa fungsi sayap ini, Will?” tanya Bryan penasaran.

“Benda ini bekerja seperti serangga. Dia menggunakan kamera yang bisa menangkap gambar tempat yang akan dihinggapinya. Lalu kita tinggal melepaskannya, maka dia akan bekerja sendiri,” kata Willy menjelaskan.

“Wow! Kau hebat Willy. Benda ini akan membuat pengintaian kita semakin mudah!” puji Juliet.

“Kalian berangkatlah sekarang. Secara otomatis, suara yang ada di ruang guru akan tersambung pada alat ini. Jadi kalian tidak perlu lagi berlama-lama. Cepatlah kembali sebelum ketahuan!” kata Willy.

Bryan dan Angus langsung melesat keluar kelas. Namun, Bryan berbalik lagi.

“Aku sepertinya belum membutuhkan binocular milik Emma,” katanya sebelum melesat menyusul Angus menuju ruang para guru.



Angus dan Bryan kini sudah mencapai tempat yang strategis. Bryan cepat-cepat mengeluarkan perekam suara buatan Willy. Lalu mengarahkan mata kameranya yang sangat kecil ke arah dinding luar ruang guru. Dan segera melepaskan.

Alat itu memang benar-benar canggih! Ia langsung terbang cepat sekali dan hinggap di dinding ruang guru bagian luar. Siap merekam segala pembicaraan yang terjadi di dalam ruang guru.

“Apakah kita sudah bisa kembali?” tanya Bryan pada Angus.

“Sepertinya bisa. Willy bilang kita tidak usah berlama-lama di sini, kan? Lagipula, aku juga ingin mendengarkan percakapan para guru itu,” kata Angus lalu, bersama Bryan melesat kembali ke kelas.

Sesampainya di kelas, tampak lainnya sedang duduk melingkari sebuah alat. Mirip sperti speaker yang berfungsi untuk menampilkan pembicaraan yang di rekam oleh alat buatan Willy.

“Bagaimana?” Tanya Bryan.

Darren melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar Angus dan Bryan ikut duduk dan mendengarkan pembicaraan di ruang guru.

“Kita harus menghukum mereka sampai mereka kapok!”

“Ide bagus. Tapi apa hukuman yang pantas untuk kelakuan mereka?”

“Bagaimana kalau kita kurung mereka di kamar mandi, sampai besok pagi tanpa makan dan minum?”

“Jangan. Mereka pasti punya ide licik untuk membebaskan diri ketika kita sudah pulang.”

“Lalu, bagaimana?”

“Bagaimana kalau kita hukum mereka menggunakan kekerasan?”

“Iya. Lagipula, perbuatan yang mereka lakukan itu bukan lagi kekerasan namanya, itu sudah kejahatan fatal. Membunuh gurunya sendiri. Padahal jelas-jelas gurunya itu tidak bersalah.”

Rahang Charlene mengeras menahan emosi. Jelas jelas guru itu menyiksaku! Masih dianggap tidak bersalah?! Bersalahnya seperti apa kalau begitu?! Gumamnya dalam hati. Melihat temannya mulai tersulut, Licorice mengelus pundaknya. Berusaha menenangkan.

“Bagaimana kalau kita pukuli saja mereka dengan rotan?”

“Apa itu tidak terlalu menyakitkan?”

“Keras sedikit tidak apa-apa! Parah mana, memukuli dengan rotan atau membunuh?”

“Jelas membunuh.”

“Terserah anda semua saja. Yang jelas, saya tidak akan melakukan perbuatan sekeras dan sekejam itu. Bagaimanapun kejamnya mereka, mereka masih murid saya dan mereka masih anak-anak.”

“Tapi mereka kini bukan lagi anak-anak biasa. Mereka anak-anak berbahaya. Pembunuh! Yang seharusnya kini sudah mendekam di pusat rehabilitasi!”

“Cukup! Rapat kali ini di tutup. Kita putuskan, hukumannya adalah memukuli mereka semua dengan rotan. Saya akan menugaskan lima orang guru laki-laki untuk melaksanakan tugas ini.”

“Cih! Tugas katanya?!” desis Luna.

“Oke! Semua sudah jelas. Rapat sudah di tutup dan informasi yang kita dapat. Sudah sangat jelas. Terima kasih atas bantuanmu Willy, Bryan, Angus. Sekarang pasti mereka sedang bersiap menuju ke sini. Untuk itu, kita juga harus bersiap-siap menghadapi mereka. Kalau bisa, kita serang duluan mereka,” jelas Darren berapi-api.

“Jangan, Darren. Itu terlalu cepat. Kau tentu ingin mereka merasakan permainan kita terlebih dahulu kan?” kata Emma seperti biasa. Menasehati Darren jika dia mulai gegabah.

“Baiklah..” belum sempat Darren menyelesaikan kalimatnya, dari arah speaker lebih dulu terdengar bunyi seperti televisi yang rusak.

“Apa artinya itu Will?” tanya Andrea.

“Artinya alatku hancur!” kata Willy sambil memainkan bom yang baru saja dirakitnya selama 5 menit itu.

“Dasar bodoh! Kau pasti membuatnya terlalu mencolok! Jadi ketahuan!” umpat Andrea.

Sontak semua menoleh ke arah Andrea dengan tatapan tajam.

“Kau belum tentu bisa membuat alat seperti dia!” bela Neilson. Tidak terima temannya di jelek-jelekkan.

“Apa? Aku hanya mengungkapkan yang sebenarnya!” kata Andrea membela dirinya. Tapi lebih ke arah memancing emosi semua anak.

“Sekali lagi kau berkata begitu, akan aku suruh Charlene melubangi matamu!” kata Jerry dan Patrick bersamaan.

“Eee.. teman-teman, tanpa kalian suruh pun, aku akan dengan senang hati melubangi matanya,” sahut Charlene dengan tenang.

“Dan akan aku cincang tubuhmu menjadi 100 bagian. Kau mau?!” sentak Licorice.

“Yak.. yak.. kalian bisa santai tidak sih? Aku kan hanya berkata begitu saja kalian sudah emosi. Sudahlah, jangan memperbesar masalah!” elak Andrea. Tak urung, ia takut juga mendengar ancaman teman-temannya.

“Siapa sebenarnya yang memperbesar masalah?!” desis Luna dengan tatapan bengis. Ingin rasanya ia arahkan pisau yang sedang di bawanya ke arah leher Andrea dan melibasnya sampai tuntas.

“Sudahlah, dia memang keras kepala. Tidak usah kau pedulikan..” kata Nathline.

“Iya.. fokuslah kepada misi kita kali ini..” kata Bryan mendukung Nathline.

Akhirnya, mereka semua bergegas keluar kelas, menuju ruang guru. Tetapi, sepertinya mereka harus terhenti di dekat aula. Karena mereka telah di hadang oleh kelima orang guru laki-laki yang siap memberikan hukuman kepada mereka. Terbukti, tangan kelima orang itu menggenggam rotan yang panjangnya kira-kira 1 meter.

“Mau apa kalian?!” tanya Darren dingin, meskipun ia sudah tahu apa maksud kelima orang itu menghadang mereka.

“Kau! Jaga sopan santunmu!” kata salah satu orang diantaranya sambil menunjuk muka Darren dengan rotannya.

Hal itu membuat Darren agak naik pitam. Tapi, ia berhasil mengontrol emosinya.

“Kami akan menghukum kalian atas semua pembunuhan yang kalian lakukan di sekolah ini! Kalian sudah keterlaluan!” kata guru yang tadi menunjuk muka Darren.

“Kenapa tidak langsung saja laporkan kami ke pihak berwenang?!” Tanya Veronica.

“Hey! Kalian pikir mengembalikan nama baik sekolah yang sudah tercoreng sebaik membalik telapak tangan?! Lihat! Kalau kami melaporkan kalian ke pihak berwajib, nama sekolah bisa tercoreng! Anak-anak bodoh!” sentak orang yang satu lagi.

“Sekolah pengecut! Tindakan macam apa itu?! LOSER!” bentak Luna sambil memberikan tatapan sinisnya kepada kelima orang itu.

“Mau apa kau, anak kecil?!” bentak yang lainnya sambil mengarahkan rotannya ke arah Luna.

“Berhenti, atau aku bisa saja menyayat lehermu,” balas Luna dengan nada bengis sambil mengacungkan pisaunya. Sontak orang itu diam dan mundur.

“Yaah.. bapak-bapak, sepertinya sebelum kalian menghukum kami, kami yang akan lebih dulu menghukum kalian semua!” kata Charlene dramatis. Lalu selanjutnya, dengan gerakan cepat dan mengagumkan, ia mengambili satu persatu bolamata ke lima orang itu dengan pedang anggarnya yang panjang, tajam, dan mengkilat.

“Hmm.. lihat ini. Lemari itu akan segera penuh,” katanya sambil tersenyum licik. Dalam beberapa detik, kelima orang itu sudah tidak memiliki bolamata.

“Lic, apa kau tidak ingin mencincang tubuh mereka?” tanya Charlene melihat Licorice yang tak kunjung bergerak maju untuk mencincang kelima tubuh itu.

“Aku tidak sudi, mereka tampak menjijikkan sekali bagiku. Lagipula, mereka belum mati!” tolak Licorice sambil memandang jijik kelima orang tanpa bolamata itu. Ini jarang sekali terjadi.

Tanpa ampun, Charlene lalu menusuk kelima orang itu–lagi-lagi dengan gerakan yang cepat–tepat di dada mereka.  Sehingga dengan cepat, kelima orang itu mati seketika.

“Kau benar, Lic. Mereka terlihat menjijikkan. Setelah ini, aku akan membersihkan pedangku sebersih mungkin!” kata Charlene.

“Willy, Neilson, dan Patrick, bawa mereka ke ruang eksekusi. Will, jangan lupa bawa bom mu. Jangan biarkan tubuh mereka utuh. Benar kata Lic dan Charlene. Mereka terlihat sangat menjijikkan,” kata Darren sambil ikut memandang kelima orang yang sudah tidak bernyawa itu dengan tatapan seperti menatap tikus dan kecoa yang baginya sangat menjijikkan itu.

“Hoaaamz.. hanya segini saja toh? Membuatku mengantuk saja. Sangat membosankan,” keluh Andrea tiba-tiba.

Shut up, Bastard!! Kau bahkan tidak melakukan apapun! Aku sudah cukup kesal dengan tingkahmu hari ini. Kau seperti anak kecil! Mengocehlah terus! Aku tidak akan segan menyayat lehermu jika kau terus menyerocos seperti tadi!” umpat Luna sambil menunjuk-nunjuk Andrea.

“Kau..” belum sempat Andrea meneruskan kalimatnya, pisau Luna sudah melayang duluan.

Kalau Luna meleset 1 cm saja dari lemparannya, maka pisau itu pasti menggores wajah Andrea telak. Untung saja, Luna merupakan pelempar yang cukup handal.

Andrea yang kaget setengah mati hanya bisa bungkam dan membelalakkan matanya. Tidak menyangka.

“Aku bisa saja menggoreskan luka yang cukup banyak di wajahmu tadi. Tapi aku masih punya kesabaran! Jadi aku masih memaafkanmu. Oh ya, tadi aku sempat melihat pucatnya wajahmu saat kita di hadang tadi. Kenapa? Atau jangan-jangan kau takut? Lain kali, hilangkan gengsi setinggi langitmu itu!” kata Luna sambil mencabut pisaunya yang tepat mengenai tiang kayu dekat aula, lalu melenggang dengan santai.

Thomas yang saat itu ada di tiang kayu dan hampir saja mendapat sambitan pisau, hanya bisa berkata pada Jerry, “Wow, kau tahu? Luna Selena itu memang punya gaya..” Jerry hanya mengangguk setuju.

Yah, sepertinya, setelah kejadian ini, mereka akan benar-benar menjadi psikopat yang benar-benat ‘psikopat’. Dan, mungkin setelah hari ini, tidak akan ada yang berani mencari masalah dengan mereka lagi. Mungkin juga karena motto mereka,

WE KILL EVERYONE WHO BLOCKS OUR WAY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar