Ferlita menggeleng. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ia segera berlari pulang meninggalkan Steven yang masih tertegun.
"Ferlita!" Terdengar suara Steven memanggilnya.
Ferlita masih terus berlari, menuju rumahnya. Hujan mulai turun.
Angin bertiup semakin kencang. Ferlita akhirnya sampai juga. Di depan
rumah, Lara menunggu dengan penuh rasa cemas. Ia segera menarik Ferlita
masuk dan mengelap wajah Ferlita yang basah dengan handuk kering.
"Nona! Nona pergi kemana?! Saya sangat cemas! Lain kali, tolong
pamitlah dahulu. Dan, cepat ganti baju Nona. Nanti Nona bisa sakit,"
kata Lara.
"Terima kasih, Lara. Aku hanya mencari pekerjaan," ucap Ferlita.
"Tidak perlu, Nona. Seharusnya saya saja yang mencari pekerjaan," larang Lara.
Ferlita menggeleng. Ia tersenyum hangat pada Lara. Lara tertegun. Ia
baru tersadar, kalau wajah Ferlita lambat laun menjadi mirip dengan
wajah Ibunya. Mrs.Middleton. Seakan-akan, Lara telah melihat
Mrs.Middleton tersenyum kepadanya. Ferlita masuk ke kamarnya. Bajunya
basah terguyur air hujan. Ia segera menggantinya.
***
Ferlita keluar dari kamar. Tampak Lara sedang menghidangkan telur goreng. Masing-masing satu di sebuah piring.
"Untuk Nona, dan untuk saya," kata Lara.
"Tidak, Lara. Untukmu saja," tolak Ferlita halus.
"Nona bisa sakit. Jika Nona tidak mau makan, saya juga tidak akan mau makan,"
Ferlita luluh juga. Ia akhirnya mau makan, walaupun cuma sedikit.
Lara, pembantunya itu sangat setia. Lara menganggap Ferlita seperti
anaknya sendiri. Ia begitu sayang pada Ferlita.
"Besok, aku akan mencari pekerjaan," kata Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona, biar saya saja yang mencari pekerjaan,"
"Besok hari Sabtu bukan? Aku akan berjalan-jalan sembari mencari pekerjaan," Ferlita tersenyum.
Lara menghela napas. Ferlita tetap teguh pada pendiriannya, ingin mencari pekerjaan. Tak ada yang bisa menggoyahkannya.
***
Keesokan harinya...
Ferlita berjalan-jalan di trotoar kota Cornhead. Mobil jarang berlalu
lalang. Mungkin, karena perkantoran libur. Ferlita berbelok. Mungkin
saja, ada usaha atau toko kecil-kecilan yang membuka lowongan pekerjaan.
Namun..
Tidak ada.
Yang ada, cuma sebuah taman. Mata Ferlita menatap taman itu dengan sendu.
"Ayah... Ibu..." desah Ferlita.
Dulu, Ayah dan Ibunya sering mengajak Ferlita bermain di taman itu.
Sebelum mereka meninggal. Ya, tentu saja. Tanpa terasa, kaki Ferlita
melangkah ke taman itu. Suara anak-anak yang sedang bermain semakin
terdengar.
BRUK!Ferlita menabrak tong sampah di taman, sehingga semua sampah
berserakan keluar. Rupanya, Ferlita tidak sadar ada tong sampah besar
itu.
"Aww..." rintih Ferlita pelan.
"Ya ampun!" seru seseorang.
Ferlita menoleh. Seorang tukang sapu taman menggeram marah.
"Kau..." geram tukang sapu itu.
"Ah, maafkan aku!" sesal Ferlita.
"Sapu semua sampah ini! Kau harus menyapunya sampai bersih, seperti sedia kala!" perintah tukang sapu itu marah.
"Ah, baiklah," kata Ferlita.
Ia segera mengambil sapu dan serokan, lalu menyapu semua sampah itu dengan cepat. Hingga tak ada lagi sampah yang berserakan.
"Sudah, Sir," ucap Ferlita.
Tukang sapu itu mengangguk-angguk.
"Hati-hati kalau berjalan!"
"Ya. Boleh aku bertanya?" tanya Ferlita.
"Apa?""Apakah ada lowongan pekerjaan di sekitar sini?" tanya Ferlita.
Tukang sapu itu berpikir.
"Sepertinya, tidak ada," ketusnya. "Carilah pekerjaan di tempat lain,"
Ferlita mengangguk lesu. "Terima kasih, Sir,"
Tukang sapu itu cuma mengangguk kembali. Ferlita kembali berjalan.
Mencari lowongan pekerjaan. Ahh... Sebuah toko menarik perhatian
Ferlita. Sebuah toko kue!
"Dulu kan, aku sering membuat kue. Dan.. Aku suka memasak," gumam Ferlita.
Ferlita akhirnya masuk ke toko kue itu. Ia menghampiri gadis penjaga.
"Maaf, adakah lowongan pekerjaan disini?" tanya Ferlita.
Gadis itu menggeleng. "Maaf, Nona. Tidak ada lowongan pekerjaan,"
"Ya, terima kasih," Ferlita segera keluar dari toko kue itu.
Ia menghela napas. Sulit sekali mendapatkan pekerjaan.
"Ah, sebaiknya aku pergi ke pemakaman saja," kata Ferlita. "Aku ingin mengunjungi Ayah dan Ibu,"
***
Sesampainya di pemakaman...
Ferlita berjalan menelusuri pemakaman itu. Ia membaca satu persatu
nisan yang ada di situ. Sampai akhirnya, Ferlita sampai di makam orang
tuanya. Di sebelah kiri makam Ayahnya, dan sebelah kanan makam Ibunya.
"Ayah... Ibu... Kenapa kalian harus pergi meninggalkanku?" bisik Ferlita sedih.
Ferlita meraba tanah makam Ayah dan Ibunya. Mata Ferlita terbelalak. Ada yang aneh... Tanahnya...
BASAH!
DHEG! Tidak mungkin! Ayah dan Ibunya saja dimakamkan tahun lalu!
Tidak mungkin, jika tanahnya masih basah? Dan, terlihat baru? Ferlita
mengenali tanah itu. Itu tanah pemakaman yang baru digali!
"Ba..Bagaimana ini bisa terjadi?!" tanya Ferlita kaget.
Jantungnya berdebar kencang.
"Hai.." Seseorang menepuk bahunya.
"AAA!!" jerit Ferlita kaget.
"Aww! Teriakanmu keras sekali, sih!" gerutu orang itu.
Ferlita berbalik. Itu... Steven!
"S-Steven?! Mau apa kau kemari?!" tanya Ferlita ketus.
"Aku? Aku cuma sedang berjalan-jalan di sekitar sini. Dan aku melihatmu. Kau sendiri?" Steven balik bertanya.
"Aku... Mengunjungi makam orang tuaku," jawab Ferlita.
"Tidak baik kau sedih terus menerus. Lihat dirimu," Steven memegang kepala Ferlita yang menunduk, lalu mendongakkannya.
"A-Apa?!" tanya Ferlita panik.
"Lihat matamu. Matamu yang dulu sangat penuh semangat dan seakan
bercahaya, kini telah redup. Kulit wajahmu yang menjadi kusam. Begitu
pula dengan rambutmu. Menjadi cokelat kemerahan! Orang tuamu pasti
kecewa," ucap Steven.
"Bi..Biar saja! Aku tidak peduli!" Ferlita membuang muka.
Steven tertawa. "Hahaha! Kenapa kau ini, heh? Dulu atau sekarang, kau masih sama saja! Sombong!" cetus Steven.
"Aku tidak sombong!" bantah Ferlita.
"Kau sombong! Menurutku, kau sombong," tukas Steven.
Ferlita diam. Ia tidak mau lagi berdebat dengan si aneh Steven.
"Kenapa diam, heh?" tanya Steven.
"Memangnya, aku tidak boleh diam!?" ketus Ferlita.
"Tidak!" kata Steven sambil tertawa.
Ferlita kembali diam. Ia agak jengkel dengan Steven."Hei, jangan disini, ya! Agak menyeramkan," kata Steven.
"Lalu?" tanya Ferlita datar.
"Kita ke tempat lain saja, yuk! Hitung-hitung mencari pekerjaan. Ayo!" Steven menarik tangan Ferlita.
"Ehh, tunggu!" seru Ferlita kewalahan.
Ferlita menoleh ke makam orang tuanya sambil terus berlari.
DHEG!
Tampak ada jejak kaki dari makam orang tuanya ke pintu keluar lain!
Wajah Ferlita langsung pucat. Namun, ia cepat mengalihkan pandangannya.
Siapa tahu, itu jejak kaki orang lain.
Benarkah?
***
"Es krim disini enak sekali, kan!" Ucapan Steven membuyarkan lamunan Ferlita."Eh?"
"Kau sedari tadi mendengarkan aku bicara atau tidak, sih!" gerutu Steven kesal.
"Ehhh, iya iya! Aku dengar!" kata Ferlita.
"Nah, gitu dong," Steven tersenyum puas sambil terus memakan es krimnya.
Steven mengajak Ferlita pergi ke toko es krim. Awalnya, Ferlita menolak. Namun, Steven keras kepala.
"Katamu, kau akan mengajakku mencari pekerjaan. Nyatanya? Malah mengajakku makan es krim," gerutu Ferlita.
Steven tersenyum. "Aku memang akan mencarikanmu pekerjaan, kok,"
Steven berdiri, kemudian berjalan ke arah kasir. Ia berbicara
sebentar dengan kasir itu, lalu masuk ke sebuah ruangan."Mau apa ya,
Steven," gumam Ferlita bertanya-tanya.
Beberapa menit kemudian, Steven keluar. Ia tersenyum
gembira."Ferlita! Kau diterima bekerja di toko es krim sebagai
pramusaji! (atau apalah namanya itu)" kabar Steven gembira."Aku tidak
suka bercanda,"
"Aku tidak bercanda! Kau bisa pastikan itu," Steven menarik tangan Ferlita menuju sebuah ruangan.
Ternyata, itu ruangan manager (atau apalah namanya itu) toko es krim itu.
"Jadi, ini gadis yang akan bekerja?" tanya manager itu ramah.
"Ya, Sir! Dia gadis yang giat bekerja!" jawab Steven.
"Perkenalkan, aku Mike McLewis," kata Mike.
"A..Aku Ferlita Middleton," kata Ferlita pelan.
"Ya! Kau akan bekerja disini mulai besok! Ini seragammu. Datanglah
jam 7 tepat!" jelas Mike sambil memberikan seragam pada Ferlita.
Ferlita menerimanya. "Baiklah, terima kasih. Saya permisi.." Ferlita segera keluar.
Steven mengikutinya.
"Bagaimana? Cepat bukan, aku mencarikanmu pekerjaan?" kata Steven gembira.
"Terima kasih, Steven. Tapi, bagaimana bisa dengan cepatnya dia
menerimaku sebagai pramusaji disini? Apa yang kau katakan padanya,
Steven?" tanya Ferlita.
"Mudah. Dia itu pamanku," jawab Steven.
"Oh. Terima kasih banyak, Steven," ucap Ferlita sekali lagi.
"Sama-sama,"
Ferlita merenung.
"Aku... Harus pulang," ujar Ferlita.
"Pulanglah, Ferlita," kata Steven."Sebentar, es krim tadi harganya berapa?" tanya Ferlita.
"Kau tak usah membayarnya, Ferlita,"
"Apa? Tapi, aku tidak bisa.." tolak Ferlita.
"Tak usah dibayar. Atau pekerjaanmu aku ambil lagi," ancam Steven.
"Ups, baiklah baiklah. Aku akan pulang, terima kasih!" Ferlita berlalu.
Nah, apakah Ferlita bisa bekerja dengan bagus? Atau malah hancur?
Dan, jejak kaki siapa tadi itu? Mau tahu ketegangan selanjutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar