Sabtu, 01 Juni 2013

A Promise (1)

A Promise by Kusanagi Mikan
Vocaloid by Yamaha and Crypton FM
Warning : Aneh, typo, gaje, de-el-el
Chapter 1

- Normal PoV -

Seorang lelaki berambut honey blonde sedang termenung sendirian di kamarnya. Matanya yang aquamarine menerawang. Menatap langit yang biru di hiasi awan putih.
Tok..Tok..Tok..
"Tuan Muda, sarapan sudah siap." Seorang maid dengan name tag bernama 'Yowane Haku' membuka pintu kamar lelaki itu. Agak tidak sopan memang, namun lelaki yang bernama Len itu tak akan pernah menjawab ketika orang mengetuk pintu kamarnya yang tak pernah di kunci itu.
Haku menaruh sarapan Len di meja yang ada di samping Len. Len bersikap acuh tak acuh, masih menatap langit. Wajahnya pucat, sangat berbeda dengan foto yang tergantung di dinding kamarnya. Di foto itu, Len terlihat begitu cerah dan berseri-seri. Sekarang, Len tampak seperti mayat hidup.
"Saya permisi, Tuan Muda," pamit Haku sopan. Lagi, Len tidak menjawab. Haku hanya bisa menghela napas pelan, kemudian pergi dan menutup pintu kamar Len.
Di kamar Len, kini hanya dia sendiri. Hanya sendiri. Seulas senyum pahit terukir di wajah Len.
"Tenanglah, Rin. Aku akan menyusulmu. Aku akan menepati janjiku padamu yang kubuat setahun lalu."
Flashback
Len berlari-lari kecil ke bukit dekat sekolahnya. Seharusnya sekarang masih jam pelajaran olahraga, namun Len berhasil kabur. Alasannya bukan karena ia bosan. Tapi karena Len mendengar suara nyanyian seorang gadis. Entah kenapa, nyanyian itu sangat menarik perhatiannya.
"Ah..." gumam Len begitu melihat seorang gadis berambut honey blonde sepertinya sedang menyanyi. Suaranya indah, namun terdengar sedih. Gadis itu sepertinya tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia terus saja menyanyi.
Selesai menyanyikan sebuah lagu, Len langsung bertepuk tangan kagum. Suara gadis itu seperti menyihir dirinya.
"Suaramu bagus!" puji Len tulus. Jarang-jarang Len memuji orang. Len termasuk orang yang dingin, walau begitu fangirl-nya banyak.
Gadis itu tersadar dan menatap Len. Rona merah menghiasi wajahnya. Sepertinya ia malu ada orang yang memergokinya sedang menyanyi.
"Terima kasih," ucapnya malu-malu. "Uhm... Kamu murid sekolah, kan? Kenapa di jam seperti ini ada di bukit?" tanya gadis itu.
"Aku bolos karena penasaran mendengar nyanyianmu," jawab Len, membuat gadis itu semakin merona.
"Ah... Tapi itu tidak baik.. Ng, siapa namamu?"
"Len. Kau sendiri?" balas Len.
"Rin. Mikagane Rin," jawab gadis itu yang ternyata namanya Rin.
Len berjalan mendekati Rin, memperhatikan gadis itu dari atas ke bawah. 'Sepertinya seumuran denganku,' pikir Len. 'Kenapa dia tidak sekolah?'
"Kau tidak sekolah?" tanya Len.
"Aku ingin," jawab Rin. Raut wajahnya berubah menjadi sedih. "Tapi aku tidak bisa."
Len mengernyit heran. Ia ingin bertanya lebih lanjut pada Rin, namun merasa tak enak. Masa baru kenal sudah banyak tanya, coba?
Rin berbaring di rumput-rumput bukit yang basah. Dia tidak peduli gaun putihnya ternodai tanah.
"Lihatlah langit ini, Len," ucapnya. "Begitu indah, luas... Membuat tentram saat melihatnya."
Len mengernyit dan menatap langit. Tidak ada yang istimewa bagi Len. Hanya sebuah karpet biru di hiasi awan-awan putih. Bagi Len, itu biasa saja. Kenapa gadis ini mengatakan melihatnya membuat tentram?
"Aku tak mengerti maksudmu," komentar Len.
"Makanya, berbaringlah, Len!" Rin menarik Len hingga lelaki itu terjatuh di rerumputan.
"Ugh, seragamku kotor nanti!" keluh Len, berusaha untuk bangun.
"Jangan, katanya kau tidak mengerti indahnya langit? Makanya ayo berbaring," bujuk Rin.
Len mengalah. Ia berbaring dan menatap langit. Langit yang luas, berwarna biru indah di hiasi awan putih. Walau tidak selamanya berwarna biru.
"Kau tahu, kenapa aku begitu suka langit, Len?" tanya Rin.
Len melirik Rin. "Tidak. Memangnya kenapa?"
Rin tersenyum riang. "Karena, aku akan tinggal di sana nanti!"
Len mengernyit heran. Ia sama sekali tak mengerti dengan perkataan Rin. Rin menatap Len yang memasang raut wajah tidak mengerti.
"Uhh, Len ini masa tidak mengerti, sih?" gerutu Rin.
"Nggak, soalnya kata-katamu aneh!" jawab Len.
"Huu! Menyebalkan! Sudah sana, balik ke sekolah!" usir Rin.
"Nggak usah di usir aku juga balik!" gerutu Len pelan, kemudian berjalan ke sekolahnya.
Len menghela napas. Dia tidak pernah bertemu gadis seunik Rin. Baru pertama bertemu, tiba-tiba saja sudah akrab. Huft...
Tapi, Len merasa senang. Senang, sangat senang. Sikap Rin yang kadang aneh, dan kata-katanya yang sulit di mengerti. Wajah sedih yang kadang berubah menjadi wajah riang.
"KAGAMINE LEN!"
Len tersentak dari lamunannya. Ternyata, ia sudah sampai sekolah, toh. Dan sekarang, guru olahraga, Leon-sensei meneriakinya karena meninggalkan pelajaran olahraga tanpa izin. Walau nggak sepenuhnya, sih.
"Kau kemana saja tadi! Pergi meninggalkan pelajaran tanpa bilang-bilang!" omel Leon-sensei.
"Gomen, Sensei. Tadi aku, cuma cari angin segar aja," Len cengar-cengir. Dasar, lagi di omelin bisa-bisanya cengar-cengir.
"Len jangan di hukum, Sensei!"
"Sensei, Len nggak salah!"
"Sensei, bebasin Len!"
Teriakan-teriakan fangirl Len yang meminta Len tidak usah di hukum, membuat Leon-sensei pusing. 'Susahnya marahin murid yang punya segudang fangirl,' batin Leon-sensei.
"Ya sudah! Untuk kali ini, kamu nggak di hukum, asal jangan di ulangi lagi! Sekarang, kau kembali ke barisan!" perintah Leon-sensei.
"Terima kasih, Sensei," senyum Len, membuat fangirl-nya berteriak-teriak histeris.
Len kembali ke barisannya. Piko, sahabat Len, berdecak-decak.
"Kau kemana saja, Len?" tanya Piko.
"Ke bukit," jawab Len.
"Kau membuatku, susah, tahu!" omel Piko. "Selama kau pergi, fangirl-fangirlmu terus menanyaiku karena aku dekat denganmu. 'Dimana Len?' Mereka menanyakan itu berulang kali! Kubilang aku tidak tahu, dan mereka terus menanyaiku! Bahkan ada yang bilang aku sahabat yang tidak baik! Untuk saja Miki membelaku tadi," celoteh Piko.
Len nyengir. "Gomen, Piko. Ahaha~ Harusnya aku pergi lebih lama lagi biar kau di siksa oleh fangirl-fangirlku~"
"Kau sahabat yang baik, Len..." gerutu Piko pelan.
Pelajaran olahraga selesai. Sebentar? Tentu, tadi kan Len bolos. Walau nggak bolos sepenuhnya, sih. Semua murid kelas 3 (SMP) yang tadi berolahraga segera berganti baju di ruang ganti.
~Skip sampe pulang sekolah, Mikan males ngetik *digampar~
Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid di kelas 3-1 (kelasnya Len) segera membereskan barang mereka dan cepat-cepat pulang. Namun, kali ini tidak dengan Len. Ia ingin pergi ke bukit lagi. Siapa tahu saja, Rin masih ada di bukit. Yup, Len ingin bertemu lagi dengan Rin.
"Hei Len, maaf ya hari ini aku nggak bisa pulang bareng," sesal Piko. Di belakang Piko, ada Miki, pacarnya.
"Tidak apa-apa. Aku nggak mau mengganggu kencan kalian," Len nyengir, membuat Piko dan Miki blushing dengan kata-kata Len. "Lagipula... Aku nggak mau langsung pulang ke rumah."
"Memang kau mau kemana dulu?" tanya Piko.
"Himitsu~" jawab Len.
"Ugh, ya sudahlah, terserah kau saja. Aku dan Miki pulang dulu. Jaa~" pamit Piko. Ia menggandeng lengan Miki kemudian berjalan keluar kelas.
Len hanya tersenyum saja. Lelaki berambut honey blonde itu langsung berlari keluar kelas. Tujuannya, tentu bukit dekat sekolahnya, Voca High School.
"Hh... Hh... Sampai juga," Len terengah-engah begitu sampai bukit dekat sekolahnya. Tak jauh, memang. Tapi Len berlari, sehingga ia merasa lelah.
"Kau lagi?"
Len menoleh. Sesosok gadis berambut honey blonde sedang duduk di rerumputan dan menatapnya.
"Tentu! Kau tidak senang?" jawab Len.
"Hum... Lumayan."
JLEB! Jawaban Rin begitu menusuk Len.
"Hehe," Rin terkekeh. "Aku cuma bercanda."
Len bersungut-sungut kesal, namun ia beranjak duduk di samping Rin. "Rumahmu di sini, ya?"
"Enak saja!"
"Terus, kenapa kau di sini berjam-jam?" tuntut Len. "Dari pelajaran olahraga saat aku kabur tadi sampai sekarang, kan, sudah lama sekali."
Rin menarik dasi seragam Len, sehingga lelaki itu nyaris terjatuh. Wajah Len merona, karena jarak wajahnya dengan Rin dekat sekali.
"Kau mau tahu kenapa, Len?" Rin menatap Len dengan mata aquamarine-nya.
"I-Iya! Cepat katakan!" kata Len gugup.
"Itu karena, aku sedang kabur!" jawab Rin dan melepaskan dasi Len.
"Kabur?" ulang Len heran.
"Yup! Aku bosan di rumah. Aku ingin... Melihat dunia luar! Bebas, menari di atas rerumputan, menyenandungkan melodi-melodi indah sebagai penyejuk hati. Dan aku ingin punya teman! Bukan cuma kakak-kakakku yang overprotective itu! Dan sepertinya, hari ini aku beruntung, Len! Aku menemukan teman, yaitu kau! Dan aku menemukan tempat bagus, di bukit ini! Rerumputan, dan mudah melihat langit! Seperti yang selama ini aku inginkan!" celoteh Rin panjang lebar.
Len menatap Rin dengan tidak mengerti. Rin berwajah pucat, seperti mayat hidup. Namun senyum selalu terukir di wajahnya.
"Len, sekarang sudah jam berapa?" tanya Rin.
"Uhm.." Len melirik jam tangannya. "Jam dua siang."
"Oh!" pekik Rin. "Aku harus pulang sekarang! Rinto-nii pasti sudah khawatir sekali! Len, bisa antarkan aku pulang?" rajuk Rin.
"Eh? Pulang sendiri, dong!" tolak Len.
"Tidak mau," Rin menggeleng. "Len kan kesini, padahal bisa langsung pulang ke rumah. Nah, itu artinya Len mau mengantarku pulang!"
Len merengut kesal. "Memangnya kau tidak bisa pulang sendiri?"
"Rumahku jauh, dan aku lelah! Aku bisa pingsan di tengah jalan, apalagi mataharinya terik sekali!"
"Itu kan bukan masalahku," Len melengos, beranjak untuk pulang. Namun, sebuah tangan dingin mencengkram pergelangan tangannya.
"Nanti kalau aku pingsan, aku akan bilang ke Rinto-nii kalau Len yang salah!" ancam Rin.
'Gadis ini seenaknya saja,' batin Len kesal. Namun akhirnya ia mengangguk juga. Len penasaran dengan Rin. Rin bersorak gembira.
"Yeay! Arigatou, Len!" sorak Rin.
"Iya iya, ayo bangun, di mana rumahmu?" Len membantu Rin bangun. Tubuh Rin sangat ringan, juga dingin. Aneh. Itulah yang terpikir di pikiran Len saat itu.
"Hum... Di Mansion Mikagane! Aku lupa jalannya, tapi kata Rinto-nii itu alamatnya. Hanya itu yang ku ingat," jawab Rin.
Len tersentak. Ia baru teringat Mikagane adalah keluarga bangsawan. Mansion Mikagane sendiri, Len tahu letaknya di mana. Cukup jauh dari tempat itu.
"Ya aku tahu di mana Mansion Mikagane. Ayo jalan!" ajak Len.
Rin diam di tempat, menggeleng, kemudian ia jatuh terduduk. "Nggak bisa. Aku nggak kuat berjalan."
"Terus tadi kamu ke sini gimana caranya?!" tanya Len bingung.
"Tadi aku minta di antar kakak-kakak yang mau sekolah di SMA!" jawab Rin riang.
"Dasar kau ini. Ya sudah jadinya bagaimana nih?" Len bingung sendiri.
"Tentu saja gendong aku!" cetus Rin.
"APA?! AKU TIDAK MAU!" tolak Len.
Rin merengut kesal. "Kalau gitu, gimana caranya aku pulang?" protes Rin.
"Huh, kau ini bikin repot saja! Ya sudah, kugendong!" putus Len. Ia menggendong Rin di punggungnya, lalu mulai berjalan menapaki jalan.
Sepanjang jalan, Rin terus berceloteh dan bertanya ini itu pada Len. Len sendiri kadang ikut bertanya pada Rin. Tak terasa, mereka telah sampai di Mansion Mikagane.
"Nona Rin!" seru beberapa maid dan butler yang ada di halaman atau di depan gerbang.
Rin melambaikan tangan dan tersenyum. "Len, antar aku sampai dalam!"
"Enak saja memerintahku!" gerutu Len. Namun, dia turuti juga permintaan Rin untuk membawanya sampai masuk ke dalam. Maid-maid dan butler-butler menghampiri Rin dan menanyakan apa keadaannya baik-baik saja.
Seorang lelaki berambut seperti Rin dan memakai jepit putih berlari dari dalam rumah dan menghampiri Rin juga Len.
"Rin! Kau habis dari mana saja?! Dan siapa lelaki ini?!" tanya lelaki itu.
"Rinto-nii, Rin habis jalan-jalan ke bukit dekat sekolah. Terus, ketemu sama Len! Len baik deh, Rinto-nii!" cerita Rin.
"Uh, kau ini! Membuat panik saja! Len, terima kasih ya, sudah mengantarkan Rin sampai ke sini. Dan maaf jika Rin merepotkan," ucap Rinto.
"Iya, aku senang kok bertemu Rin," Len tersenyum.
Rin turun dari gendongan Len. "Pokoknya, besok Rin mau ke sekolah lagi!" tekad Rin. "Rin mau ketemu Len!"
"Tidak boleh, Rin," larang Rinto lembut. "Nantinya kau kecapekan."
Rin cemberut. "Tapi Rin mau melihat sekolah! Rin juga mau ketemu Len! Rin bosan tiap hari lihat Rinto-nii terus!"
Rinto langsung sweatdrop. 'Teganya adikku berkata begitu,' ratap Rinto di dalam hati.
"Rin, nanti kalau sakitmu kambuh lagi..."
"Biar! Biarin sakitnya kambuh lagi! Yang penting Rin bisa ketemu Len! Rin juga ingin punya teman..."
Rinto terdiam. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Uhm.. Baiklah. Tapi besok kau harus di temani Lily," Rinto menyebutkan nama salah satu maid.
Rin mengangguk setuju. "Tapi Rinto-nii harus janji!"
"Janji," Rinto mengangguk.
"Uhm, aku pulang dulu, ya," pamit Len.
"Ya, hati-hati. Mau di antar salah satu maid?" tawar Rinto.
Len menggeleng sambil tersenyum. "Tidak. Tidak perlu."
"Ya sudah. Hati-hati," pesan Rinto.
"Besok aku akan berkunjung ke sekolah Len!" kata Rin riang.
"Kutunggu!" Len berlalu sembari melambaikan tangannya. Lelaki itu kemudian berjalan pulang ke rumahnya, sambil terus tersenyum.
Dan tanpa sadar, pertemuan mereka berdua akan segera berakhir
Sungguh singkat dan tidak adil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar