Aku dan Alice tercengang. Di mana gadis berkursi roda yang tadi? Jessica tertawa. "Kalian pasti salah lihat," ucapnya.
"Enggak! Aku beneran lihat, kok!" Alice bersikeras.
"Aku
 juga! Gadis itu berambut pirang, bermata hijau, duduk di kursi ro-" 
Ucapanku terputus karena Alice mengguncangkan pundakku untuk diam.
Jessica geleng-geleng kepala. "Kalian pasti 
berhalusinasi."
Aku
 terdiam. Aku jelas tidak merasa berhalunisasi. Gadis itu terlihat 
begitu nyata. Sekalipun ya aku berhalusinasi, kenapa Alice juga 
melihatnya?
"Alice, tadi itu halusinasi atau betulan, ya?" tanyaku pada Alice.
"Sudah, ah. Lupakan saja," kata Alice. "Kita harus memikirkan soal berkemah minggu depan."
Aku
 mengangguk walaupun masih bingung. Bingung, sangat bingung. Ah, tapi, 
aku tidak boleh memikirkannya lama-lama. Sekarang, aku harus memikirkan 
soal perkemahan minggu depan..
***
Tak terasa 1 minggu 
berlalu begitu cepatnya. Dan sekarang, tibalah hari yang di tunggu itu. 
Berkemah! Yeay! Aku sudah mempersiapkan semuanya sebaik mungkin. Topi 
pramuka, dasi, tali, tongkat, pisau kecil, serta berbagai atribut yang 
sudah terpasang lengkap di seragam cokelatku.
Acaranya di adakan 
mulai jam 5 sore, berkumpul di sekolah. Sekarang, masing jam 4 sore 
lewat empat puluh menit. Meski begitu, aku sudah bersiap-siap untuk 
berangkat. Alice sudah menyamperku. Dan sekarang, dia ada di ruang tamu.
"Cathryn! Alice sudah menunggu lama, cepat sedikit!" seru Hanna, kakakku.
"Iya!! Sebentar!!" balasku sambil menguncir rambutku. Aku segera menyambar tongkat dan tasku, lalu berlari ke ruang tamu.
Alice sedang duduk tak tenang di sofa bersama Hanna.
"Alice!" panggilku.
"Lama sekali!" komentar Alice.
"Maaf," Aku nyengir.
"Ya, nggak apa-apa. Yuk, berangkat," ajak Alice.
Aku mengangguk.
"Hanna, aku berangkat dulu, ya!" pamitku pada Hanna.
"Ya!" sahut Hanna pendek.
Aku dan Alice segera berlari ke sekolah.
***
"Hei! Itu dia mereka!" seru Jessica begitu aku dan Alice menjejakkan kaki kami di lapangan sekolah.
Aku dan Alice segera berlari ke barisan regu kami.
"Jadi, semuanya sudah kumpul, ya!" kata Jessica.
Anggota
 reguku adalah aku, Alice, Jessica, Elysia, Zara, dan Connie. Ketuanya 
adalah Jessica, wakilnya Zara, sekretarisnya Alice, dan bendaharanya 
aku. Sebetulnya, aku ingin sekali menjadi ketua regu. Tapi, apa daya, 
aku cuma terpilih jadi bendahara.
"Sekarang jam berapa?" tanya Alice.
Elysia melirik jam tangan digitalnya. "Jam empat lewat lima puluh delapan menit. Itu artinya, sebentar lagi!" pekik Elysia.
"Yeah!" seruku gembira.
Rasanya
 senyumku lebar sekali sekarang. Aku memperhatikan anggota reguku. 
Alice,  Jessica, Elysia, sedang mengobrol. Zara, sedang menulis sesuatu.
 Connie, sedang menyanyi pelan.
Dan... Gadis itu lagi!
Mataku
 menangkap sesuatu yang ganjil. Ada gadis itu. Gadis yang kemarin. Gadis
 yang kemarin duduk di kursi roda. Namun, sekarang, gadis itu tidak 
duduk di kursi roda.
Ia sedang...
Duduk di samping Alice!
Matanya
 yang hijau sendu menatap Alice. Di bibirnya, tersungging senyuman 
sendu. Alice sepertinya sama sekali tidak menyadarinya.
Atau
Alice tidak melihat gadis itu?
"A-Alice!" panggilku tercekat.
Alice
 sepertinya tidak mendengar. Ia tetap tertawa bersama Elysia. Tak sadar 
gadis itu ada di sampingnya. Perlahan, gadis itu menoleh ke arahku. 
Matanya yang hijau menatapku sendu. Dengan tatapan yang begitu sedih. 
Tubuhku seakan beku, tak bisa bergerak. Hanya bisa mematung dan menatap 
wajah gadis itu.
"To-Tolong!" seruku sambil berusaha meronta.
Namun, tak ada. TAK ADA YANG MENDENGAR. Seolah-olah aku tak ada di antara mereka.
"Jangan..." desah gadis itu lirih.
"A-Apa?" tanyaku takut.
"Jangan... Cepat... Sebelum terlambat... Cepat... Pergi... Pergi..."
Ucapan
 gadis itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku menutup telingaku. 
Berusaha tidak mendengar suara gadis itu. Namun percuma saja. Suaranya 
terus terdengar.
"Tidak! Pergi!" jeritku.
Pandanganku 
tiba-tiba menjadi kabur. Meski begitu, suara gadis itu tetap terdengar. 
Di antara samar-samar suara gadis itu, terdengar suara teman-temanku 
memanggil namaku.
"Cathryn! Cathryn!"
Plak! Plak! Dua 
tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tersadar. Semua menjadi terang 
kembali. Dan sekarang, Alice serta teman-temanku dan Miss Elisa ada di 
depanku.
"Cathryn! Akhirnya kau sadar juga!" pekik Alice gembira.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Kau tadi pingsan. Sebelum pingsan, kau menjerit keras," jelas Alice.
"Apa yang membuatmu pingsan, Cath?" tanya Miss Elisa.
"Aku...
 Rasanya, ada seorang gadis di samping Alice. Dia... Dia mengatakan 
jangan, cepat, sebelum terlambat, dan pergi. Gadis itu... Gadis itu yang
 kita lihat kemarin, Al!" jawabku sambil mengguncang pundak Alice.
Alice terbelalak. "Hei, Cathryn! Coba tenang dulu!" Miss Elisa menenangkanku.
Aku berusaha tenang. Miss Elisa menyodorkanku segelas air mineral. Aku meminumnya sampai tandas.
"Coba ceritakan ulang dengan tenang," perintah Miss Elisa.
"Iya,
 seperti yang ku bilang tadi. Aku melihat seorang gadis di samping 
Alice. Gadis itu berambut pirang dan bermata hijau. Aku melihatnya 
kemarin, dia berkursi roda. Lalu, tadi, saat dia menatapku, rasanya aku 
nyaris tidak bisa bergerak. Dan, dia bilang begitu," ceritaku.
Miss Elisa tampak sangat kaget. Namun, ia berusaha menyembunyikan kekagetannya itu. "Kau yakin itu bukan halusinasi?"
Aku menggeleng. "Tidak. Semua... Terasa begitu nyata."
"Gadis? Di sampingku?" sela Alice heran. "Yang ada hanya Jessica dan Elysia."
"Aku tahu. Maksudku, gadis yang kita lihat kemarin, Al," ujarku.
"Tidak ada!" Alice bersikeras.
"Sudahlah!" lerai Miss Elisa. "Kita akan segera berangkat ke Strought Forest. Cathryn, kau ikut atau tidak?"
"Ikut!" seruku.
"Ya sudah. Asal kau tidak kelelahan," Miss Elisa berlalu ke regu tim lain untuk memberi komando.
Aku menghela napas.
"Kau bodoh,"
Aku
 terkejut. Lalu menoleh ke samping. Tidak ada siapapun. Semua 
teman-temanku sekarang sedang berada di depanku. Siapa suara tadi?
#Bersambung