Jumat, 08 Maret 2013

Detik demi Detik Ini (1)

By : Titania N.

Detik demi detik telah kulalui. Setiap hembusan napas begitu kuhargai. Bersyukur bahwa aku masih hidup, dan masih bisa menikmati kenikmatan yang diberi oleh-Nya. Juga bersyukur masih bisa shalat dan puasa, meski ragaku tak sempurna.

Aku menatap kakiku yang terbalut manis gips, dan terbaring lemah di kursi roda. Aku menghela napas. Begitu sulit melupakan kejadian setahun lalu yang menyebabkan aku begini. Lumpuh, dan harus kehilangan mata kananku. Serta kehilangan orang tua dan satu saudara perempuanku.

Aku masih ingat sekali, kecelakaan mobil di jalan Melati itu. Di hari ulang tahunku yang kesebelas, tanggal 31 Januari 2011...

31 Januari 2011

"Selamat ulang tahun, Allie!" ucap orang tuaku, juga Siera dan Aleyna, dua saudara perempuanku.
Aku tersenyum bahagia. Bergantian, orang tuaku, Siera, dan Aleyna menyalamiku dan memberiku kado.
"Semoga kau tambah pintar, ya, Nak!" kata Ayah sembari memelukku.
"Dan tambah patuh sama orang tua!" tambah Ibu sambil mencium pipiku.
"Juga, biar tambah pinter dan panjang umur!" lanjut Siera dan Aleyna bersamaan.
"Terima kasih, Ayah, Ibu! Terima kasih, adik-adikku yang manis!" ucapku gembira.
"Allie, karena ini hari ulang tahunmu, Ayah dan Ibu ingin mengajakmu makan di restoran 21'S. Apa kau mau?" tanya Ayah.
"Tentu!" jawabku.
"Kalau begitu, cepat ganti bajumu. Kita akan cepat berangkat," kata Ibu.
Aku mengangguk, lalu berjalan ke kamarku dan mengganti bajuku. Dress hitam selutut, stoking hitam, sepatu mary jane hitam, dan bando hitam. Tak begitu mencolok, bukan? Aku segera keluar kamar.
"Wah, Kakak cantik banget!" puji Aleyna.
"Iya! Kayak putri raja!" Siera ikut memuji.
"Kamu memang cantik, Sayang. Sekarang, yuk, kita ke mobil Ayah untuk berangkat," ajak Ibu.
Kami bertiga mengangguk, lalu berjalan keluar dan naik ke mobil silver ayah.
***
Restoran 21'S sudah terlihat di depan mata. Hanya tinggal menyeberang. Ayah membelokkan mobilnya untuk menyebrang. Sebuah truk melaju kencang tanpa arah dan menabrak mobil kami.
"AAAA!!" Terdengar teriakan. Entah teriakan siapa, karena aku lemas.
Mobil kami hancur, penyok. Kakiku tertimpa salah satu bagian truk yang berat. Aku cuma bisa merintih pelan, karena sudah lemah sekali, dan saat melihat ke atas, kaca mobil yang tidak begitu besar jatuh dan menyobek mata kananku....
***
Aku terbangun di rumah sakit, melihat dengan mata kiriku. Kakiku diperban dan di gips, kepalaku diperban, mata kananku juga. Beberapa bagian di tanganku diperban dan tangan kiriku di gips.
"Uh..." rintihku. Aku memandang ke sekeliling. Ada empat ranjang lainnya. Di situ terbaring Ayah, Ibu, Siera, dan Aleyna. Seorang dokter masuk bersama dua orang suster.
"Dokter, anak yang bernama Allison sudah siuman," kata suster berambut pendek.
Dokter itu menoleh padaku. Ia menatapku dengan nanar.
"Dokter, apa yang terjadi?" tanyaku.
"Keluargamu mengalami kecelakan," jawab Dokter. "Maafkan aku, tapi, kau kehilangan mata kananmu. Juga, kakimu lumpuh seumur hidup. Tangan kirimu patah, tapi pasti bisa pulih."
"Lalu, bagaimana dengan orang tuaku? Juga saudaraku?" tanyaku lagi, harap-harap cemas.
 Wajah Dokter menjadi sedih. "Maafkan saya sebelumnya. Aleyna koma, sedangkan orang tua dan Siera... Sudah meninggal."
 Perkataannya barusan bagaikan petir di siang bolong.
"Apa?! Dokter jangan bercanda! Jika Ayah dan saudaraku sudah meninggal, kenapa mereka masih di sini, bukan di ruang mayat?! Itu berarti mereka masih hidup!"
"Saya belum memindahkan, karena tak mau membuat Anda terpukul," jelas Dokter.
"Tidak! Ini pasti mimpi! INI BUKAN KENYATAAN!!!!"
***

*flashback end
Begitulah, kecelakaan itu. Sekarang, aku tinggal di rumah paman dan bibiku bersama Aleyna. Aleyna sangat, sangat terpukul dengan kejadian itu. Mentalnya menjadi terganggu. Kadang, ia suka menangis atau tertawa sendiri, atau kadang menjerit-jerit.
Aku tak begitu bisa banyak membantu, karena kondisiku sendiri. Paman dan bibiku, tak begitu memperhatikan kami berdua. Alasan mereka, mereka punya dua orang anak yang harus lebih diperhatikan. Aku hanya bisa menerima, karena tak punya tempat tinggal.
"Ayah! Ibu! Siera!" Aleyna menjerit dari kamarnya, yang kamarku juga.
"Aleyna!" pekikku, sambil mendorong kursi rodaku ke kamar.
Aku membuka pintu kamarku, dan nyaris pingsan melihat Aleyna.

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar