Sabtu, 05 Januari 2013

Death School (3)


"KYAA!! TOLONG AKU!!"

Erinna berteriak histeris. Lututnya sobek dan berdarah karena terantuk lantai yang mencuat ke atas. Tangan busuk itu semakin mendekat ke arah Erinna. Erinna menutup matanya. Pasrah akan nasib.

"ARGH!" Valencia palsu berteriak.

Erinna membuka matanya.

"Erinna!" seru Rozanne.

Ternyata, Evelyn memanah jantung Valencia palsu. Valencia palsu mengerang-erang kesakitan. Kemudian, ia jatuh dan diam. Tubuhnya lalu meleleh menjadi darah dan cairan berbau busuk yang menjijikan. Dari cairan-cairan busuk itu, tiba-tiba membentuk menjadi selembar kertas.

"Hei, kertas apa itu?" tanya Lily.

"Entahlah. Ada yang mau mengambil?" tanya Danny.

Semua anak perempuan disitu menggeleng. Itu menjijikan. Akhirnya, Danny, secara terpaksa, mengambil kertas itu. Mimik wajahnya terlihat sangat jijik begitu menyentuh kertasnya.

"Apa tulisannya?" tanya Evelyn.

"Sebentar.." ucap Danny. "Kalian mau lihat?"

Rozanne, Lily, Erinna, dan Evelyn segera membaca kertas itu. Isinya adalah :

Kalian berhasil, ya? Bagus! Tunggulah aku di ruang alumni. Ada di salah satu sudut perpustakaan ini.
Valencia Dorrenstone

"Ruang alumni?" tanya Rozanne.

"Aku tahu dimana ruangannya," ucap Evelyn. "Kakakku pernah memberitahukannya padaku,"

Rozanne, Lily, Danny, dan Evelyn sudah bersiap melangkah ke ruang alumni, saat Erinna mencegah.

"Tunggu," cegah Erinna. "Apakah kalian tau, siapa Valencia palsu ini?"

Danny mengamati wajahnya. Wajahnya belum seluruhnya hancur. Tapi, sudah rusak parah.

"Kalau nggak salah dia anak kelas 9 yang bunuh diri 3 bulan tahun lalu," kata Danny.

"Winny Georgsalle? Kalau enggak salah," tebak Erinna.

"Oh, Winny. Aku kenal dia, dia yang bunuh diri dengan cara menjatuhkan dirinya dari lantai atas, kan?" kata Lily.

"Iya," ujar Erinna.

"Tapi, dia kan sudah mati. Kok, bisa bergeral dan mengejar kita?" tanya Rozanne sambil merinding.

Wajah Erinna pucat. "Jangan-jangan.."

"Jangan takut-takuti aku, Erinna!" jerit Rozanne.

"Ya sudah, kita jalan lagi," ajak Rozanne dan Danny.

Erinna masih diam di tempat. Mengamati mayat Winny yang sudah tak berbentuk lagi itu. Perlahan, bola mata Winny bergerak-gerak.

"Gyaa!!" seru Erinna, lalu menyusul keempat temannya itu.

***

"Ini pintu ruang alumni," kata Evelyn.

Pintunya terletak di tempat menyimpan barang-barang labolatorium yang telah usang. Pintunya terlihat samar. Juga, ukurannya setengah dari pintu biasa. Evelyn mendobrak pintunya.

BRAK!

Pintu terbuka. Ternyata, tidak terkunci. Namun, sesosok mayat menyambut mereka di pintu. Mayat itu sudah berdarah-darah, tangannya putus satu, dan matanya tidak ada.

"GYAAA!!!" jerit kelima anak itu.

Terutama Evelyn, yang berada paling depan. Untungnya, mayat itu tidak bergerak seperti mayat Winny.

"Huft, itu Edward," ujar Danny.

"Edward?" ulang Rozanne.

"Ya, Edward Rockcross. Dia juga bunuh diri," jawab Danny.

"Ohh.." Rozanne mengangguk-angguk.

Lily mendorong mayat Edward. Bruk! Mayat Edward jatuh.

"Begini sih, gampang," kata Lily.

Mereka segera masuk ke ruang alumni. Di situ, banyak sekali laci-laci berisikan catatan-catatan alumni terdahulu. Raut wajah Lily seketika berubah menjadi sedih.

"Lily, kau kenapa?" tanya Rozanne heran.

Lily menggeleng. "Tidak apa-apa," ucapnya.

Lily lalu membuka salah satu laci alumni 1991-1994. Ia mengambil salah satu catatan. Perlahan, air matanya menetes melihat catatan itu.

"Lily? Kau tidak apa-apa?" tanya Rozanne lagi.

"Sst," Erinna menepuk bahu Rozanne. "Dia mengingat kakaknya, Sunny yang mati bunuh diri disini,"

Rozanne tercekat. "Kakaknya?"

Lily tiba-tiba sudah ada di depan mereka. Air matanya mengucur deras dari matanya.

"Seharusnya, aku tidak lakukan itu padanya. Kak Sunny.. Kalau tidak, dia tidak akan mati! Kenapa aku sebodoh itu!" tangis Lily meraung-raung.

Rozanne kaget. "Li..Lily?! Kau.. Bisa ceritakan padaku!?"

Lily menyeka air matanya. "Dulu, aku hidup bersama seorang adikku dan Ibuku. Ayahku sudah meninggal. Adikku bernama Ritchie. Pada suatu hari, Ibuku menikah dengan ayah Sunny. Berarti, aku dan Ritchie adalah adik tiri Sunny. Umur kami berbeda 2 tahun. Ibuku bersikap beda pada Sunny. Ia sering menyiksa Sunny. Begitu pula aku dan Ritchie. Saat itu, aku kelas 6 dan Sunny kelas 8. Sunny juga bersekolah disini. Karena tidak tahan, Sunny akhirnya bunuh diri. Ketika Sunny sudah meninggal, aku merasa sangat kehilangan. Aku baru sadar, bahwa aku sangat menyayangi Sunny," cerita Lily.

Rozanne dan Erinna mengangguk-angguk mendengar cerita Lily. Lily menyodorkan catatan itu.
"Ini Sunny.." ucapnya.

Rozanne dan Erinna mengamati catatan alumni Sunny. Sunny gadis yang cantik. Rambutnya pirang keemasan, dan matanya hijau tua.

"Hiks.. Aku bersalah.." tangis Lily lagi.

"Kamu enggak salah, Lily.." Rozanne berusaha menghibur Lily.

Disaat begitu, tiba-tiba terdengar jeritan Evelyn.

"AA!!! TOLONG AKU!!"

Rozanne, Lily, dan Erinna kaget. Mereka sadar, Danny dan Evelyn TIDAK ADA di sekitar mereka! Ketiga anak gadis itu lalu mencari Evelyn. Di salah satu sudut, ada banyak percikan darah. Juga... Jeritan Evelyn!

"DANNY! HENTIKAN!!"

"Evelyn!" seru Rozanne.

Ia, Lily, dan Erinna melihat apa yang terjadi.

Astaga!

Tampak, Danny sedang menusuk-nusuk Evelyn. Mata Danny tampak merah.

"Danny!! Hentikan!" jerit Rozanne, berusaha menghentikan Danny.

Danny berbalik. Ia menatap Rozanne. Namun, pandangannya kosong. Evelyn masih menjerit-jerit menahan rasa sakit akibat tusukan Danny. Danny menghunuskan pedangnya ke jantung Rozanne. Seseorang mendorong Rozanne.

"AAA!!!"

Teriakan itu terjadi begitu saja. Bukan dari mulut Rozanne.. Bukan dari mulut Evelyn.. Melainkan dari mulut seorang anak perempuan.. Mischa! Dia adalah salah satu murid kelas 7-H. Mungkin, Mischa mengikuti mereka sampai kesini. Mischa termasuk anak pendiam dan pemurung. Karena kehilangan kakak perempuannya, ia jadi begitu suram.

Mischa langsung jatuh bersimbah darah ke lantai. Tusukan Danny mengenai pinggangnya.

"Aa.." rintih Mischa.

"Mischa!" seru Lily, Erinna, dan Evelyn.

Rozanne mungkin belum mengenal Mischa.

"Mishca... Kau tidak apa-apa?" tanya Lily.

Mischa merintih kesakitan. "A..Aku sakit.. Mungkin aku.. Sebentar lagi.. Meninggal.." rintih Mischa.

"Mischa! Jangan bicara begitu!" seru Erinna.

"Betul.. Aku mengikuti kalian.. Untuk melindungi kalian.. Aku juga, bahagia.. Karena, hidupku jadi berguna.." rintih Mischa.

Perlahan, Mischa menutup matanya.

"Mi..Mischa.." isak Lily.

Rozanne, Lily, Erinna, dan Evelyn menangis melihat kematian Mischa yang mengorbankan hidupnya demi Rozanne. Mungkin, mereka tak pernah memperhatikan Mischa. Dan menganggap Mischa itu aneh.
Tapi, nyatanya, ia telah menyelamatkan nyawa mereka. Dan mengorbankan nyawanya sendiri...
Diam-diam, Danny menghunuskan pedangnya ke arah Rozanne...

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar