Rin mulai
menggeledah gudang itu, dan menemukan pakaian. Sepertinya, masih baru,
entah bagaimana. Tapi Rin tidak peduli. Ia segera memakainya dan
meninggalkan seragamnya begitu saja. Ia menyeringai. "Dua orang sudah
kubunuh. Tunggulah, cepat atau lambat aku akan membunuh kalian,"
seringainya, lalu meninggalkan gudang dan mayat Neru.
- Normal PoV-
"Rin dan Neru lama sekali," celetuk Miku.
"Mungkin mereka membicarakan banyak hal," komentar Luka.
Ketika Miku akan berbicara, tiba-tiba saja Rin datang. Bajunya sudah berganti. Tadinya seragam, menjadi T-Shirt kuning yang agak kotor, dan rok hitam. Len mengernyit. Itu bukan pakaian Rin, batin Len.
"Rin! Kau datang juga!" seru Miku.
"Kok bajumu ganti, Rin?" tanya Luka heran.
Rin nyengir. "Tadi aku terpeleset ke lumpur. Dan jadinya baju seragamku kotor. Jadi, aku ke rumah dulu ganti baju. Hehe, maaf lama ya..."
Len mengernyit. "Aku tidak pernah melihat baju itu, Rin. Itu bukan bajumu, kan?"
"Enak saja! Ini bajuku, hanya saja jarang dipakai," kata Rin.
"Oh, gitu," tanggap Len singkat, masih heran dengan sikap saudari kembarnya itu.
"Ngomong-ngomong, mana Neru?" tanya Kaito yang sedari tadi diam saja.
Wajah Rin menjadi pucat. "Err, itu, itu, Neru tadi... Pulang! Yap, pulang ke rumahnya," jawab Rin sambil berusaha tersenyum.
"Yah, kenapa enggak ikutan ke cafe lagi? Malah langsung pulang," gerutu Miku.
Rin tertawa dipaksakan. "I-Iya."
"Ini orange parfait-mu, Rin. Kesukaanmu, kan?" Len menyodorkan segelas orange parfait pada Rin.
Mata Rin langsung membelalak. "Orange parfait! Kesukaanku!"
Rin, langsung melahap orange parfait itu dengan lahap. Tidak sampai lima menit! Semua tertawa melihat tingkah Rin.
"Kau ini, suka sekali orange parfait!" komentar Meiko sambil tertawa. Dia memegang... Ehm, sake. Untungnya sake beralkohol rendah, tak begitu berakibat fatal.
"Daripada kau, Meiko. Sukanya sake," balas Rin sambil mencibir.
"Eh! Panggil aku Meiko-senpai! Aku kan lebih tua darimu!" canda Meiko.
"Baik, Sen... Uwwehh, aku tak sanggup memanggilmu senpai." Kali ini Rin yang bercanda. "Senpai kok, suka minum sake."
Meiko cemberut karena disindir-sindir kesukaannya suka minum sake. Untungnya ia tak ketahuan guru. Bisa-bisa di hukum.
"Jus wortel memang enak, ya," kata Miku sambil meminum jus wortel dicampur negi. Ups, memangnya enak? Tanyakan saja pada Miku. "Aku jadi ingat Gumi, yang suka sekali wortel."
Semua jadi terdiam. Mereka tertawa-tawa, setelah sahabat mereka meninggal? Uh, rasanya bersalah sekali.
"Ah, aku merasa bersalah mengatakan begitu," ratap Miku.
"Kalau aku merasa bersalah pada Gumi. Entah apa dia sekarang, sementara kita tertawa-tawa," ujar Meiko.
"Kira-kira, keluarga Megpoid sudah tahu belum, ya?" tanya Kaito.
Semua menggeleng. Mereka diam, teringat kenangan-kenangan bersama Gumi. Namun, Rin memikirkan hal berbeda. Ketika ia membunuh Gumi. Wajah Gumi begitu ketakutan. Untungnya, Rin tidak membunuh Gumi seperti ia membunuh Neru.
Diam-diam, Rin merasa 'agak' bersalah telah membunuh Gumi. Tapi, ia teringat dengan mimpinya juga. Sebuah pikiran lain menyelanya, apakah itu betul? Memikirkannya, Rin jadi gelisah dan merasa sangat bersalah. Ia agak takut kalau dihantui Gumi atau Neru. Rin berusaha menyingkirkan pikirannya itu.
"Ehm, aku pulang dulu, ya," kata Rin memecah keheningan diantara mereka.
"Eh, oh, aku juga," kata Miku dan Luka bersamaan.
Meiko dan Kaito mengangguk. Mereka berdiri, tanda mau pulang. Rin menarik Len. "Ayo, Len."
Setelah membayar (tentulah, mau diteriakin maling?), mereka pulang ke rumah masing-masing. Selama perjalanan, Rin diam saja. Hal itu tentulah membuat Len bingung. Rin, Rin, ada apa denganmu? batin Len.
- Rin PoV-
Len memandangiku dengan sangat aneh. Apa dia heran dengan sikapku? Ah, kalau begitu, aku harus bersikap biasa saja agar dia tak curiga,pikirku.
"Ehm, Len! Nanti aku akan memasak sashimi untukmu!" kataku dengan nada riang.
"Sashimi? Bukankah masih ada pizza yang dipesan semalam?"
Ah, salah, aku malah membuatnya makin curiga. Oke, step two. "Hem, kalau begitu, nanti kita main ke rumah Miku, yuk?" ajakku.
"Boleh juga," Len mengiyakan. Aha, berhasil! sorakku dalam hati.
Makan siang begitu sepi. Len tidak bicara. Begitu pula aku. Sementara Ayah dan Ibu tentu belum pulang dari pekerjaannya.
"Rin," ucap Len pelan.
"Ya, Len?" tanyaku heran, karena nada bicara Len cukup 'aneh'.
"Mana baju seragammu?"
Glek! Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan Len. Len memandangku dengan mata birunya yang tajam. Menantikan jawaban dariku. "Err... Itu..." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, berusaha mencari jawaban.
KRIIIINGGG! Telepon tiba-tiba berbunyi. Len beranjak, lalu mengangkat telepon itu. "Ya, Kagamine disini," ucap Len.
Orang diseberang menjawab. Aku tak tahu ia bicara apa. Yang jelas, wajah Len jadi memucat dan panik. "Y-Ya, saya dan kakak saya akan segera ke sana. T-terima kasih." Len menutup telepon. Ia menatapku dengan sangat tajam.
"Rin, jawablah," ucapnya pelan. "Jawablah, kenapa ada seragam dan kartu pelajarmu di gudang yang menyimpan mayat Akita Neru yang terpotong-potong?"
#Bersambung
- Normal PoV-
"Rin dan Neru lama sekali," celetuk Miku.
"Mungkin mereka membicarakan banyak hal," komentar Luka.
Ketika Miku akan berbicara, tiba-tiba saja Rin datang. Bajunya sudah berganti. Tadinya seragam, menjadi T-Shirt kuning yang agak kotor, dan rok hitam. Len mengernyit. Itu bukan pakaian Rin, batin Len.
"Rin! Kau datang juga!" seru Miku.
"Kok bajumu ganti, Rin?" tanya Luka heran.
Rin nyengir. "Tadi aku terpeleset ke lumpur. Dan jadinya baju seragamku kotor. Jadi, aku ke rumah dulu ganti baju. Hehe, maaf lama ya..."
Len mengernyit. "Aku tidak pernah melihat baju itu, Rin. Itu bukan bajumu, kan?"
"Enak saja! Ini bajuku, hanya saja jarang dipakai," kata Rin.
"Oh, gitu," tanggap Len singkat, masih heran dengan sikap saudari kembarnya itu.
"Ngomong-ngomong, mana Neru?" tanya Kaito yang sedari tadi diam saja.
Wajah Rin menjadi pucat. "Err, itu, itu, Neru tadi... Pulang! Yap, pulang ke rumahnya," jawab Rin sambil berusaha tersenyum.
"Yah, kenapa enggak ikutan ke cafe lagi? Malah langsung pulang," gerutu Miku.
Rin tertawa dipaksakan. "I-Iya."
"Ini orange parfait-mu, Rin. Kesukaanmu, kan?" Len menyodorkan segelas orange parfait pada Rin.
Mata Rin langsung membelalak. "Orange parfait! Kesukaanku!"
Rin, langsung melahap orange parfait itu dengan lahap. Tidak sampai lima menit! Semua tertawa melihat tingkah Rin.
"Kau ini, suka sekali orange parfait!" komentar Meiko sambil tertawa. Dia memegang... Ehm, sake. Untungnya sake beralkohol rendah, tak begitu berakibat fatal.
"Daripada kau, Meiko. Sukanya sake," balas Rin sambil mencibir.
"Eh! Panggil aku Meiko-senpai! Aku kan lebih tua darimu!" canda Meiko.
"Baik, Sen... Uwwehh, aku tak sanggup memanggilmu senpai." Kali ini Rin yang bercanda. "Senpai kok, suka minum sake."
Meiko cemberut karena disindir-sindir kesukaannya suka minum sake. Untungnya ia tak ketahuan guru. Bisa-bisa di hukum.
"Jus wortel memang enak, ya," kata Miku sambil meminum jus wortel dicampur negi. Ups, memangnya enak? Tanyakan saja pada Miku. "Aku jadi ingat Gumi, yang suka sekali wortel."
Semua jadi terdiam. Mereka tertawa-tawa, setelah sahabat mereka meninggal? Uh, rasanya bersalah sekali.
"Ah, aku merasa bersalah mengatakan begitu," ratap Miku.
"Kalau aku merasa bersalah pada Gumi. Entah apa dia sekarang, sementara kita tertawa-tawa," ujar Meiko.
"Kira-kira, keluarga Megpoid sudah tahu belum, ya?" tanya Kaito.
Semua menggeleng. Mereka diam, teringat kenangan-kenangan bersama Gumi. Namun, Rin memikirkan hal berbeda. Ketika ia membunuh Gumi. Wajah Gumi begitu ketakutan. Untungnya, Rin tidak membunuh Gumi seperti ia membunuh Neru.
Diam-diam, Rin merasa 'agak' bersalah telah membunuh Gumi. Tapi, ia teringat dengan mimpinya juga. Sebuah pikiran lain menyelanya, apakah itu betul? Memikirkannya, Rin jadi gelisah dan merasa sangat bersalah. Ia agak takut kalau dihantui Gumi atau Neru. Rin berusaha menyingkirkan pikirannya itu.
"Ehm, aku pulang dulu, ya," kata Rin memecah keheningan diantara mereka.
"Eh, oh, aku juga," kata Miku dan Luka bersamaan.
Meiko dan Kaito mengangguk. Mereka berdiri, tanda mau pulang. Rin menarik Len. "Ayo, Len."
Setelah membayar (tentulah, mau diteriakin maling?), mereka pulang ke rumah masing-masing. Selama perjalanan, Rin diam saja. Hal itu tentulah membuat Len bingung. Rin, Rin, ada apa denganmu? batin Len.
- Rin PoV-
Len memandangiku dengan sangat aneh. Apa dia heran dengan sikapku? Ah, kalau begitu, aku harus bersikap biasa saja agar dia tak curiga,pikirku.
"Ehm, Len! Nanti aku akan memasak sashimi untukmu!" kataku dengan nada riang.
"Sashimi? Bukankah masih ada pizza yang dipesan semalam?"
Ah, salah, aku malah membuatnya makin curiga. Oke, step two. "Hem, kalau begitu, nanti kita main ke rumah Miku, yuk?" ajakku.
"Boleh juga," Len mengiyakan. Aha, berhasil! sorakku dalam hati.
Makan siang begitu sepi. Len tidak bicara. Begitu pula aku. Sementara Ayah dan Ibu tentu belum pulang dari pekerjaannya.
"Rin," ucap Len pelan.
"Ya, Len?" tanyaku heran, karena nada bicara Len cukup 'aneh'.
"Mana baju seragammu?"
Glek! Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan Len. Len memandangku dengan mata birunya yang tajam. Menantikan jawaban dariku. "Err... Itu..." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, berusaha mencari jawaban.
KRIIIINGGG! Telepon tiba-tiba berbunyi. Len beranjak, lalu mengangkat telepon itu. "Ya, Kagamine disini," ucap Len.
Orang diseberang menjawab. Aku tak tahu ia bicara apa. Yang jelas, wajah Len jadi memucat dan panik. "Y-Ya, saya dan kakak saya akan segera ke sana. T-terima kasih." Len menutup telepon. Ia menatapku dengan sangat tajam.
"Rin, jawablah," ucapnya pelan. "Jawablah, kenapa ada seragam dan kartu pelajarmu di gudang yang menyimpan mayat Akita Neru yang terpotong-potong?"
#Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar