***
Suatu pagi...
Seorang guru berlari-lari
di sepanjang koridor. Dia memasuki kelas aksel 7I dengan ngos-ngosan. Setelah
itu, dia menatap semua murid di kelas tersebut, semua tampak muram.
“Anak-anak,” katanya
pelan, “Hari ini, akan diadakan razia. Harap semuanya berdiri dan biarkan
anggota SSP memeriksa kalian.”
Semua murid beranjak
dari bangku mereka dengan enggan. Bahkan, Angus (selaku anggota SSP di 7I) pun
mengumpat-ngumpat bersama Thomas dan Jim. Anggota SSP yang lain langsung
memencar dan menggeledah bangku dan tas anak-anak.
“Hei! Aku menemukan
susu kaleng! Punya siapa ini?” tanya seorang anggota SSP.
“Itu punyaku,” jawab
Patrick. “Tolong jangan dirampas. Aku sedang kekurangan kalsium. Aku butuh
minum susu yang banyak.”
“Oh ya? Itu pasti
cuma alasanmu saja!” bantah yang lain.
“Benar! Lihat
wajahnya! Pucat!” bela Neilson. Dia mencekik Patrick untuk membuatnya pucat,
meskipun agak sulit karena leher Patrick sedikit lebih besar dari kedua
tangannya.
“Yah, benar juga.
Mungkin dia tidak bohong. Baiklah, anak gendut, ambil susu kalengmu ini. Cepat,
minum! Aku tak ingin kau mati kekurangan kalsium,” anak SSP yang merazia susu
kaleng Patrick segera memberikannya pada Patrick.
“Terima kasih,” ucap
Patrick, lalu segera meminumnya sampai habis. Neilson melepaskan cekikannya
sambil ngos-ngosan.
“Hei! Ada laptop dan
flashdisk di sini! Punya siapa?” tanya Peony Moraea, salah satu anggota SSP
yang dikenal oleh Charlene, Licorice, Allison, dkk.
Licorice dan Charlene
mengangkat tangannya dengan tatapan sinis. “Laptopnya punya Charlene, flashdisk-nya
milikku. Kenapa memangnya?” tanya Licorice sinis.
“Yah, seperti yang
kau tau, kami akan merampasnya,” kata anak SSP yang lain, laki-laki yang tidak
dikenal.
“Untuk apa?” tanya
Charlene, merasa kesal.
Anak itu menatap
Charlene tajam, tapi Charlene menatapnya lebih tajam lagi, setajam ujung pedang
anggar. “Tentu saja untuk diperiksa! Bisa saja kau menyimpan hal-hal tak
berguna di laptopmu! Atau, bisa saja kau menyimpan konten-konten porno!”
“Tidak! Lihat saja di
sini!” kata Charlene, meskipun dia panik karena dia menyimpan satu folder
berisi foto-foto Wira =o=
“Ya! Lihat saja di
sini! Untuk apa di bawa-bawa ke ruangan lain kalau bisa mengeceknya di sini?
Lagipula, untuk apa Charlene menyimpan hal-hal seperti itu?! Jangan-jangan, kau
yang menyimpannya! Atau, kalau ada file-file seperti itu, kau ingin
meng-copy-nya, ya?!” Licorice membela Charlene.
Anak itu terdiam.
Terpaksa dia mengembalikan laptop dan flashdisk itu kepada Charlene dan
Licorice yang menampakkan senyum kemenangan. “Pity you are,” bisik Charlene pada anak itu. Tapi, anak itu diam
saja, kembali ke anggota SSP yang lain.
Hari itu, anggota SSP
gagal total merazia anak-anak 7I. Mereka terlalu pandai mencari alasan.
Sementara itu, di kelas lain, mereka sukses besar. Mereka tak habis pikir,
mengapa sulit sekali merazia di kelas 7I.
“Anak-anaknya memang
pandai nyari alasan,” kata Peony. Dia kenal sebagian besar anak kelas 7I.
Anggota SSP yang lain mengangguk, kecuali tentu saja Angus Spyke, anggota 7I
sendiri, dan Wira Nathaniel.
2 hari kemudian.
Sehari sebelumnya Charlene izin tidak masuk karena ikut kompetisi anggar
tingkat nasional.
“Wow, kau dibelikan
pedang anggar karena menang kompetisi? Waw, hebat!” puji Alice, memandang
pedang anggar milik Charlene yang panjang, mengilat, dan tajam. Pedang anggar
Charlene adalah pedang khusus karena pedangnya keras dan kaku. Biasanya kan,
pedang anggar itu meliuk-liuk. Punya Charlene beda.
“Ya. Sebenarnya aku
tak ingin membawanya, tapi kata Mom, aku harus membawanya. Untuk berjaga-jaga saja,”
kata Charlene, merasa bangga. Selama ini, belum pernah ada temannya yang
menggeluti bidang anggar.
“Bagaimana lawanmu?”
tanya Licorice.
“Dengan mudah
kukalahkan. Begitu aku menusukkan pedang anggarku, dia langsung jatuh tanpa
menangkis,” jawab Charlene. “Dan aku menang.”
Tiba-tiba, seorang
guru masuk sebelum Charlene sempat menyembunyikan pedang anggarnya. Guru itu
melihat pedang anggar Charlene, dan yakin bahwa itu milik Charlene Courtland.
“Miss Courtland,
tolong kemari dan bawa BENDA itu,” katanya sinis. Charlene, pasrah pada
kenyataan bahwa pedangnya akan disita, maju ke depan. “Bukankah sekolah telah
melarang membawa senjata tajam ke sekolah?”
“Yaa…” jawab Charlene
ragu. “Tapi ini kan…”
“Tak ada tapi-tapian.
Singsingkan lengan bajumu,” kata guru itu sinis. Pasrah, Charlene
menyingsingkan lengan bajunya. Guru itu menghunus pedang anggarnya, dan
menggoreskannya ke kulit Charlene.
“Ah!” pekik anak
perempuan, tak tega melihat darah segar mengalir dari tangan Charlene. Charlene
sendiri hanya diam menahan sakit.
“Bagaimana? Sakit,
kan?” tanya guru itu. Tapi, bukannya menghentikan ‘aksi’-nya, guru itu semakin
bersemangat menggores lengan Charlene yang kini berlumuran darah segar. “Saya
tahu, kamu tak pernah ikut peribadatan apapun. Kamu anak Atheis, kan? Harusnya
ini cukup untuk mengingatkanmu. Mulai hari ini, kau harus punya keyakinan.”
Setelah dia puas, dia menghentikannya, lalu mengembalikan pedang anggar
Charlene. “Itu pelajaran bagimu untuk tidak membawa senjata tajam lagi dan
belajar beragama.”
Charlene diam saja.
Tangannya sangat perih karena jutaan goresan dan darah yang mengalir deras.
Guru itu sangat kejam. Awas saja kau. Aku akan balas dendam, batin Charlene.
Guru itu pun
menerangkan pelajaran, tak memedulikan Charlene yang menderita. Dia malah
menerangkan dengan sedikit senyum di wajahnya, seolah dia telah melakukan
sesuatu yang sangat mulia.
“Charlene, bagaimana
keadaanmu?” tanya Nathline, teman sebangku Charlene, panik.
“Aku tidak apa-apa,”
jawab Charlene datar.
“Tidak mungkin. Lenganmu
berwarna merah karena darah. Kau TAK MUNGKIN baik-baik SAJA,” Nathline
menyangkal. “Kita harus segera ke rumah sakit, Charl.”
“Tidak mau.”
“Ayolah! Nanti kau
terinfeksi!”
“Aku, tidak, mau!”
Charlene bersikeras. “Jangan paksa aku, Nath. Aku tak akan menyerah hanya
gara-gara guru sialan itu.”
“Kau dendam padanya,
Charl?” tanya Darren.
Charlene melirik
Darren sebentar. “Ya. Suatu saat aku akan membalaskan dendamku. Menyiksanya,
menyayat tangannya, bahkan akan lebih dari itu. Aku akan membunuhnya, dengan
tanganku sendiri!”
“Charlene, kamu nggak papa?” tanya Emma
khawatir sambil memperhatikan lengan Charlene yang masih berdarah.
“Nggak papa, tapi aku
lemas,” kata Charlene.
“Jelas. Kamu
kekurangan banyak darah,” komentar Neilson.
“Ayo! Makan dulu!
Minum susu!” seru Licorice panik.
“Ah, nggak apa-apa,
Teman-teman. Aku cuma minta satu dari kalian semua.”
“Apa, Charl? Bilang
aja!” pinta Flo cemas.
“Aku minta, kalian
pulang ke rumah dan mulai Senin besok, bawa senjata kalian,” kata Charlene serius.
Anak-anak yang lain
mengernyit. Lalu, serempak bertanya, “Buat apa?”
“Balas dendam. Kurasa
anak-anak laki-laki bisa juga membawa mercon. Begini rencananya. Beberapa anak
lelaki menculik guru itu dan kunci dia di kamar mandi. Siapkan mercon yang bisa
meledak dalam beberapa menit. Lalu, aku akan menyiksanya dengan pedang anggarku
ini,” jelas Charlene sambil menunjukkan pedang anggarnya.
“Baiklah. Bilang
saja, kau ingin kami jadi psikopat,” kata Licorice sambil menerawang.
Hari Senin. Kini, tak
ada wajah muram di kelas 7I. Hanya ada wajah bengis yang siap membalaskan
dendam kepada siapapun yang membuat mereka marah. Itulah yang membuat mereka
membawa segala macam senjata tajam. Semua bertujuan untuk membalaskan dendam
mereka, terutama dendam Charlene pada guru yang menyiksanya.
Guru yang mereka
nantikan datang juga. Tiba-tiba, semua anak laki-laki meringkus si guru dan
membawanya ke kamar mandi. Tangan dan kakinya diikat, mulutnya ditutup dengan
lakban. Mereka telah menyiapkan bom mercon untuk guru itu, dan Charlene berdiri
dengan tenang di depan si guru.
“Nah, hari untuk
balas dendam datang juga,” gumamnya, tapi keras sehingga sudah pasti sang guru
mendengarnya. “Kira-kira, akan kuapakan kau dengan pedang anggarku ini? Tusuk
perut? Tidak, tidak. Itu tak menyakitkan. Bagaimana kalau kita tusuk bola
matamu dan kita tarik keluar? Ya, itu pasti menyakitkan.”
Dan Charlene pun
menusukkan pedang anggarnya ke bola mata guru itu, lalu menariknya keluar dari
lubang mata. Kini, sang guru hanya memiliki satu bola mata.
“Satu bola mata
rasanya belum cukup untuk membalaskan dendamku. Rasanya harus dua-duanya,” kata
Charlene, tanpa basa-basi langsung menusuk bola mata satunya, dan menariknya
keluar. Setelah itu, dia menjejalkan kedua bola mata itu di dalam tempat
sampah, menggembok pintu kamar mandinya, dan kembali ke kelas.
“Kau apakan guru itu,
Charl?” tanya Lic. Charlene hanya tersenyum licik.
“Aku? Bukan apa-apa.
Aku hanya menusuk dan mengeluarkan kedua bola matanya, lalu kubuang ke tempat
sampah,” jawab Charlene enteng. “Hah, rasanya lega sekali setelah balas
dendam.”
Nathline bergidik
ngeri membayangkan kedua bola mata itu. Mengapa Charlene tenang-tenang saja?
“Kerja bagus, Charl,”
kata Lic. “Harusnya kau tadi mengajakku! Aku juga mau!”
“Ini urusanku dengan
guru itu, Lic, jadi aku-lah yang seharusnya balas dendam. Kau boleh
melakukannya pada guru-guru yang lain. Tusuk kepalanya, aku akan tusuk bola
matanya,” kata Charlene dengan mata berbinar-binar setelah menyiksa sang guru.
Guru berikutnya, Mrs.
Anna, muncul di depan pintu kelas. Kelas 7I tampak hening, tapi raut wajah
mereka seperti menanti sesuatu. Ketika Mrs. Anna asyik menerangkan pelajaran,
tiba-tiba terdengar suara, ‘PYAR! PYAR!”
“Apa itu?” bisik
Nathline.
“Mercon yang dipasang
anak laki-laki sudah meledak. Sebentar lagi guru itu pasti mati,” kata Charlene
tenang.
“Oh…” Nathline
manggut-manggut, lalu kembali memerhatikan pelajaran.
“Kenapa kalian tak
bawa senjata, Andrea, Veronica, Juliet, Jim, Bryan?” tanya Darren heran melihat
kelima temannya tak membawa senjata apapun.
“Aku tak bisa
mengambil apapun di rumah. Semuanya dijaga ketat oleh kakakku. Apalagi senjata.
Aku sama sekali tak boleh melukai siapapun dengan senjata,” jawab Veronica
sedih.
“Aku tak bisa
menemukan senjata yang berbeda dari kalian. Kakekku pengoleksi senjata, tapi
aku bingung. Ada senapan angin, tapi aku tak ingin menggunakannya. Sepertinya
tidak cocok untukku,” jawab Jim sambil memalingkan muka. “Lagipula orangtuaku
tak akan mengizinkanku. Mereka over-protective terhadapku.”
“Alasan untukku, aku
tak mau berurusan dengan darah,” jawab Juliet.
“Ada banyak senjata,
tapi begitu aku menyentuhnya, alarm langsung berbunyi. Terpaksa aku kabur,”
keluh Emma. “Aku hanya bisa mencuri binokular Paman Corten. Aku ingin pakai
bazooka, tapi, yah, gara-gara alarm.”
“Aku memang tak bawa
senjata, tapi aku dapat yang lebih baik,” kata Bryan. “Aku dapat uang banyak
dari ATM Dad. Bisa kita gunakan. Aku juga dapat walkie talkie. Satu untukmu,
Darren, satu untukku.”
“Baguslah. Andrea?”
tanya Luna.
“Ya? Satu-satunya
alasanku, aku tak mau jadi pembunuh seperti kalian. Pekerjaan tidak terhormat.
Aku masih bisa cari jalan lain untuk cari kepuasan. Aku kan hebat. Tidak
seperti kalian yang payah,” olok Andrea.
“Kau…” hampir saja
Luna menikam pisaunya ke jantung Andrea. Tapi, cepat-cepat Darren menahannya.
“Kau harus jaga
bicaramu,” kata Charlene acuh tak acuh, lalu pergi keluar kelas.
“Kalau kau tak mau
kehilangan bola matamu,” tambah Licorice.
“Jaga baik-baik bola
mata jelekmu itu,” Luna menambahkan sebelum pergi mengikuti Charlene dan
Licorice, meninggalkan Andrea yang termenung memikirkan kata-katanya barusan.
“Nath, kenapa kau menggunakan jarum akupuntur?”
“Apa salahnya?”
Nathline balik bertanya.
“Yah, menurut ilmu
kedokteran, jarum akupuntur justru digunakan untuk menyembuhkan orang,” kata
Neilson filosofis.
“Jarum ini bukan
untuk menyembuhkan orang,” ujar Nathline sambil tersenyum misterius. “Jarum ini
untuk membekukan orang. Sangat sulit untuk mendapatkan jarum akupuntur macam
ini.”
*All flashback,
except Charlene Courtland.
—Alicia Grizzle
“Hei, Alicia!
Sekolahmu memberikan libur akhir pekan? Kebetulan sekali!” seru Mr. Grizzle
saat melihat Alice memasuki pelataran rumah. Alice menatap ayahnya dengan tidak
bersemangat. Ia langsung melempar tasnya ke sofa. “Alicia! Jaga sopan santunmu!
Setelah bergaul dengan teman baru, beginikah sikapmu saat bertemu orangtua?”
“What are you talking about?” tanya Alice datar sambil meneguk air
putih. Ia menatap rak-rak di dapur, berpikir apakah ada senjata yang bisa
dipakainya. Sayangnya segala senjata tajam di-protect oleh orangtuanya. Mereka
meletakkan pisau-pisau di tempat yang tak diketahui Alice dan adik-adiknya.
Mr. Grizzle tersenyum
kecut. “Bagaimana kalau kau membantu Dad beternak lebah? Saatnya panen madu.”
“Madu?” ulang Alice.
“Yap. Kau suka madu,
kan?”
“Terserah,” Alice
mengangkat bahu dan mengikuti ayahnya ke halaman belakang, tempat peternakan
lebah madu mereka. Keluarga Grizzle memang punya peternakan lebah madu yang
diwariskan turun-temurun.
“Pilih yang mana,
mengambil madu atau mengaduk madu?”
Alice melongok untuk
melihat pilihan yang diajukan Mr. Grizzle. Mengambil madu maksudnya mengambil
madu dari sarang lebah. Mengaduk madu maksudnya mengaduk madu agar lebih
steril. “Mengaduk menggunakan apa?”
“Pertanyaan aneh.
Tentu saja honey drizzle.”
Honey drizzle milik
keluarga Grizzle bukan honey drizzle biasa. Ukurannya lebih besar dan lebih
berat. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaduk honey drizzle itu dengan
mudah. Tetapi, Alice lebih tertarik pada honey drizzle itu daripada pengambilan
madu langsung.
“Aku mau mengaduk
madu saja,” kata Alice memutuskan.
Mr. Grizzle
mengernyit. “Benarkah? Tapi honey drizzle itu benar-benar berat. Kau tahu itu,
Alicia.”
Alice diam saja. Ia
bergerak untuk menghampiri tong besar berisi madu. Sebuah honey drizzle ada di
dalamnya. Ukurannya jumbo dan pegangannya lebih dari satu kepalan tangan. Alice
menyentuh honey drizzle itu dan mencoba mengaduknya. Awalnya memang agak berat
karena dia belum terbiasa, tapi dia tetap mencoba.
“Ya ampun! Apa kau
orang terpilih keluarga Grizzle, Alicia? Kau bisa mengaduk madu dengan honey
drizzle itu!”
Alice tak
menghiraukan perkataan ayahnya. Tapi ia tahu honey drizzle itu benar-benar
berat. Kalau misalnya kupukulkan ini pada musuhku, apa yang akan terjadi, ya?
Apa kepalanya pecah? Pikirnya. Alice mengangkat honey drizzle itu dan berjalan
ke halaman depan.
“Alicia! Alicia!”
seru Mr. Grizzle.
Tapi Alice tak punya
waktu untuk panggilan ayahnya. Ia memukulkan honey drizzle itu pelan ke kepala
ayahnya. Mr. Grizzle langsung pingsan. Alice menyambar topi dan tasnya lalu
berlari menuju Greenwich Junior High School.
—Allison McFlamkins
Allison berjalan
lurus ke Nelson Road. Sebenarnya rumahnya ada di Park Row, dekat Old Royal
Naval College, tapi tujuannya bukan itu. Ia ingin ke rumah Kakek McFlamkins.
Kakeknya adalah pembuat senjata-senjata tajam. Mungkin saja Allison bisa
meminjam atau meminta salah satu senjata itu.
“Kakek! Nenek!” seru
Allison.
“Iya, iya, siapa di
sana?” tanya sebuah suara sambil membuka pintu. Nenek McFlamkins. “Allison!
Cucuku! Apa kabar? Lama tidak berkunjung!”
“Maaf, Nek,” ucap
Allison saat Nenek McFlamkins memeluknya.
“Siapa yang datang,
Stephanie?” tanya sebuah suara berat dari dalam rumah.
“Cucu kita, Rod!
Allison berkunjung!” jawab Nenek McFlamkins.
Tiba-tiba Kakek
McFlamkins muncul dengan tergopoh-gopoh. Allison meringis melihatnya. Sudah
lama sekali sejak terakhir kali ia berkunjung ke rumah kakek dan neneknya. Itu
pun bersama orangtuanya. Allison tidak pernah berniat untuk mengunjungi kakek
dan neneknya.
“Allison! Apa kabar,
Cu? Bagaimana keadaan Sarah dan Jo? Adik-adikmu? Jason dan Aiden?” tanya Kakek
McFlamkins.
“Satu-satu, Kek. Kami
semua baik. Maaf jarang mengunjungi kalian,” jawab Allison, tak tahan untuk
mengintip ke dalam rumah.
“Ah, aku lupa
menyuruhmu masuk. Ayo, masuk dulu! Mau teh jahe seperti dulu?” tawar Nenek
McFlamkins sambil menghidangkan berbagai camilan. Allison yang sedang kelaparan
langsung memakannya.
“Kakek, apa Kakek
masih membuat senjata-senjata seperti dulu?” tanya Allison tanpa basa-basi.
Kakek McFlamkins
menoleh. Lalu, mengusap-usap janggutnya. “Sebenarnya aku sudah pensiun untuk
hal itu. Tetapi, aku masih punya koleksinya. Kenapa? Kau ingin memiliki salah
satu senjata buatan kakekmu?”
“Bagaimana Kakek bisa
tahu?”
Kakek McFlamkins
tertawa. “Tentu saja. Aku bisa membacanya dari matamu. Kau pasti penasaran
dengan senjata. Mau senjata apa? Tombak? Busur? Pedang?”
“Entahlah. Aku bingung,
tapi aku ingin senjata yang cocok untukku.”
Kakek McFlamkins
bangkit dari sofa dan masuk ke sebuah ruangan. Tak lama kemudian, ia keluar
dengan sebuah busur dan tabung berisi banyak anak panah. Beliau memberikannya
pada Allison.
“Busur. Kau pasti
cocok dengan busur.”
Allison mengamati
senjata di tangannya itu. “Aku belum pernah menyentuh busur sebelumnya, Kek.
Hanya sekali, waktu latihan drama. Tapi, tali busurnya bukan dari karet dan
temanku mematahkan satu-satunya anak panah. Mana mungkin aku cocok dengan
busur.”
Kakek McFlamkins
menepuk pundak Allison. “Kalau kau rajin berlatih, kau pasti ahli menggunakan
busur. Kalau kau butuh latihan, kau bisa datang kapan saja. Tapi, jangan sampai
orangtuamu tahu.”
“Terima kasih, Kek.”
“Ini tehnya, Allie,”
kata Nenek McFlamkins sambil menghidangkan teh di hadapan Allison. Ia terhenyak
melihat busur dan anak panah di tangan Allison. “Rod! Apa yang kau lakukan?
Menjerumuskan cucumu dengan senjata jahanam itu?!”
“Tidak apa-apa,
Stephanie. Kita bisa melatihnya agar jadi pemanah terbaik,” Kakek McFlamkins
tertawa.
“Jangan sampai Sarah
dan Jo tahu…” protes Nenek McFlamkins.
“Tentu saja!” seru
Kakek McFlamkins. “Sembunyikan di tempat aman, Allie. Kalau orangtuamu tahu,
mereka bisa membunuhku.”
“Tentu, Kakek,” balas
Allison. “Aku pergi dulu.”
“Hati-hati di jalan!”
seru Kakek dan Nenek. “Sering-seringlah berkunjung!”
Allison hanya
mengangguk singkat sebelum berlari kembali ke sekolah.
—Andrea Hilton
“Andy! Kau pulang?”
tanya Rickie, adik Andrea, begitu melihat kakaknya memasuki halaman depan rumah
mereka, rumah keluarga Hilton di Hoskins Road.
“Rickie, berapa kali
kukatakan, jangan panggil aku dengan sebutan itu! Menyebalkan,” omel Andrea.
“Mana Nenek?”
“Nenek pergi arisan.
Memangnya kenapa?”
Andrea mengangkat
bahu dan memasuki rumah. Ia mengamati perabotan di rumah itu. Ada banyak benda
tajam. Pisau, belati, jarum… Tapi apa? Memangnya dengan membawa senjata itu dia
akan dapat nilai bagus? Perintah Darren memang tak masuk akal. Tapi perlakuan
Charlene justru lebih tidak masuk akal. Membunuh.
“Ngapain lihat-lihat
pisau? Membosankan. Lebih baik ikut aku main game terbaru!” ajak Rickie.
“Diam kau!” omel
Andrea.
“Huh, biasa aja dong.
Nggak usah marah-marah,” protes Rickie.
Andrea mengabaikan
adiknya dan kembali melihat-lihat senjata di rumah itu. Ada juga senapan
kakeknya yang biasa digunakan untuk berburu. Tapi kegiatan itu berakhir tahun
lalu. Kakek sudah tidak kuat lagi dan anjing pemburu sudah mati. Senjata apa
yang bisa memuaskan anak-anak itu? Pikirnya. Huh. Apa tidak usah, ya?
Merepotkan saja. Toh, aku juga tidak akan dapat apa-apa. Ini pembodohan!
“Huh, sudahlah. Aku
pergi dulu,” kata Andrea.
“Ya,” jawab Rickie
singkat. Ia sudah larut dengan game-nya. Andrea mendengus, lalu pergi sambil
membanting pintu.
—Angus Spyke
Angus melompati pagar
rumahnya dan menendang tumpukan daun di halaman belakang. Sebentar lagi salah
satu anggota keluarganya akan datang dan memarahinya, tapi dia tidak peduli.
Siapa peduli? Tak ada yang benar-benar menyayangiku, pikirnya sambil mendengus.
Mungkin waktu ia masuk ke rumah, tak ada yang akan memperhatikannya.
“Kyaaa! Mom! Jessie
mengambil ikat rambutku!” Terdengar suara Rhonda, kakak perempuannya. Angus
mengangkat bahu. Keadaan di rumah pasti berantakan. Apalagi kalau kakak
sulungnya, Aaron, ada di rumah.
“Aaron! Tenangkan
Rhonda!” seru Mom.
“Tidak mau. Aku mau
pergi dulu,” balas Aaron sambil menendang pintu. Ia nyaris menabrak Angus yang
berdiri di depan pintu. “Angus! Minggir!”
“Apa? Angus pulang?”
tanya Jessie heboh.
“Memangnya kenapa?
Itu berita biasa!” balas Geordie, kakak Angus yang lain.
“Angus jauh lebih
tenang daripada berandal-berandal kecil seperti kalian,” olok Rhonda, yang
meskipun sudah berumur 17 tahun, tapi kelakuannya masih kekanak-kanakan.
Aaron berdecak kesal,
lalu berlari ke motor sport-nya. Keadaan di rumah benar-benar kacau dan dia
tidak bisa mengatasi adik-adiknya. Rhonda yang kekanak-kanakan, Geordie yang
bawel, Jessie yang cerewet dan berlebihan, Herbert yang pendiam dan nyaris tak
diketahui di mana keberadaannya, juga Angus. Angus biasa saja, tapi Angus-lah
tempat mereka menumpahkan semua kekesalan. Semenjak Dad meninggal.
“Maaf, rumah
benar-benar berantakan,” kata Jessie sambil merapikan buku-bukunya yang
berserakan.
“Tidak apa-apa,”
jawab Angus.
“Mau makan apa?”
tawar Rhonda.
“Tidak, terima
kasih,” tolak Angus halus.
Semuanya terdiam
begitu Angus berjalan menuju kamarnya. Meskipun hidupnya kacau dan sering
menderita, Angus tak pernah mengeluh. Dia bahkan tidak mau menceritakan apapun
pada mereka meskipun mereka keluarganya sendiri. Geordie Spyke memukul
kepalanya karena tak bisa menemukan Herbert Spyke di mana pun. Rhonda Spyke
menjambak rambutnya sendiri karena membiarkan Aaron Spyke pergi. Jessie Spyke
berusaha membantu Mom di dapur.
Angus memperhatikan
detail kamarnya. Tak ada yang berubah. Semuanya pasti berusaha agar Aaron tidak
mengacak-acak kamarnya. Kamar adalah privasi. Tak boleh ada yang masuk tanpa
izin.
Ia membuka laci
mejanya. Agak sulit dibuka. Tapi, ia berjuang dan akhirnya laci itu terlepas.
Isinya berserakan di lantai. Potongan-potongan kertas dan sesuatu yang
mengilap. Belati.
“Ini…” bisik Angus
sambil menyentuh belati itu. Belati yang diwariskan Dad sebelum meninggal.
“Pakai ini saja.”
Angus mengantongi
belati itu dan berlari menuruni tangga. Tanpa mengucapkan apapun pada anggota
keluarganya, ia keluar rumah dan berlari menuju sekolahnya. Jessie melambaikan
tangannya sambil mengusap air matanya. “Angus yang malang,” bisiknya.
—Bryan Stuart
“Hei, ini sudah
malam,” tegur penjaga warnet tempat Bryan menghabiskan sorenya. Bryan menatap
lelaki itu innocent.
“Sebentar lagi,”
katanya.
“Ini sudah jam 10.
Saatnya tutup. Aku juga mau tidur! Memangnya kau pikir ini warnetmu, apa? Kau
harus pulang!”
Bryan merengut. “Memangnya
kenapa? Akan kubayar lebih!”
“Nak, ini bukan
masalah uang. Bagaimana kalau orangtuamu mencarimu? Berikan nomor rumahmu agar
aku bisa menghubungi keluargamu!”
Bryan menyambar
tasnya dan menekan tombol power. Komputer di hadapannya langsung mati. Lelaki
di hadapannya terkejut. “Kenapa?! Kau yang minta sendiri. Tak perlu menghubungi
keluargaku. Selamat malam.”
“Anak kurang ajar,”
umpat lelaki itu ketika Bryan keluar dari warnet. Tapi Bryan tak mendengarnya.
Ia berjalan untuk menyetop taksi. Rumahnya agak jauh dari warnet itu.
Sebenarnya ia mengajak Thomas, Darren, dan Jim juga, tapi mereka pulang lebih
dulu. Apa sih pentingnya keluarga? Mereka cuma mengatur hidupmu. Ini hidupku
sebagai Bryan Stuart. Tak ada yang boleh mengaturnya, omelnya dalam hati.
“Bryan!”
Bryan menoleh. Sebuah
lamborghini mendekat ke arahnya. Perlahan, kaca mobil terbuka. Mrs. Stuart
menatapnya dengan tatapan cemas khas seorang ibu.
“Ke mana saja, Nak?
Mom berusaha menjemputmu ke GJHS. Wali kelasmu menelepon Mom untuk menjemputmu.
Tapi kau tak ada di sana. Mom khawatir sekali, Nak!” kata Mrs. Stuart.
“Aku bisa pulang
sendiri, Mom,” protes Bryan.
“Mom khawatir kau
nyasar. Ayo, naik!” ajak Mrs. Stuart sambil membukakan pintu mobil. Bryan
memasuki mobil dengan enggan. “Bagaimana nilai-nilaimu di sekolah? Harus
berjuang, ya. Supaya nilai-nilaimu membaik.”
Bryan terdiam. Ia
mengaku, nilainya memang menurun dan nyaris diturunkan ke kelas reguler. Angus
juga. Tapi, dia menepis jauh-jauh pikiran itu. Kalau kami sukses membunuh semua
guru, takkan ada tugas dan takkan ada yang mempermasalahkan nilai, pikirnya.
Mobil itu memasuki
garasi rumah keluarga Stuart. Keluarga Stuart memang terbilang kaya. Mobilnya
banyak. Tapi, Bryan tak mempermasalahkan hal itu. Ia lebih suka di sekolah.
Rumah bagai penjara, pikirnya.
“Bryan? Ayo masuk!”
ajak Mrs. Stuart.
“Ah, iya, Mom!” seru
Bryan.
Bryan masuk ke rumah
dan mulai menjelajah. Setahunya orangtuanya selalu mengamankan benda-benda
tajam. Hanya ada benda-benda standar; gunting, jarum, pisau. Tak ada senjata
yang menarik. Harusnya paling tidak ada machine gun atau semacamnya, protesnya
dalam hati. Sumpah, aku tak bisa menemukan apapun!
Bryan mengendap-endap
ke kamar orangtuanya. Ia mengangkat bantal dan mengambil sesuatu. Setelah itu,
ia buru-buru kabur dari rumah. Di jalan, ia mengamati benda yang baru saja
diambilnya. Dompet cokelat tebal. Isinya uang dan banyak kartu ATM. Mr. Stuart
memang menyimpan kekayaannya di berbagai bank. Bryan tersenyum ketika melihat
kertas berisi daftar kode pin untuk membuka rekening. Meskipun aku tidak dapat
senjata, setidaknya aku dapat uangnya, pikirnya. Pandangan matanya beralih pada
benda lain di kamar itu. Sepasang walkie talkie.
“Mungkin saja walkie
talkie akan berguna,” gumamnya, lalu kabur lewat jendela.
—Darren Black
Darren menghabiskan
sorenya dengan Bryan, Jim, dan Thomas di sebuah warnet. Mereka bebas karena
Bryan-lah yang membayar semuanya, termasuk camilan dan soft drink. Tapi,
semuanya harus diakhiri ketika jam menunjukkan pukul 6 sore.
“Aku harus pulang,”
kata Darren.
“Kenapa?” tanya Jim.
“Sudah jam 6. Aku
bisa dimarahi,” jawab Darren.
“Ya sudah,” Thomas
mengangkat bahu. Darren berdecak kesal dan segera pergi dari warnet itu.
Rumahnya dekat dari warnet itu, jadi jangan sampai keluarga Black tahu apa yang
dia lakukan. Dia bisa mati di tempat saat itu juga.
“Twinkle twinkle
little stal…” gumam Mary, adik perempuannya, saat Darren masuk rumah. Mary
masih kecil, jadi belum bisa mengucapkan huruf ‘r’ dengan benar.
“Mary Black,” panggil
Darren, “mana Mom dan Dad?”
“Meleka pelgi,” jawab
Mary. “Kak Dallen balu pulang? Ini sudah sole. Penny masak lasagna buat makan
siang. Enak banget.”
“Baiklah,” hanya itu
yang diucapkan Darren sebelum masuk ke kamarnya. Setelah berganti baju, ia
keluar kamar. Tak ada benda yang menarik di rumahnya, hanya ada koleksi
barang-barang kuno dan antik. Tapi, pandangannya beralih pada kotak besar di
dekat tangga.
“Apa itu?” gumamnya
sambil mendekat. Kotak itu masih baru, tapi agak berdebu. Ia membuka tutupnya. Darren
langsung berdecak kagum. Sebuah gergaji mesin. Sejak kapan Dad menggunakan
gergaji mesin?
Tapi dia tak
memikirkan hal itu lama-lama. Darren mengangkat gergaji itu. Agak berat. Darren
tersenyum girang. Ia menekan tombol ON dan menggergaji kaki meja. Meja itu
langsung ambruk. Darren menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah yakin tak ada
yang memperhatikan, ia langsung pergi sambil membawa gergaji mesin itu.
—Emma Wreath
Emma mengendap-endap
ke gudang rumahnya yang terletak di samping rumah. Ada jalan rahasia yang
dibuat pamannya di gudang itu, agar dia bisa masuk rumah tanpa ketahuan. Emma
membuka pintu yang berdebu dan masuk. Jalan itu berupa terowongan bawah tanah
yang hanya bisa dilewati dengan merangkak. Emma mendesis jijik saat melihat
sarang laba-laba dan banyak semut. Tapi ia mengabaikannya dan cepat-cepat
menyusuri terowongan. Begitu sampai di kamar mandi—terowongan mengarah ke kamar
mandi—Emma mendesah lega. Ia mengalami krisis oksigen di dalam terowongan.
Emma menyibak tirai
yang menutupi bathtub. Ada tali di atas. Pamannya telah membuat banyak escape
way di rumah itu. Emma biasa menggunakannya untuk keluar masuk rumah atau
bermain petak umpet. Yang tahu hal itu hanya dia dan pamannya. Tapi Corten
Wreath sudah meninggal sekarang. Hanya Emma yang menyimpan rahasia escape way
dari pamannya.
Tali itu mengarah
pada ruang botani. Mungkin saja Dad ada di sana. Tapi Emma tak melihat
tanda-tanda kehidupan kecuali tanaman di ruang botani. Ia membersihkan debu
dari roknya dan pergi ke ruangan yang dilabeli ‘Dangerous. Sharp. Don’t Enter’.
Emma tahu ruangan itu menyimpan benda-benda tajam dan senjata api. Pamannya
yang memberitahu hal itu.
“Pilih mana? Bazooka,
senapan, rifle, Sniper, belati, pisau, pedang, gergaji, jarum…” gumam Emma
sambil melihat-lihat senjata yang ada di sana. “Bazooka saja? Ini keren.”
Emma mengulurkan
tangan untuk menyentuh senjata itu. Tiba-tiba, alarm berbunyi nyaring. Emma
panik. Ia cepat-cepat keluar ruangan dan bersembunyi di ruangan sebelahnya.
Kamar Paman Corten. Ia menyambar sebuah binokular dan melemparkan tali keluar
jendela. Ia memanjat keluar jendela sambil mengeluh.
—Florice Wayne
“Ya, ya. Kira-kira
senjata apa yang ada di rumah?” gumam Flo sambil berjalan menuju rumahnya yang
terletak di dekat rumah Emma. Ia menyesal harus pulang setelah Summer Class
yang menyenangkan. Anak-anak lain yang tidak ikut Summer Class diliburkan
selama musim panas dengan setumpuk tugas. Yang ikut Summer Class, diadakan tour
keliling Greenwich. Tanpa PR. Ditambah libur akhir pekan di musim gugur. Jelas
anak-anak aksel memilih ikut Summer Class.
Dari kejauhan, Flo
bisa mendengar suara gergaji mesin, gergaji biasa, dan kapak. Pasti suara
pekerja di bisnis penebangan kayu keluarga Wayne. Mr. Wayne, ayah Flo, memang
membuka bisnis penebangan kayu dan pengolahannya. Sedangkan Mrs. Wayne membuka
bisnis kue kering.
Flo terdiam. Ia
mengendap-endap ke halaman belakang. Saat itu, tak ada siapapun.
Pekerja-pekerja Dad pasti sedang istirahat, pikirnya. Flo melompati pagar dan
masuk ke ruang perkakas.
“Hanya ada kapak…”
gumamnya. “Tidak apa-apa lah.”
Flo mengambil salah
satu kapak dan bersiap pergi. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di dalam tong. Ia
mengambilnya.
“Apa ini? Wow, kapak
antik,” pujinya. Ia menyentuh ujung tajam kapak itu. Jarinya langsung berdarah.
“Awh. Kapak keren! Siapapun yang terkena kapak ini, pasti langsung mati!”
Flo tersenyum riang
lalu keluar. Ia segera pergi dari rumahnya. Flo tak menyadari kalau dari tadi
Mr. Wayne memperhatikan tingkah lakunya.
—Jennifer Dominic
“Pulang juga, Jane?”
tanya Sammy pada adiknya.
Jane menoleh. “Yap.
Aku kangen Mom dan Dad, juga Nancy.”
“Tak kangen padaku?”
Sammy mengedipkan mata. Jane hanya tertawa. Samantha Dominic sangat berbeda
dengan keluarganya yang lain. Dia satu-satunya yang berkulit hitam. Mungkin itu
keturunan dari kakek Jane dari pihak ibu. Sebelum pindah ke Woolwich, keluarga
mereka tinggal di Libya, Afrika. Sammy dan Jane lahir di Libya, sedangkan Nancy
lahir di Rusia, saat mereka singgah di sana.
“Kau tak berhasil
dengan upaya pemutihan kulit?” tanya Jane.
“Yah, beginilah.
Syukuri saja. Toh aku lebih kuat terhadap sinar matahari dibanding kalian
semua,” kata Sammy bangga.
Mereka memasuki rumah
keluarga Dominic di Earlswood Street. Tak ada orang di rumah kecuali Nancy. Ia
sedang bermain sendiri. Nancy masih duduk di kelas 4 SD.
“Hei, Nancy,” sapa
Sammy.
“Kak Sam!” seru
Nancy. “Kak Jane!”
“Halo halo,” sapa
Jane. Ia cepat-cepat masuk ke gudang. Ia mengobrak-abrik perkakas Mr. Dominic.
Jane tersenyum melihat sekotak paku.
“Aku pakai paku
saja,” gumamnya. “Kalau paku-paku ini kutebar, yang menginjaknya pasti terluka.
Yap, aku pakai ini saja.”
Jane mengambil
kantong tebal dan memasukkan paku-paku itu ke dalamnya. Setelah itu, ia membuka
pintu ke balkon. Jane mengulurkan tali dan memanjat turun. Ia segera berlari
menuju Greenwich Junior High School.
—Jerry McClair
Jerry berlari
mengejar taksi yang meninggalkannya begitu saja di Trafalgar Road. Padahal
rumahnya ada di Colomb Street. Terpaksa, Jerry berjalan kaki ke Colomb Street
meskipun jaraknya masih jauh. Tapi setidaknya ia tidak perlu membayar. Begitu
ia menjelaskan krisis keuangannya pada sopir taksi, ia langsung diturunkan di
Trafalgar Road. Sopir-sopir taksi memang kejam, pikirnya.
“Ingin punya shuriken
seperti Naruto dan kawan-kawan? Belilah di sini! Shop-riken buka setiap hari,
dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam! Datanglah!”
Jerry menoleh. Iklan
di teve. Ia membaca plang nama toko itu. SHOP-RIKEN. Jerry mengintip dari
jendela dan melihat berbagai bentuk shuriken dipajang. Ada juga boneka-boneka
figurin serial kartun Naruto. Jerry menyadari kalau shuriken itu bukan shuriken
mainan. Buru-buru ia masuk ke dalam.
“Ada yang bisa
dibantu, Nak?” tanya seorang pria gendut berambut putih dengan style ala Kiba.
Ia membawa anjing pudel warna pink yang dikalungi name-tag bertuliskan Akamaru.
“Em, aku ingin
melihat-lihat shuriken,” jawab Jerry.
“Oh, silakan. Kupikir
kamu mau beli figurin,” kata orang itu, si Kiba jadi-jadian.
Jerry mendekat pada
rak penuh shuriken dan menyentuhnya. Ia mengambil satu dan menggoreskannya ke
jari. Perih. Berdarah. Itu benar-benar shuriken. Jerry berdecak kagum. “Berapa
harganya?”
“Ukuran kecil 2
poundsterling. Ukuran besar 4 poundsterling,” jawab orang tadi.
“Mahal sekali!”
protes Jerry.
“Ini shuriken asli.
Diimpor dari Jepang langsung.”
Jerry mendengus.
Tiba-tiba, ia melempar shuriken itu. Shuriken itu menancap di kepala penjaga
toko. Si pudel langsung menggonggong.
“Ah!” jerit si
penjaga toko. Kepalanya mengeluarkan darah. Jerry melemparkan lebih banyak
shuriken. Akhirnya, orang itu mati. Inilah pembunuhan pertama Jerry McClair.
“Karena kau sudah
mati, semuanya untukku saja,” kata Jerry. Ia mengambil semua shuriken dan
menjejalkannya ke dalam tas. Setelah itu, ia menuju ke barat, bukan timur
seperti seharusnya. Ia kembali ke Greenwich Junior High School.
—Jimmy Duncant
“Tumben Jim nggak
ikut ke warnet,” komentar Thomas ketika Jim menolak ajakan Darren untuk pergi
ke warnet bersama Thomas dan Bryan. Jim hanya tersenyum tipis.
“Aku bokek,” jawabnya
asal.
“Tenang aja,
kutraktir. Gak ada lo gak rame, ikutan yuk,” ajak Bryan.
“Nggak usah. Aku mau
pulang saja,” kata Jim. Ia membayangkan rumahnya di Romney Road. Rumahnya yang
selalu tampak bagaikan penjara baginya.
Sejak kecil, Jim
selalu diperlakukan seperti anak kecil. Ia selalu diatur. Seluruh kegiatannya
pun dijadwal. Jim home-schooling bersama Mrs. Duncant sampai kelas 6 SD. Lalu,
ia didaftarkan ke Greenwich Junior High School oleh Mr. Duncant. Mungkin pria
itu berpikir anaknya akan lebih disiplin karena GJHS berupa sekolah asrama yang
jadwalnya ketat. Setiap hari Minggu, Jim wajib pergi ke gereja. Ia adalah
seorang Katolik, meskipun ia tidak terlalu berniat melaksanakan tuntutan
agamanya. Semuanya karena orangtuanya selalu memperlakukannya seperti anak
kecil.
“Kent, Jimmy kecil
kita pulang!” seru Mrs. Duncant ketika melihat sosok Jim memasuki teras.
“Ah, iya. Halo,
Jimmy!” sapa Mr. Duncant.
Jim mendengus. Tuh,
kan. Mom memanggilnya ‘Jimmy kecil’. Padahal, Jim bersikeras ingin dipanggil
‘Jim’ saja sejak umur 7 tahun. Nama ‘Jimmy’ terkesan kekanak-kanakan, padahal
dia sudah 12 tahun. Payah.
“Mom, panggil aku Jim
saja,” pinta Jim.
“Jim? Nama kuno.
Jimmy adalah nama yang bagus. Grandpa yang memberikan nama itu untukmu,” kata
Mrs. Duncant.
Jim mendesah. Sangat
sulit membujuk kedua orangtuanya. Keduanya sama-sama keras kepala dan jika
mereka sudah membuat keputusan, itu adalah keputusan final. Tak ada yang bisa
mengganggu gugat.
“Astaga, apa yang
terjadi pada sikumu?” tanya Mrs. Duncant sambil mengelus siku Jim yang membiru.
“Kemarin tanpa
sengaja sikuku membentur rak buku,” jawab Jim.
“Astaga. Harusnya kau
berhati-hati, Nak. Bagaimana kalau kami kehilangan dirimu?” tanya Mr. Duncant.
Jim diam saja. Kedua
orangtuanya sebenarnya tidak menyayanginya. Mereka bersikap seolah mereka
memperhatikannya, tapi mereka tak sekalipun mengucapkan kata ‘aku menyayangimu,
Jimmy’ atau semacamnya. Mereka lebih menyukai sepupu Jim, Catherine. Jim
berpikir seharusnya dia tidak pulang saja. Hanya menambah penderitaannya saja.
“Bagaimana nilaimu di
sekolah?” tanya Mr. Duncant saat Jim duduk di sofa sementara Mrs. Duncant
menghidangkan secangkir teh. “Aku belum sempat menelepon wali kelasmu.”
“Baik,” jawab Jim
sambil meminum tehnya. Pahit tapi segar. Mrs. Duncant memang selalu
menghidangkan teh herbal untuk tamu-tamunya.
“Tehnya pahit?” tanya
Mrs. Duncant. “Oh, aku lupa kau benci teh herbal.”
Mrs. Duncant masuk
lagi untuk membuatkan minuman. Jim memperhatikan ruang tamu keluarga Duncant.
Segala jenis senjata api ada di sana. Senapan, Sniper, rifle, senapan angin,
dan lain-lain.
“Kenapa
senjata-senjata itu dipajang di dinding?” tanya Jim.
“Untuk mengenang
mendiang Kakekmu,” jawab Mr. Duncant.
“Tidak digunakan
lagi?”
“Percuma saja. Tak
ada yang bisa membidik dengan tepat di keluarga ini kecuali Kakekmu. Lagipula,
amunisinya habis.”
Jim terdiam dan
mengamati senjata-senjata itu. Ia berpikir untuk mengambil senapan angin, tapi
diurungkannya. Belum tentu ia cocok dengan senjata itu. Lagipula, ia bisa
dimarahi habis-habisan oleh Mr. Duncant. Orang ini memang galak, berbeda dengan
ayah kandungnya. Josh Duncant, ayah kandung Jim, adalah seorang tentara. Ia
meninggal saat Jim berusia 5 tahun. Setelah itu, sepupu Josh, Kent Duncant,
melamar ibu Jim. Sejak saat itu, perilaku Mom pada Jim berubah. Beliau mulai
berlaku over-protective dan kelihatan tidak sayang pada Jim. Diam-diam Jim
ingin sekali membunuh ayah tirinya.
“Ini, Jimmy. Mom
buatkan jasmine tea untukmu,” Mrs. Duncant memberikan secangkir teh untuk Jim.
Jim langsung menyeruputnya.
“Terima kasih, Mom.
Aku harus pergi,” kata Jim.
“Mau kemana kau?”
tanya Mr. Duncant dingin.
“Maaf, aku harus
kembali secepatnya,” Jim berlari kencang kembali ke GJHS, meninggalkan kedua
orangtuanya yang hanya terdiam.
—Juliette Miltonia
“Aku hanya akan
pulang, menyapa Mom dan Dad, menginap, lalu kembali,” gumam Juliet. “Aku tak
akan pernah berurusan dengan senjata apapun.”
Juliet menendang
kaleng soft drink di depannya. Sebenarnya ia agak kesal dengan Charlene.
Gara-gara dia, mereka harus susah payah pulang untuk mengambil senjata. Kalau
bisa, ia tidak usah pulang. Tapi Juliet sudah terlalu kangen rumah. Daripada
homesick, lebih baik pulang sebentar.
“Juliet!” seru Mrs.
Miltonia begitu melihat anaknya memasuki teras.
“Hei, Mom,” sapa
Juliet singkat, “mana Dad?”
“Ah, kau seperti tak
kenal Dad saja. Selalu sibuk dengan bisnisnya,” jawab Mrs. Miltonia sambil
tersenyum. “Ayo masuk. Mom baru saja masak enak.”
Juliet mengikuti Mrs.
Miltonia memasuki rumah. Selama musim panas ia dan teman-temannya tidak pulang
ke rumah, tapi ikut Summer Class. Lagipula, Greenwich Junior High School jarang
memberikan libur. Juliet bisa semakin homesick kalau hari ini ia tidak pulang.
“Tenderloin steak,”
kata Mrs. Miltonia, “ukuran large.”
“Nyam!” seru Juliet.
Ia melahap tenderloin steak-nya dengan cepat.
“Setelah ini kau
boleh tidur, Sayang. Besok siang kau kembali ke sekolah.”
Juliet mengangguk. Ia
beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.
—Licorice Leslie
“Kau yakin mau
menghabiskan malam sendirian di sini?” tanya Licorice khawatir pada Charlene
yang duduk manis di kasurnya.
“Tentu saja. Ada
masalah?” Charlene balik bertanya.
“Yah, mungkin saja
ada guru bertanya kenapa kau tidak pulang, kau mau jawab apa?”
Charlene meringis.
“Jawab saja, orangtuaku pergi ke Spanyol untuk menjenguk nenekku yang sakit.
Daripada sendirian di rumah, lebih baik di sekolah saja.”
Licorice berkacak
pinggang. “Yakin?”
“Jangan bersikap
seolah-olah aku ini anak kecil, Lic.”
“Oke, oke. Aku pergi
dulu, ya? Hem, kalau bisa aku akan ke sini nanti malam. Pasti membosankan
berada di rumah.”
“Aku akan
menunggumu.”
Licorice memakai
sepatunya dan keluar kamar. Ia tak membawa tasnya. Licorice melambaikan tangan
pada Charlene dan segera berlari menuruni tangga. Rumahnya lumayan dekat dari
GJHS, di Woodlands Park Street, di sebelah rumah Charlene. Ia harus naik taksi
untuk sampai di rumah. Licorice merogoh sakunya. Hanya cukup untuk naik taksi
sampai Trafalgar Road. Lumayan dekat ke Woodlands Park Street, tapi dia malas
jalan kaki. Oleh karena itu ia memilih untuk jalan-jalan saja ke Hoskins
Street, mungkin ada senjata bagus.
Licorice melirik toko
orang Jepang di pertigaan. Licorice menempelkan hidung dan tangannya di kaca.
Ada kimono, yukata, resep-resep makanan, dan… katana. Katana kan senjata!
Licorice berseru dalam hati. Ia segera memasuki toko itu.
“Nggak ada orang,
ya…” gumamnya. Ia bergerak mendekati rak tempat katana itu dipajang. Ia
mengulurkan tangan untuk menyentuh katana itu.
“Jangan disentuh!”
seru seorang wanita dengan logat yang aneh. “Konichiwa. Maaf mengagetkan. Aku
Yuriko Endo. Harap jangan menyentuh katana itu kecuali ingin membelinya.”
“Berapa harganya?”
tanya Licorice.
“5 poundsterling,”
jawab Yuriko.
“Murah?” tanya
Licorice.
“Kami sedang obral.
Kau ingin beli?”
Licorice mengeluarkan
uang 5 poundsterling dari dalam sakunya. “Ini. Cukup, kan?”
Yuriko menghitung
uangnya dan Licorice mendapatkan katananya. Ia membukanya dan menghunusnya.
Licorice tersenyum girang dan langsung pergi meninggalkan toko itu. Ia segera
kembali ke Greenwich Junior High School.
—Luna Selena
Luna memutuskan untuk
tidak pulang ke rumah. Ia justru berkelana GJHS untuk mencari senjata.
Pilihannya adalah dapur. Di dapur ada banyak senjata. Segala macam pisau,
parutan (untuk memarut kulit orang), panci (untuk memukul kepala orang), garpu
(untuk menusuk-nusuk), sendok (untuk mencongkel bola mata), gelas (bila
dipecahkan bisa untuk menusuk), pengupas wortel (untuk mengupas kulit orang),
dan lain-lain.
“Permisi…” kata Luna
pada ibu-ibu tukang masak yang ada di dapur GJHS.
“Ya, ada yang bisa
kami bantu?” tanya salah satunya.
“Saya mencari benda
tajam,” jawab Luna jujur.
“Benda tajam apa? Di
sini banyak benda tajam,” kata seorang wanita berbaju biru.
Luna diam dan
mengamati apa saja yang ada di sana. Ia beranjak dan mengambil sebuah pisau
yang kelihatan tajam dan sebuah parutan kecil tapi sangat tajam.
“Pinjam dulu ya!”
kata Luna sambil menunjukkan pisau dan parutan itu.
“Mau memarut kelapa,
ya?” tanya ibu tadi.
Luna mengangguk. Ia
tak bisa bilang kalau senjata itu akan digunakan untuk membunuh. Luna berterima
kasih, lalu pergi.
—Nathline Grayson
“Aku pulang…” gumam
Nathline ketika membuka pintu rumahnya. Tanpa melepas sepatunya yang berlumuran
lumpur, ia memasuki dapur. Terlihat ibunya sedang mengupas wortel. Nathline
mendengus. Tanpa memperdulikan ibunya, ia mengendap-endap ke sebuah ruangan.
Ruangan itu masih
bersih seperti biasanya. Tercium aroma pahit dari berbagai tanaman obat.
Nathline terbatuk sambil menutup hidungnya dengan rompinya. Baunya selalu sama.
Tanaman obat, pikirnya. Pandangan Nathline menyapu sekeliling. Di sudut
ruangan, tepatnya di sebuah rak rendah, ada kotak merah dari beludru. Nathline
tahu pasti apa isinya.
“Jarum akupuntur,”
katanya sambil menyentuh kotak itu.
“Sedang apa Miss
Grayson di ruang pengobatan?” tanya sebuah suara. Nathline menoleh dengan
waspada.
“Dad,” gumamnya. “Apa
yang Dad lakukan di sini? Nindy!”
“Hai, Kak,” sapa
Nindy.
Mr. Grayson menatap
rak tempat Nathline berdiri. “Singkirkan tanganmu dari kotak itu. Kau belum
bisa menggunakannya.”
“Ini jarum
akupuntur,” Nathline mendengus.
“Benar. Tapi kau
belum bisa menggunakannya. Lebih baik pergi ke kamarmu dan tinggal di sana
sampai makan malam.”
Nathline memalingkan
muka. Ia membuka penutup kotak itu. Di dalamnya ada banyak jarum dengan
berbagai ukuran. Dia menatapnya dan menyentuh isi kotak itu.
“Sudah kubilang,
jangan disentuh!” bentak Mr. Grayson. “Sejak kapan kau berani melawan Dad?”
Nathline diam saja.
Ia mengambil sebatang jarum paling panjang. Tanpa disangka, ia melemparkannya
ke arah Mr. Grayson. Jarum itu menancap di perut ayahnya. Nindy tersentak kaget
sampai melempar bonekanya. Mr. Grayson langsung membeku.
“Oh, jadi jarum
akupuntur ini jenis langka, ya?” gumam Nathline. “Thanks, Dad. Aku akan
memakainya. Oh, sebelumnya, tolong jangan halangi jalanku.”
Mata Nathline
berkilat dan dia menancapkan jarumnya ke jantung Mr. Grayson berkali-kali. Pria
itu langsung meregang nyawa. Setelah puas, Nathline tersenyum licik ke arah
Nindy. “Tak usah takut begitu, Nindy. Lebih baik jangan katakan ini pada
siapapun kalau kau tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.”
Nindy terisak.
Nathline mendengus dan pergi dari rumah itu.
—Neilson Richard
Neilson pergi ke
tempat praktik ayahnya di Trafalgar Road. Di tempat praktik dokter pasti ada
banyak senjata tajam. Tapi bukan itu tujuan Neilson. Ia ingin membunuh dengan
suntikan racun. Racun diisikan ke dalam suntikan dan digunakan untuk menyuntik
lawan. Cara membunuh untuk seorang dokter.
“Yah,” kata Neilson
sambil memasuki ruangan ayahnya.
“Neilson?” tanya Mr.
Richard.
“Yap.”
“Ada apa kemari?
Sakit?” tanya Mr. Richard lagi. “Biar kuperiksa dulu.”
Neilson menggeleng.
“Bukan, Yah. Aku nggak sakit. Aku cuma mau minta suntikan yang diisi racun. Apa
Ayah punya?”
Mr. Richard
menghentikan aktivitasnya dan berpikir sejenak. “Suntikan berisi racun? Racun
menyakitkan atau mematikan?”
“Mematikan.”
“Ayah punya. Tapi
untuk apa? Alat itu hanya digunakan saat pasien kesakitan untuk mati.”
Neilson gelagapan.
Apa ia harus mengaku pada Ayahnya? Ia terdiam, lalu menunduk. “Untuk membunuh.”
“Anakku sudah berani
melakukan hal itu?” tanya Mr. Richard tidak percaya. Ia berdiri, membuka lemari
dan menyerahkan sebuah kotak pada Neilson. “Itu seperangkat alat suntik dan
beberapa botol racun. Kau harus menggunakannya sesering mungkin. Setiap bulan,
Ayah akan mengirimkan alat suntik dan botol racun baru.”
“Ayah… tidak marah?”
“Kenapa harus marah?
Membunuh lebih menyenangkan dibandingkan menyaksikan orang-orang tersiksa
dengan sakitnya. Kematian lebih baik bagi orang itu. Sudahlah, lebih baik kau
pergi. Jangan sampai ada pasien memergoki kotak ini.”
Neilson mengangguk
dan segera keluar ruangan. Ia tersenyum. Ayahnya mendukung pembunuhan yang akan
dilakukannya.
—Nicholas Einstein
Sesuatu di saku Nick
berdering. Nick selalu membawa handphone-nya, tetapi ia harus berhati-hati jika
ada razia SSP. Untung saja HP itu belum pernah kena razia.
“Yeah, halo?” kata
Nick saat mengangkat telepon.
“Nicky, hari ini
pulang?” tanya sebuah suara lembut dari seberang telepon.
“Tentu, Mom. Ada
apa?”
“Pulang cepat, ya.
Sepupumu datang.”
“Larry?”
“Ya. Larry datang
jauh-jauh dari Swiss. Mungkin dia membawakanmu oleh-oleh.”
“Oke, Mom. Sampai
jumpa.”
“Sampai jumpa,
Nicky.”
Nick meng-lock HP-nya
dan memasukkan ke dalam saku. Tanpa sadar ia sudah berjalan sampai pertigaan.
Rumah keluarga Einstein ada di Lassell Street. Ia mempercepat langkahnya. Ia
jarang bertemu Larry karena Larry tinggal di Swiss. Setiap datang ke Greenwich,
Larry selalu membawa banyak benda menarik. Mungkin saja Larry punya sesuatu
yang bisa digunakan untuk melukai orang, pikirnya.
“Hei, Nick!” sapa
Larry ketika melihat Nick.
“Larry! Apa kabar?”
tanya Nick.
“Baik. Aku bawa
oleh-oleh bagus, tapi jangan bilang orangtuamu dan orangtuaku.”
“Apa?”
Larry tersenyum
misterius dan menarik lengan Nick. Mereka masuk ke kamar tamu tempat Larry
tidur. Larry membuka tasnya dan menyerahkan sebuah kotak.
“Apa ini?” tanya
Nick.
“Buka saja,” perintah
Larry.
Nick membuka kotak
itu. Isinya lembaran-lembaran aneh yang mengkilap. “Itu bom stiker,” kata
Larry. “Kalau kamu lepas penutupnya, lalu kamu tempelkan ke orang, dalam
beberapa detik orang itu akan melambung dan meledak di langit.”
“Ini…” gumam Nick.
“Ya? Itu untuk
membunuh. Aku iseng membelinya di Tricks ‘n Pranks. Penjualnya nggak bilang
kalau itu buat membunuh. Simpan saja yang itu. Kalau kurang, aku kirimi lagi.
Aku sudah punya banyak.”
Nick tersenyum
melihat bom-bom stiker itu. Bentuknya unik. Siapapun tak akan menyangka kalau
itu bom. Nick menyalami Larry.
“Aku pergi dulu, ya.
Bersenang-senanglah,” kata Nick. Larry mengangguk. Nick berlari ke GJHS. Ia tak
sabar untuk menggunakan bom stikernya.
—Patrick Daniel
“Aku pinjam pak
tukang saja, ah,” kata Patrick pada dirinya sendiri. Ia melihat para tukang
bangunan yang sedang bekerja di GJHS. Ia menaiki tangga kayu ke atas (yang
bikin Author heran, tangganya kok kuat menopang berat tubuh Patrick? Dia kan,
ehem, gendut).
“Yah, pak tukangnya
nggak ada,” gumam Patrick. Ia melihat sesuatu. “Apa ini? Hem, bor baterai?
Menarik.”
Tanpa mengatakan
apapun, Patrick mengambil bor itu dan lari menuruni tangga. Ia segera pergi
sebelum ada yang mengetahui apa yang dilakukannya.
—Thomas Breadnose
Thomas keluar dari
warnet pukul setengah 7 sore dan berjalan menuju Greenwich Park Street.
Rumahnya ada di sana. Sebenarnya Thomas tidak berniat pulang. Anak-anak kecil
yang jadi tetangganya pasti menghina nama keluarganya yang agak aneh. Breadnose.
Seluruh anggota keluarga Breadnose berhidung mancung, tapi tidak berbentuk
roti. Mungkin karena pendiri keluarga Breadnose, Gregory Breadnose, hidungnya
berbentuk seperti roti.
“Ah, Thomas!” seru
Mrs. Breadnose. “Sudah pulang? Bisa ke minimarket sebentar?”
“Mom, aku kan baru
pulang,” protes Thomas. “Lagipula sudah sore.”
“Sebentar saja! Beli
obat nyamuk!” kata Mrs. Breadnose.
“Memangnya kenapa?
Nyamuknya muncul lagi?”
Mrs. Breadnose
mengangguk dan menyerahkan sejumlah uang. “Sebentar saja. Pilih yang bentuk
semprotan. Lebih efisien.”
Thomas menerima uang
itu dan berbelok ke minimarket. Sebenarnya ia sudah lelah, tapi Mrs. Breadnose
pasti akan menyuruhnya terus sampai dia berangkat. Thomas masuk ke dalam dan
mulai mencari obat nyamuk.
“Gudang kimia
Chemistry Appleby di Park Vista ditutup?” Thomas bisa mendengar orang di
sebelahnya bicara.
“Ya. Katanya Mr.
Appleby menciptakan banyak racun mematikan di gudang itu. Makanya ditutup,”
jawab satunya.
Thomas terdiam. Racun
mematikan? Bagaimanapun, racun kan senjata juga. Digunakan untuk membunuh.
Thomas memperhatikan obat nyamuk yang dipegangnya. Jika semprotan itu diisi
racun, pasti sangat mematikan. Thomas tersenyum. Ia mengeluarkan uang sakunya.
Masih cukup untuk membeli satu obat nyamuk lagi. Thomas mengambil dua obat
nyamuk dan langsung membayarnya.
Thomas berjalan lurus
ke Park Vista. Tidak terlalu jauh dari Greenwich Park Street. Di sana, ada
sebuah bangunan reyot yang diberi plang Chemistry Appleby. Pintunya dipaku
dengan kayu. Thomas memanjat ke atap dan masuk lewat cerobong asap.
“Aduh!” serunya
ketika terjerembap ke lantai. Thomas membuka matanya. Ruangan itu kotor dan
berdebu. Banyak cairan kimia yang ditaruh di botol. Thomas berdiri dan
menghampiri rak berisi cairan-cairan kimia. Salah satunya dilabeli ‘Racun
Mematikan’.
“Ini dia,” gumam
Thomas sambil mengambil botol itu. Ia membuka salah satu obat nyamuk dan
membuang isinya, lalu mengisi botol obat nyamuk dengan racun. “Sekarang aku
sudah punya senjata. Aku tinggal meletakkan obat nyamuk di teras depan, lalu
kembali ke GJHS.”
Thomas mendobrak
pintu belakang dan segera pergi dari bangunan itu. Setelah itu, ia meletakkan
obat nyamuk yang dibelinya di teras depan rumahnya dan segera pergi.
—Veronica Grey
“Veronicaa…
Nicaveroo…” terdengar nyanyian sumbang dari balkon di rumah keluarga Grey di
Tuskar Street.
“Please deh, Kak.
Namaku nggak cocok kalau dinyanyikan,” protes Veronica.
“Siapa yang nyanyi?
Kakak cuma nyebut namamu aja. Tumben pulang? Bukannya kamu ikut Summer Class, ya?”
tanya Rinka Grey, kakak Veronica.
“Kakak. Sekarang
musim apa?” Veronica balik bertanya dengan tatapan datar.
“Hem… Oh ya, sekarang
musim gugur. Hehe.”
Veronica mengabaikan
Rinka dan masuk ke dalam rumah. Mom dan Dad sudah melakukan banyak renovasi ke
rumah kecil itu. Bahkan, mereka membuka usaha laundry. Veronica melupakan hal
itu dan beranjak ke ruang tengah. Kakeknya mantan pemburu, dulu punya banyak
senjata. Senjata-senjata itu masih ada saat Veronica pulang musim semi lalu.
“Lho? Senjata-senjata
Kakek ke mana?” tanya Veronica kaget. Ruang tengah dipenuhi lukisan-lukisan
abstrak yang sudah pasti dibuat Rinka.
“Semuanya disimpan di
rak. Biar nggak ada yang menyalahgunakan,” jawab Rinka.
“Kenapa diganti sama
lukisan nggak berbentuk?”
“Eh, jangan salah.
Lukisan abstrak itu lukisan paling bagus. Nilai seninya paling tinggi.”
Veronica mencibir.
“Nilai seni apanya, cuma coretan asal-asalan. Udah ah, aku pergi lagi, ya.”
“Mau ke mana?”
“Jalan-jalan,” jawab
Veronica singkat. Ia keluar rumah dan segera berjalan menuju Old Woolwich Road,
tempat Greenwich Junior High School berada.
—William Smith
Willy memutuskan
untuk pergi ke laboratorium IPA karena ia tak mungkin pulang. Orangtuanya
tinggal di London, jadi Willy dititipkan di asrama GJHS. Willy sempat melihat
Luna berjalan menuju dapur, tapi dia diam saja. Untuk apa seorang lelaki datang
ke dapur? Pasti memalukan.
Laboratorium IPA di
GJHS lumayan luas. Ada enam meja panjang yang biasa digunakan untuk praktikum.
Tersedia banyak peraga, juga tengkorak yang dinamai Joysen Froste McNaville.
Peralatan kimia juga lengkap. Bahkan mereka punya ruangan khusus untuk
percobaan kimia dan ruang kecil berisi koleksi formula. Willy sangat suka
laboratorium, apalagi bagian mekanik dan teknologi. Ia suka berurusan dengan
kabel-kabel. Dalam waktu singkat, ia dapat menciptakan bom sederhana dengan
tingkat ledakan yang lumayan.
“Apa aku pakai
senjata bom saja?” gumamnya sambil menyentuh kabel-kabel. “Aku hanya butuh
waktu dua menit untuk merancang bom sederhana. Dalam empat menit, bomnya bisa
meledakkan satu ruangan. Dalam enam menit, satu koridor. Dalam satu jam,
mungkin aku bisa menghancurkan dunia.”
Willy mengambil
peralatan-peralatan yang dibutuhkannya. Setelah itu, ia membawanya kembali ke
kamarnya. IQ Willy memang sangat tinggi, bisa dibilang jenius. Ia belajar
membuat bom secara otodidak. Jadi, maklum saja kalau dia begitu.
Willy menyentuh
tombol ON. Yap. Bekerja. Daya ledaknya rendah, hanya sanggup membolongi meja
ini, pikirnya. Dalam 3 detik, bom itu meledak. Benar perkiraannya. Meja tempat
ia meletakkan bom itu bolong. Willy tersenyum. Ia tak sabar untuk menunjukkan
kemampuannya pada teman-temannya.
*End of Flashback
3 hari berlalu di
kelas 7I. Selama itu, hampir tak ada orang yang dibunuh. Mereka diam saja,
sesekali mengasah senjata tajam mereka supaya semakin tajam.
Pagi itu dikejutkan
dengan adanya sebuah lemari kaca di sudut ruangan. Semua anak bertanya-tanya,
siapa yang memberikan lemari itu dan untuk apa. Bukankah di kelas mereka sudah
ada rak? Dan juga kulkas? Jadi, untuk apa lemari itu?
“Untuk menyimpan bola
mata koleksi Charl,” kata Darren menjelaskan. “Pokoknya, seseorang mengirimkan
lemari ini untuk kita supaya Charlene bisa mengisinya dengan bola mata
koleksinya.”
“Bola mata?
Hiiiyy!!!” Nathline bergidik ngeri. Sudah cukup dengan kejadian 3 hari yang
lalu, sekarang dia akan duduk di depan sebuah lemari yang akan berisi jutaan
bola mata.
“Kenapa memangnya?
Jangan takut, Nath. Bola mata itu tak akan menyiksamu,” kata Charlene
menenangkan Nathline. “Tapi, siapa yang akan kita bunuh? Baiklah, kalian yang
melukainya, tapi akulah yang akan mengambil bola matanya.”
Semua anak berpikir.
Mereka terdiam beberapa saat, kemudian Jane mengangkat tangan.
“Aku tau! Kita bunuh
Dickey Kingsleigh!” usulnya bersemangat.
“Oh ya! Aku setuju!”
kata Lic dan Charlene bersamaan. Anak-anak lain pun setuju, lalu mulai menyusun
rencana.
“Begini. Nick, kau
temui Dickey. Tempelkan bom ini padanya. Yah, bagaimanapun caranya, jangan
sampai dia menyadarinya. Lalu, Darren dan aku akan memasukkannya ke tong sampah
organik. Dalam 20 detik, dia akan meledak,” kata Jim. Semua mengangguk setuju.
“Aku tak mau
mengoleksi bola mata Dickey,” kata Charlene sinis.
“Terserahmu saja. Aku
juga tidak menganjurkannya,” Darren mendukung. Memang, hampir semua anak di
kelas 7I yang mengenal Dickey sangat membencinya, karena sikapnya yang
keperempuanan, tidak gentle, dan payah.
Rencana itu dilakukan
saat istirahat. Sementara anak-anak lain makan di kantin, Nick, Darren, dan Jim
melakukan tugasnya. Di tangan Nick tertempel bom stiker yang belum diaktifkan.
Bom itu diaktifkan jika terkena orang lain. Oleh karena itu, Nick memegangi
tangannya, takut kalau dia salah sasaran. Rugi juga menghabiskan uang untuk
membeli bom stiker yang mahal.
Akhirnya, Nick
menemukan Dickey di kelasnya. Nick segera menepuk pundak Dickey. “Hai, Dickey!”
Setelah itu, Nick
langsung pergi. Kali ini giliran Darren dan Jim yang mengangkut Dickey ke tong
sampah di depan sekolah. Pasti tak akan ada yang menyadarinya. Biar saja mereka
menemukan mayat Dickey. Toh mereka tak akan bisa menghidupkan Dickey kembali.
“Waaa! Mau dibawa ke
mana aku?!” tanya Dickey sambil menangis. Darren dan Jim tidak menghiraukannya,
lalu memasukkan Dickey ke tong sampah. Setelah itu, mereka kembali ke kelas.
“Bagaimana?” tanya
Jane.
“Sukses,” jawab
Darren bangga. Dia duduk di kursinya, terdiam sambil mencabuti rambutnya
(kebiasaan yang tak bisa hilang). Semuanya masih deg-degan sampai terdengar
suara “DHUAAAARRR!!!!” di halaman sekolah. Licorice langsung melompat girang.
Dia melongok ke luar jendela. Yap, mayat Dickey ada di sana. Sementara itu,
Charlene tersenyum gembira. 2 masalahnya telah selesai.
Namun keesokan
harinya, timbul masalah baru. Kejahatan yang mereka lakukan mulai terendus oleh
pihak sekolah. Teruatama karena mereka telah membunuh salah satu guru di
sekolah itu. Pihak sekolah pun mengadakan rapat untuk memutuskan sangsi yang
akan mereka jatuhkan. Sayangnya, pimpinan sekolah sedang berada di luar negeri
untuk study banding. Sedangkan ia ada di sini, sudah pasti dia akan memberikan
hukuman kejam yang tanpa kenal ampun pada anak-anak 7I.
“Aku tidak tahu apa
yang harus kita lakukan pada anak-anak itu. Ini sudah keterlaluan. Tetapi,
segala macam pembunuhan yang telah di lakukan oleh anak-anak itu, jangan sampai
bocor pada khalayak ramai. Kita biarkan saja kejadian itu menjadi rahasia
sekolah ini. Pada wali murid, kita akan bilang tidak tahu apa-apa dan ketika si
murid hilang, ia sudah tidak lagi berada di wilayah sekolah. Dengan begitu,
kejadian ini tidak akan menyebar ke khalayak ramai dan nama sekolah kita tetap
tidak tercoreng. Bagaimana pendapat saudara sekalian?” jelas salah satu guru
penjang lebar.
“Aku setuju dengan
pendapat anda. Kita harus beri mereka pelajaran yang membuat mereka kapok.
Tapi, jangan sekalipun melaporkan mereka pada aparat berwajib. Kita pasti akan
masuk pemberitaan. Tutup kasus ini rapat-rapat,” sahut salah satu guru
perempuan.
7I class.
Rupanya, mereka juga
tengah mengadakan rapat tertutup. Mereka duduk lesehan membentuk lingkaran di
karpet.
“Guru-guru itu pasti
telah mengendus perbuatan kita. Mereka bisa tahu karena kita tidak membereskan
jasad guru itu selesai meledakkan petasannya,” kata Will.
“Pasti. Dan sekarang,
mereka mungkin sudah menyiapkan berbagai hukuman kejam untuk kita..” sahut
Emma.
“Kita juga harus
membalas mereka. Kita tidak boleh kalah!” kata Veronica berapi-api.
“Tapi, tidak hanya
kekerasan yang kita butuhkan. Kita juga membutuhkan strategi yang jitu!” kata
Darren.
“Yah.. terserah kau
sajalah Darren. Kau ahlinya. Tapi, tentu saja tidak semua guru kita bunuh,”
kata Charlene.
“Tentu saja. Kita
tidak boleh membunuh guru piket. Karena jika kita memesan senjata, yang akan
mengumumkan kedatangan senjata itu siapa? Tentu saja guru piket kan?” kata
Luna.
“Iya. Kita hanya
harus membunuh guru yang bagi kita sangat menyebalkan. Kita lihat saja nanti
yang harus kita bunuh selanjutnya,” kata Licorice.
“Ya, kita lihat saja
nanti siapa guru yang menghukum kita paling kejam. Itulah yang kita bunuh!”
sahut Jerry menyetujui usul Licorice.
“Hey.. itu artinya,
kita harus menerima hukuman dari mereka dulu?!” tanya Charlene.
“Aku tidak mau kalau
harus menerima hukuman terlebih dahulu!” sahut Luna.
Semuanya bingung.
Mereka juga tidak mau menerima hukuman. Tetapi, mereka tidak mungkin membunuh
semua guru. Mereka harus mengukur tingkat kekejaman guru yang akan di bunuh
saat hukuman berlangsung.
“Hmm.. kita harus
memata-matai mereka. Mungkin hanya ada beberapa orang yang menghukum kita.
Tidak mungkin semuanya. Sejauh ini, aku perkirakan yang akan menghukum kita
adalah guru laki-laki..” prediksi Juliet.
“Kupikir juga begitu.
Tapi bisa juga Mrs. Tracy. Dia galak. Ingat, dia pernah memarahi kita cuma
gara-gara nilai kita tidak tuntas,” kata Nathline, mengacu pada Mrs. Tracy
Waller, guru matematika.
“Aku mencurigai Mr.
Roughton,” komentar Charlene, “dia pernah menuduhku halangan sampai 3 minggu
gara-gara aku tidak ikut peribadatan mana pun. Guru seni yang buruk, padahal
dia wali kelas kita.”
“Monsieur Bilkav
Belkie baik,” protes Juliet.
“Bryan! Aku tugaskan
kau untuk memata-matai mereka semua. Ingat. Jangan sampai kau ketahuan. Gunakan
badanmu yang gesit agar bisa bergerak selicin mungkin,” utus sang ketua
kelas—Darren.
“Aku ikut! Aku juga bisa
bergerak licin!” sela Angus tiba-tiba.
“Bergerak licin
apanya. Memangnya belut,” olok Flo.
“Itu kiasan, Flo.
Maksudnya, biar nggak ketahuan,” jelas Luna.
“Bodo, ah,” Flo
mengangkat bahu.
“Jadi, kita punya dua
mata-mata. Angus dan Bryan. Bryan, ini pakailah binokular milik Emma. Jika kau
tidak bisa mengamati mereka dari dekat, kau bisa melihat mereka dari jauh,”
kata Darren.
“Jika pintu ruang
guru tidak ditutup, Darren..” gumam Nathline.
“Coba saja penemuan
baruku. Aku baru saja merancang perekam suara walaupun terhalang tembokpun,
kiat bisa mendengarkan suara orang di dalam!” usul Willy sambil mengeluarkan
sebuah benda kecil. Willy memang anak yang lumayan jenius dan ber-IQ tinggi.
“Apa fungsi sayap
ini, Will?” tanya Bryan penasaran.
“Benda ini bekerja
seperti serangga. Dia menggunakan kamera yang bisa menangkap gambar tempat yang
akan dihinggapinya. Lalu kita tinggal melepaskannya, maka dia akan bekerja
sendiri,” kata Willy menjelaskan.
“Wow! Kau hebat
Willy. Benda ini akan membuat pengintaian kita semakin mudah!” puji Juliet.
“Kalian berangkatlah
sekarang. Secara otomatis, suara yang ada di ruang guru akan tersambung pada
alat ini. Jadi kalian tidak perlu lagi berlama-lama. Cepatlah kembali sebelum
ketahuan!” kata Willy.
Bryan dan Angus langsung
melesat keluar kelas. Namun, Bryan berbalik lagi.
“Aku sepertinya belum
membutuhkan binocular milik Emma,” katanya sebelum melesat menyusul Angus
menuju ruang para guru.
Angus dan Bryan kini
sudah mencapai tempat yang strategis. Bryan cepat-cepat mengeluarkan perekam
suara buatan Willy. Lalu mengarahkan mata kameranya yang sangat kecil ke arah
dinding luar ruang guru. Dan segera melepaskan.
Alat itu memang
benar-benar canggih! Ia langsung terbang cepat sekali dan hinggap di dinding
ruang guru bagian luar. Siap merekam segala pembicaraan yang terjadi di dalam
ruang guru.
“Apakah kita sudah
bisa kembali?” tanya Bryan pada Angus.
“Sepertinya bisa.
Willy bilang kita tidak usah berlama-lama di sini, kan? Lagipula, aku juga
ingin mendengarkan percakapan para guru itu,” kata Angus lalu, bersama Bryan
melesat kembali ke kelas.
Sesampainya di kelas,
tampak lainnya sedang duduk melingkari sebuah alat. Mirip sperti speaker yang
berfungsi untuk menampilkan pembicaraan yang di rekam oleh alat buatan Willy.
“Bagaimana?” Tanya
Bryan.
Darren melambaikan
tangannya. Mengisyaratkan agar Angus dan Bryan ikut duduk dan mendengarkan
pembicaraan di ruang guru.
“Kita harus menghukum
mereka sampai mereka kapok!”
“Ide bagus. Tapi apa
hukuman yang pantas untuk kelakuan mereka?”
“Bagaimana kalau kita
kurung mereka di kamar mandi, sampai besok pagi tanpa makan dan minum?”
“Jangan. Mereka pasti
punya ide licik untuk membebaskan diri ketika kita sudah pulang.”
“Lalu, bagaimana?”
“Bagaimana kalau kita
hukum mereka menggunakan kekerasan?”
“Iya. Lagipula,
perbuatan yang mereka lakukan itu bukan lagi kekerasan namanya, itu sudah
kejahatan fatal. Membunuh gurunya sendiri. Padahal jelas-jelas gurunya itu
tidak bersalah.”
Rahang Charlene
mengeras menahan emosi. Jelas jelas guru itu menyiksaku! Masih dianggap
tidak bersalah?! Bersalahnya seperti apa kalau begitu?! Gumamnya dalam hati. Melihat
temannya mulai tersulut, Licorice mengelus pundaknya. Berusaha menenangkan.
“Bagaimana kalau kita
pukuli saja mereka dengan rotan?”
“Apa itu tidak
terlalu menyakitkan?”
“Keras sedikit tidak
apa-apa! Parah mana, memukuli dengan rotan atau membunuh?”
“Jelas membunuh.”
“Terserah anda semua
saja. Yang jelas, saya tidak akan melakukan perbuatan sekeras dan sekejam itu.
Bagaimanapun kejamnya mereka, mereka masih murid saya dan mereka masih
anak-anak.”
“Tapi mereka kini
bukan lagi anak-anak biasa. Mereka anak-anak berbahaya. Pembunuh! Yang
seharusnya kini sudah mendekam di pusat rehabilitasi!”
“Cukup! Rapat kali
ini di tutup. Kita putuskan, hukumannya adalah memukuli mereka semua dengan
rotan. Saya akan menugaskan lima orang guru laki-laki untuk melaksanakan tugas
ini.”
“Cih! Tugas
katanya?!” desis Luna.
“Oke! Semua sudah
jelas. Rapat sudah di tutup dan informasi yang kita dapat. Sudah sangat jelas.
Terima kasih atas bantuanmu Willy, Bryan, Angus. Sekarang pasti mereka sedang
bersiap menuju ke sini. Untuk itu, kita juga harus bersiap-siap menghadapi
mereka. Kalau bisa, kita serang duluan mereka,” jelas Darren berapi-api.
“Jangan, Darren. Itu
terlalu cepat. Kau tentu ingin mereka merasakan permainan kita terlebih dahulu
kan?” kata Emma seperti biasa. Menasehati Darren jika dia mulai gegabah.
“Baiklah..” belum
sempat Darren menyelesaikan kalimatnya, dari arah speaker lebih dulu terdengar
bunyi seperti televisi yang rusak.
“Apa artinya itu
Will?” tanya Andrea.
“Artinya alatku
hancur!” kata Willy sambil memainkan bom yang baru saja dirakitnya selama 5
menit itu.
“Dasar bodoh! Kau
pasti membuatnya terlalu mencolok! Jadi ketahuan!” umpat Andrea.
Sontak semua menoleh
ke arah Andrea dengan tatapan tajam.
“Kau belum tentu bisa
membuat alat seperti dia!” bela Neilson. Tidak terima temannya di
jelek-jelekkan.
“Apa? Aku hanya
mengungkapkan yang sebenarnya!” kata Andrea membela dirinya. Tapi lebih ke arah
memancing emosi semua anak.
“Sekali lagi kau
berkata begitu, akan aku suruh Charlene melubangi matamu!” kata Jerry dan
Patrick bersamaan.
“Eee.. teman-teman,
tanpa kalian suruh pun, aku akan dengan senang hati melubangi matanya,” sahut Charlene
dengan tenang.
“Dan akan aku cincang
tubuhmu menjadi 100 bagian. Kau mau?!” sentak Licorice.
“Yak.. yak.. kalian
bisa santai tidak sih? Aku kan hanya berkata begitu saja kalian sudah emosi.
Sudahlah, jangan memperbesar masalah!” elak Andrea. Tak urung, ia takut juga
mendengar ancaman teman-temannya.
“Siapa sebenarnya
yang memperbesar masalah?!” desis Luna dengan tatapan bengis. Ingin rasanya ia
arahkan pisau yang sedang di bawanya ke arah leher Andrea dan melibasnya sampai
tuntas.
“Sudahlah, dia memang
keras kepala. Tidak usah kau pedulikan..” kata Nathline.
“Iya.. fokuslah
kepada misi kita kali ini..” kata Bryan mendukung Nathline.
Akhirnya, mereka
semua bergegas keluar kelas, menuju ruang guru. Tetapi, sepertinya mereka harus
terhenti di dekat aula. Karena mereka telah di hadang oleh kelima orang guru
laki-laki yang siap memberikan hukuman kepada mereka. Terbukti, tangan kelima
orang itu menggenggam rotan yang panjangnya kira-kira 1 meter.
“Mau apa kalian?!”
tanya Darren dingin, meskipun ia sudah tahu apa maksud kelima orang itu
menghadang mereka.
“Kau! Jaga sopan
santunmu!” kata salah satu orang diantaranya sambil menunjuk muka Darren dengan
rotannya.
Hal itu membuat
Darren agak naik pitam. Tapi, ia berhasil mengontrol emosinya.
“Kami akan menghukum
kalian atas semua pembunuhan yang kalian lakukan di sekolah ini! Kalian sudah
keterlaluan!” kata guru yang tadi menunjuk muka Darren.
“Kenapa tidak
langsung saja laporkan kami ke pihak berwenang?!” Tanya Veronica.
“Hey! Kalian pikir
mengembalikan nama baik sekolah yang sudah tercoreng sebaik membalik telapak
tangan?! Lihat! Kalau kami melaporkan kalian ke pihak berwajib, nama sekolah
bisa tercoreng! Anak-anak bodoh!” sentak orang yang satu lagi.
“Sekolah pengecut!
Tindakan macam apa itu?! LOSER!” bentak Luna sambil memberikan tatapan
sinisnya kepada kelima orang itu.
“Mau apa kau, anak
kecil?!” bentak yang lainnya sambil mengarahkan rotannya ke arah Luna.
“Berhenti, atau aku
bisa saja menyayat lehermu,” balas Luna dengan nada bengis sambil mengacungkan
pisaunya. Sontak orang itu diam dan mundur.
“Yaah.. bapak-bapak,
sepertinya sebelum kalian menghukum kami, kami yang akan lebih dulu menghukum
kalian semua!” kata Charlene dramatis. Lalu selanjutnya, dengan gerakan cepat
dan mengagumkan, ia mengambili satu persatu bolamata ke lima orang itu dengan
pedang anggarnya yang panjang, tajam, dan mengkilat.
“Hmm.. lihat ini.
Lemari itu akan segera penuh,” katanya sambil tersenyum licik. Dalam beberapa
detik, kelima orang itu sudah tidak memiliki bolamata.
“Lic, apa kau tidak
ingin mencincang tubuh mereka?” tanya Charlene melihat Licorice yang tak
kunjung bergerak maju untuk mencincang kelima tubuh itu.
“Aku tidak sudi,
mereka tampak menjijikkan sekali bagiku. Lagipula, mereka belum mati!” tolak
Licorice sambil memandang jijik kelima orang tanpa bolamata itu. Ini jarang
sekali terjadi.
Tanpa ampun, Charlene
lalu menusuk kelima orang itu–lagi-lagi dengan gerakan yang cepat–tepat di dada
mereka. Sehingga dengan cepat, kelima
orang itu mati seketika.
“Kau benar, Lic.
Mereka terlihat menjijikkan. Setelah ini, aku akan membersihkan pedangku
sebersih mungkin!” kata Charlene.
“Willy, Neilson, dan
Patrick, bawa mereka ke ruang eksekusi. Will, jangan lupa bawa bom mu. Jangan
biarkan tubuh mereka utuh. Benar kata Lic dan Charlene. Mereka terlihat sangat
menjijikkan,” kata Darren sambil ikut memandang kelima orang yang sudah tidak
bernyawa itu dengan tatapan seperti menatap tikus dan kecoa yang baginya sangat
menjijikkan itu.
“Hoaaamz.. hanya
segini saja toh? Membuatku mengantuk saja. Sangat membosankan,” keluh Andrea
tiba-tiba.
“Shut up, Bastard!!
Kau bahkan tidak melakukan apapun! Aku sudah cukup kesal dengan tingkahmu hari
ini. Kau seperti anak kecil! Mengocehlah terus! Aku tidak akan segan menyayat
lehermu jika kau terus menyerocos seperti tadi!” umpat Luna sambil
menunjuk-nunjuk Andrea.
“Kau..” belum sempat
Andrea meneruskan kalimatnya, pisau Luna sudah melayang duluan.
Kalau Luna meleset 1
cm saja dari lemparannya, maka pisau itu pasti menggores wajah Andrea telak.
Untung saja, Luna merupakan pelempar yang cukup handal.
Andrea yang kaget
setengah mati hanya bisa bungkam dan membelalakkan matanya. Tidak menyangka.
“Aku bisa saja
menggoreskan luka yang cukup banyak di wajahmu tadi. Tapi aku masih punya
kesabaran! Jadi aku masih memaafkanmu. Oh ya, tadi aku sempat melihat pucatnya
wajahmu saat kita di hadang tadi. Kenapa? Atau jangan-jangan kau takut? Lain
kali, hilangkan gengsi setinggi langitmu itu!” kata Luna sambil mencabut
pisaunya yang tepat mengenai tiang kayu dekat aula, lalu melenggang dengan
santai.
Thomas yang saat itu
ada di tiang kayu dan hampir saja mendapat sambitan pisau, hanya bisa berkata
pada Jerry, “Wow, kau tahu? Luna Selena itu memang punya gaya..” Jerry hanya
mengangguk setuju.
Yah, sepertinya,
setelah kejadian ini, mereka akan benar-benar menjadi psikopat yang benar-benat
‘psikopat’. Dan, mungkin setelah hari ini, tidak akan ada yang berani mencari
masalah dengan mereka lagi. Mungkin juga karena motto mereka,
WE KILL EVERYONE WHO
BLOCKS OUR WAY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar