Sabtu, 05 Januari 2013
Wind (1)
Angin bertiup kencang di Cornhead, di New York, AS. Angin kencang itu menandakan akan terjadi badai kencang seperti tahun lalu. Semua penduduk masuk ke dalam rumah, dan cuma berani mengintip dari jendela. Angin semakin kencang. Sampah-sampah terbang terbawa angin. Langit sangat gelap. Seolah matahari sedang bersembunyi. Seorang gadis berambut coklat mengintip dari jendela rumahnya. Matanya yang berwarna abu-abu, menatap suasana diluar.
Tangannya gemetar.
"Ferlita..." Seorang wanita paruh baya menghampirinya.
Gadis yang bernama Ferlita itu menoleh.
"Ya?"
"Sebaiknya, Nona pergi ke kamar. Tidak baik jika Nona terus berdiri disini, menatap badai," ucap wanita paruh baya itu.
Ferlita merenung.
"Biarkan aku disini, Lara," kata Ferlita akhirnya.
Lara, wanita paruh baya itu menghela napas.
Ferlita Middleton... Dia anak bangsawan Edward dan Clara. Umurnya enam belas tahun. Dan, di hari itu.... Saat sebuah badai besar menerpa kota Cornhead. Badai yang sangat besar. Terjadi setahun yang lalu. Tepatnya, 12 Februari 2004..
12 Februari 2004..
"Diperkirakan hari ini akan terjadi badai besar di kota Cornhead. Kami berpesan agar warga Cornhead tetap berada di rumah," Begitu suara pembawa laporan cuaca di televisi.
Ferlita yang sedang menonton televisi menjadi panik."Lara!" panggil Ferlita.
"Ya, Nona!" Lara, pembantu di kediaman Middleton, segera tergopoh-gopoh menghampiri Ferlita.
"A..Apakah Ayah dan Ibuku sudah pulang? Atau, mereka menelepon kita tadi?" tanya Ferlita panik.
Lara menggeleng. "Tuan dan Nyonya belum pulang. Mereka juga tidak menelepon kita," jawab Lara.
Ferlita menghela napas sedih. "Padahal, badai besar akan terjadi! Bagaimana ini!?" keluh Ferlita.
"Kita telepon Tuan dan Nyonya saja, Nona," kata Lara.
Ferlita mengangguk. Dengan cepat, ia mengambil handphone-nya dan segera menelepon orang tuanya. Namun, tidak ada sinyal.
"Sial!" umpat Ferlita.
"Bagaimana, Nona?" tanya Lara.
"Tidak ada sinyal!"
Lara tidak punya solusi.
DUAAAARR!!
Petir menyambar-nyambar. Pet! Listrik mati. Semua menjadi gelap. Ditambah, langit diluar juga sangat gelap. Seolah tidak ada matahari. Dan suara angin yang bertiup sangat kencang. Ferlita dan Lara semakin panik.
"Aku harus menelepon mereka," kata Ferlita.
Ia mengambil handphonenya, dan menelepon orang tuanya lagi. Ada sinyal, namun, nomornya tidak aktif.
"Sekarang tidak aktif! Ada apa sebenarnya ini!" kata Ferlita mulai ketakutan.
"Tenanglah, Nona. Mungkin saja, baterai handphone mereka habis," Lara berusaha menenangkan anak majikannya itu.
"Bagaimana aku bisa tenang!" Ferlita duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Cemas, takut, dan marah.
Tiga jam...
Suara handphone Ferlita berbunyi. Ternyata, orang tuanya.
"Orang tuaku menelepon!" seru Ferlita gembira.
Ferlita mengangkatnya.
"Halo, ayah? Ibu?" kata Ferlita.
"Maaf, apakah ini Ferlita Middleton?" tanya suara disamping.
"Ya, saya sendiri. Ada apa?" Ferlita balik bertanya.
" Maafkan saya, Nak. Mobil Ayah dan Ibumu jatuh ke laut di jembatan, karena tertabrak mobil bus besar," jawab suara disamping. "Dan sekarang, mereka ada di rumah sakit Peach Flower,"
Rasanya, Ferlita seperti tidak punya tenaga lagi. Ia jatuh terduduk. Air mata mulai mengalir dari matanya.
"Apa?! Itu tidak mungkin! Jangan bercanda! Ini bukan waktu untuk bercanda!" teriak Ferlita marah dan sedih.
"Saya minta maaf, tapi memang itu yang terjadi. Dan Nona Ferlita Middleton diharapkan dapat segera ke rumah sakit Peach Flower sekarang. Kamar VIP 310," Orang di seberang mematikan teleponnya.
Ferlita melepaskan teleponnya. Air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak percaya pada kenyataan. Ferlita menoleh pada Lara.
"Lara! Kita ke rumah sakit Peach Flower sekarang!" kata Ferlita.
"Apa? Nona? Untuk apa?" tanya Lara bingung.
"Biar kujelaskan nanti!" Ferlita langsung berjalan menuju garasi.
Ia masuk ke dalam mobil sedan miliknya. Ferlita tidak peduli kalau ia belum memiliki SIM. Yang penting, Ferlita bisa ke rumah sakit Peach Flower sekarang. Lara mengikuti dari belakang, setelah mengunci pintu.
"Masuk, Lara!" perintah Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona? Untuk apa Nona..""Sudah! Masuk saja!" potong Ferlita kasar.
Lara terdiam, lalu masuk ke mobil. Lara tahu betul sikap anak majikannya yang kalau sedang marah atau sedih akan menjadi kasar. Dan Lara memaklumi itu.
Ferlita mengeluarkan mobil dari garasi, lalu menancap gas menuju rumah sakit Peach Flower dengan kecepatan tinggi. Tak dipedulikan badai yang masih berlangsung. Setelah kira-kira 10 menit, mereka sampai juga di rumah sakit Peach Flower. Ferlita memarkir mobilnya, lalu berlari ke dalam rumah sakit. Ia menuju resepsionis.
"Per..Permisi! Apakah, ada yang dirawat di rumah sakit ini yang bernama Edward dan Clara Middleton?" tanya Ferlita.
"Biar saya periksa dulu," Resepsionis itu memeriksa buku catatan list-nya.
Ia kemudian mengangguk.
"Ya, mereka ada di kamar VIP nomor 310," jawab Resepsionis.
Tanpa basa-basi, Ferlita langsung berlari ke kamar VIP nomor 310. Lara mengikutinya dari belakang. Di lorong, tampak tetesan darah.
Di depan pintu kamar 310...
Ferlita terhenyak. Orang tuanya berbaring di ranjang dengan kepala, tangan, dan kaki diperban. Darah terlihat jelas. Ferlita bisa melihatnya, karena pintunya terdapat kaca.
"A-Ayah... Ibu.."
"Astaga! Tuan dan Nyonya?!" seru Lara kaget melihat majikannya terbaring lemah.
Seorang dokter keluar.
"Do..Dokter! Bagaimana.. Bagaimana keadaan orang tua saya?!" tanya Ferlita.
"Anda..?"
"Saya Ferlita Middleton, anak Edward dan Clara Middleton," jelas Ferlita.
Dokter menghela napas. "Orang tuamu... Ibumu sudah meninggal, karena pembuluh darah besarnya pecah dan nadinya tergores cukup dalam. Dan Ayahmu koma," jelas Dokter. "Walau begitu, saya tidak tahu apakah Ayahmu bisa diselamatkan lagi atau tidak,"
Ferlita langsung terjatuh.
"Dokter, tolong selamatkan Ayah saya. Saya mohon!" tangis Ferlita.
"Saya hanya bisa membantu. Tapi, Tuhan yang menentukan," ucap Dokter.
Tiiiiiittt...... Detak jantung Ayah Ferlita di penampang tv (saya tidak tahu namanya apa-,-) terlihat rata. Tanda Ayah Ferlita sudah meninggal dunia. Ferlita menatapnya dengan kaget.
"AYAAAAHHH!! IBUUUUU!!!!"
***
Sejak kematian orang tua Ferlita, Ferlita jatuh miskin. Ia tidak bisa mengatur uanya. Untuk mencukupi kebutuhan mereka, Ferlita dan Lara berusaha bekerja. Ferlita juga putus sekolah.
Sekolahnya mahal, dan Ferlita tidak sanggup membayarnya. Maka, ia lebih memilih berhenti sekolah.
***
"Akankah, ada yang meninggal lagi di badai ini," gumam Ferlita.
"Nona, jangan bicara begitu," tegur Lara.
Ferlita menghela napas. "Aku masih tidak bisa melupakan orang tuaku,"
Lara tidak tahu harus bicara apa lagi.
"Lara, apakah masih ada makanan?" tanya Ferlita.
"Hanya ada dua butir telur, Nona," jawab Lara.
"Untukmu saja, Lara. Kau sudah bekerja keras," ucap Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona, saya tidak bisa..""Sudah! Itu untukmu saja. Aku tahu dari kemarin kau belum makan," potong Ferlita.
"Baiklah, Nona,"
Ferlita kembali menatap langit. Matanya melirik Lara yang sedang berjalan ke dapur."Bagus," gumam Ferlita.
Ia segera keluar diam-diam dari rumah..
***
Ferlita memeluk dirinya sendiri. Udara di luar sangat dingin, dan suasananya... Sangat mengerikan. Untungnya, saat itu tidak hujan.
Ia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai tukang cuci piring di restoran. Itu karena, Ferlita selalu memecahkan piring atau gelas.
"Dimana lagi aku bisa mencari pekerjaan.." gumam Ferlita.
Tidak ada lowongan pekerjaan.
Bruk!
Sebuah koran terbang dan menubruk wajahnya.
"Aww.." rintih Ferlita pelan.
Ia segera menggenggam koran itu.
"Aku tak akan diterima bekerja di pabrik," kata Ferlita pada dirinya sendiri. "Aku cuma lulusan SMP. Dan SMA tidak lulus," desah Ferlita sedih.
Seandainya, orang tuanya masih ada. Tentu, Ferlita tak usah kesana kemari mencari pekerjaan. Di usianya yang harusnya masih sekolah.
"Kenapa kau keluar disaat begini?"
Ferlita menoleh ke asal suara. Ia kira itu Lara. Namun...
Itu seorang lelaki.
Sepertinya, Ferlita mengenalinya.
"Steven!" seru Ferlita kaget.
Steven Johnson, adalah teman sekelasnya di SMA.
"Huh, berhenti sekolah. Kau sama saja seperti Tessy," olok Steven.
"A..Aku.." Ferlita berhenti bicara.
Ia teringat akan Tessy. Temannya, yang berhenti sekolah. Dulu, Ferlita sangat mengejeknya. Dan sekarang?
Ia sendiri berhenti sekolah.
"Nggak usah terlalu dipikirin. Yang tadi aku cuma bercanda," kata Steven.
Ferlita mengangguk. "Ya,"
"Kenapa kau keluar disaat begini?" tanya Steven."Kau sendiri sama," tukas Ferlita.
Steven terkekeh. "Aku tidak ada kerjaan di rumah. Kau?"
"Aku..." Ferlita malu mengatakan yang sebenarnya. "Aku.. Mencari pekerjaan," jawab Ferlita akhirnya.
Mata Steven terbelalak, kemudian tertawa keras.
"Hahaha! Mencari pekerjaan?! Anak bangsawan Middleton?!! Hahaha!!" tawa Steven keras.
"Diam!" bentak Ferlita sambil melempar koran yang dipegangnya ke wajah Steven.
"Aw!"
Steven berhenti tertawa. Ia menatap Ferlita yang menatapnya dengan marah. Sangat marah."Tidak usah mengejekku begitu!!" kata Ferlita marah.
"Aku cuma bercanda!" bantah Steven.
"Kau... Kau tidak mengerti perasaanku, sangat sedih kehilangan orang tuaku! Aku tidak peduli dengan kekayaan, aku cuma ingin orang tuaku!!" seru Ferlita.
Matanya berkaca-kaca. Steven merasa bersalah.
"Kenapa... Kenapa ini terjadi padaku?" isak Ferlita.
"Maafkan aku, tadi aku... Kelepasan bicara! Maaf!" ucap Steven.
"Kenapa!? Kenapa.. Orang tuaku harus pergi? Kenapa?!"
"Jangan menangis lagi, hei!" seru Steven sambil menyeka air mata Ferlita.
Ferlita tertegun. Ada sebuah perasaan menyelinap begitu Steven menyeka air matanya.
"Maaf aku sudah mengejekmu," kata Steven.
Ferlita menggeleng. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ia segera berlari pulang meninggalkan Steven yang masih tertegun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar