Psychopath Life by Kusanagi Mikan
Vocaloid by Yamaha and Crypton FM
Warning : Gore. Typo bertebaran. Abal plus gaje. De-el-el
Chapter 1
- Rin PoV -
Aku
terus berlari menghindari polisi-polisi yang mengejarku. Entah berapa
kali mereka menembakkan pistol, namun tak ada satupun yang mengenaiku.
Aku tersenyum, tepatnya menyeringai. Polisi bodoh, mereka tak akan bisa
menangkapku!
Aku berlari menembus kegelapan, hingga sampai ke
sebuah toko kue. Aku mengetuknya dengan brutal, hingga pintu itu terbuka
menampilkan sosok wanita berambut panjang berwarna pirang.
"Rin! Ayo cepat masuk!" Wanita itu - Lily - menarikku masuk ke dalam toko kue dan menutup pintu.
Aku masuk, melepas jubah hitamku lalu melemparnya sembarang arah, dan duduk di salah satu kursi, kemudian menyambar sebuah
cupcakes jeruk dengan cepat. Lily menghela napas.
"Lagi-lagi, kau berkeliaran dan membuat polisi-polisi bodoh itu mengejarmu," keluh Lily. "Mereka tidak mengenalimu, kan?"
"Tidak," jawabku. "Aku selalu memakai jubahku. Lagipula, apa yang kau harapkan dari kegelapan malam?"
Lily kembali menghela napas. Wanita yang merupakan tanteku ini duduk disampingku, menungguku melahap
cupcakes jeruk hingga habis.
"Tenanglah, Lily-san," ucapku. "Aku berjanji tak akan melibatkanmu ke kepolisian. Yah, lagipula aku yang berulah, bukan kau."
Lily mendesah pelan. "Bisakah kau hentikan kegiatanmu, Rin? Itu... Bukan kegiatan yang bagus. Itu-"
"Hobiku," potongku sambil tersenyum.
"Uh, baiklah. Cepatlah tidur, Rin," perintah Lily. "Sudah hampir jam 12 malam. Besok kau sekolah, kan?"
"Ya ya," jawabku sembari berjalan ke kamarku.
Hai!
Perkenalkan, namaku Shirakawa Rin. Umurku 14 tahun, kelas 2 SMP di
Estonia Junior High School. Well, kalian pasti mengira aku adalah gadis
yang seperti gadis 'normal', iya kan?
Sayangnya, bukan!
Aku
adalah, pembunuh. Bukan bukan, bukan pembunuh bayaran. Aku tak mau
bekerja sebagai pembunuh bayaran. Aku adalah pembunuh, ya pembunuh!
Pembunuh yang membunuh karena hobi. Istilah kerennya, psikopat.
Orang
yang kubunuh, ya siapa saja, kecuali orang tua dan Lily, tanteku. Orang
tuaku sudah meninggal karena dibunuh seseorang ketika umurku... 8
tahun, mungkin? Entahlah, aku lupa.
Setelah itu, akhirnya aku
hidup bersama Lily, tanteku yang memiliki toko kue. Dan, mulai sejak itu
aku jadi suka membunuh. Orang yang pertama kali kubunuh adalah...
Guruku! Dia guru menyebalkan bernama Meito-sensei, yang kubunuh di hutan
dengan cara kumutilasi dan kepalanya kuhancurkan agar identitasnya
tidak diketahui. Dan para polisi bodoh itu, tidak berhasil memecahkan
kasusnya.
Haha, polisi memang bodoh!
Lily mengetahui hobi
membunuhku. Ia tidak pernah melaporkannya ke polisi. Hum, mungkin takut,
ya? Atau karena Lily sayang padaku? Entahlah, lagi.
Dan sampai
sekarang, identitasku tidak pernah terbongkar! Hal yang bagus, bukan?
Jika ada salah seorang yang mengetahuinya kecuali Lily, aku akan
langsung membunuhnya. Haha, aku sama sekali tidak peduli dengan nasib
mereka atau keluarga mereka. Yang penting aku puas, itu saja.
Egois, bukan?
Ya, psikopat memang egois.
Dan aku sendiri adalah seorang
atheis, walau Lily sendiri penganut agama Katholik. Aku tak tertarik pada agama. Aku lebih tertarik soal bunuh-membunuh.
Sekarang, aku ingin tidur dulu!
Ya,
oyasuminasai!
Pagi hari, jam setengah 6
Aku
terbangun di pagi hari, jam setengah 6. Tidurku hanya 5 jam setengah.
Tak bagus untuk anak sekolahan rata-rata, tapi bukan untuk psikopat
sepertiku.
Aku segera beranjak dari ranjangku dan mandi, kemudian
memakai seragam sekolahku, Estonia Junior High School. Seragam itu
berupa kemeja putih dilengkapi rompi coklat dan rok yang sewarna. Dan
dilengkapi pita merah marun di bagian atasan.
Sempurna.
Selesai memakainya, aku mengambil tas kuningku kemudian berjalan ke dapur. Bisa kulihat Lily sedang membuat kue-kue.
"
Ohayou, Lily-san," sapaku.
Lily menoleh. "Ah,
ohayou mo. Rin, boleh bantu aku menata kue-kue itu?" Lily menunjuk sebuah nampan berisi kue-kue buah.
"Tentu!"
jawabku bersemangat. Aku mengambil nampan itu dan berjalan ke ruang
depan, alias toko kue milik Lily. Dengan cekatan, aku menata kue-kue itu
di rak.
Lily kemudian menyuruhku menata kue lagi. Aku
mengerjakannya dengan senang hati. Yup, ini adalah salah satu hobiku
selain membunuh. Menata kue-kue manis itu, betapa senangnya!
"Sudah selesai, Rin?" tanya Lily.
"Sudah!" jawabku sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum.
"Sudah jam setengah tujuh. Kamu mau berangkat sekolah, kan? Bawalah satu kue yang kau suka," perintah Lily.
"
Arigatou, Lily-san!" ucapku bersemangat, dan mengambil sebuah
cupcakes jeruk ukuran sedang.
Bisalah mengenyangkanku nanti.
"
Douita," balas Lily sambil tersenyum.
Aku memasukkan
cupcakes jeruk
itu ke kotak bekalku yang sudah kusiapkan (Mikan : emang muat, ya?.
Readers : Berisik kau! Lanjut saja ceritanya!. Mikan : *pundung*).
"
Ittekimasu, Lily-san!" Aku melambaikan tangan, mulai berjalan keluar rumah Lily sekaligus toko kue.
"
Itterashai," balas Lily sembari masuk ke dalam. Aku hanya tersenyum, dan melanjutkan perjalananku ke sekolah.
Sebetulnya,
aku datang ke sekolah terlalu pagi karena sekolah dimulai jam delapan.
Tapi, siapa peduli? Aku lebih suka berangkat pagi-pagi, udaranya lebih
segar dan aku bisa bersantai dulu di sekolah. Ah, aku tersenyum begitu
melihat seorang gadis berambut merah. Itu temanku, Furukawa Miki.
"
Ohayou, Rin-chan!" sapa Miki.
"
Ohayou mo, Miki," balasku.
Miki
menghampiriku, dan kami berjalan ke sekolah bersama. Miki tak begitu
banyak bicara, karena sikapnya pada dasarnya memang pendiam. Ini yang
menyebabkan aku senang berteman dengan Miki. Tidak banyak tanya.
Sekolah
kami akhirnya terlihat. Estonia Junior High School. Sekolah ini bercat
biru, oranye, dan hijau. Sayang tidak ada warna kuning.
Aku dan
Miki satu kelas, 2-3. Kelas kami ada di lantai dua. Aku dan Miki segera
menaiki tangga. Baru sampai di kelas, suasana ribut langsung menyambut
kami.
"Betul, lho! Semalam, Yowane Hakuo dibunuh seseorang! Aku melihatnya di televisi tadi pagi!" seru Miku heboh.
"Aku
juga lihat. Katanya polisi belum menemukan pelakunya. Tapi polisi
meyakini, pelakunya sama seperti pelaku pembunuhan-pembunuhan
sebelumnya," timpal Mikuo.
"Ada apa?" Suara halus Miki menghentikkan teriakan-teriakan heboh dari Hatsune bersaudara ini.
"Itu! Kau lihat televisi, tidak? Ada orang dibunuh semalam! Yowane Hakuo, saudara Yowane Haku!" jawab Miku.
Aku tersenyum tipis. Yowane Hakuo, dia orang yang kubunuh semalam. Saudara dari senpaiku, Yowane Haku.
"Dibunuh?" ulangku, pura-pura kaget. Ini biasa. Aku harus berakting kaget agar tidak dicurigai.
Miku mengangguk. "Iya! Aku heran, pembunuhannya seperti pembunuhan berantai!"
"Menyeramkan."
Aku bergidik ngeri, walau dalam hati aku tertawa terbahak-bahak.
Menertawai diriku yang bergidik ngeri, padahal aku sendiri pelakunya.
Hahaha!
Aku berjalan ke tempat dudukku yang berada di pojok kelas.
Aku tak mempunyai teman sebangku, karena menurutku lebih menyenangkan
duduk sendiri. Lebih bebas merenung. Bebas.
Bel
masuk telah berbunyi 10 menit lalu, dan sekarang guru yang mengajar
adalah guru yang paling kubenci, Sonika. Dia menyebalkan!
"Jadi..." Guru berambut hijau itu terus menerangkan. Membosankan.
"Hoahm..." Tanpa sadar, aku menguap bosan.
"SHIRAKAWA-SAN!" hardik Sonika-sensei padaku.
"I-Iya sensei?" tanyaku gugup.
"Perhatikan pelajaran! Dan jangan menguap! Berani sekali kau menguap saat pelajaranku!" omel Sonika-sensei.
'Berani
sekali kau menghardikku,' batinku dalam hati. Namun aku berpura-pura
ketakutan. Lagipula, aku akan membunuhnya malam ini. Pasti.
"Baik, sensei," ucapku pelan. Sonika-sensei mengangguk puas, kemudian menerangkan lagi.
Seukir seringaian tercipta di wajahku. Aku sudah menentukan targetku, Sonika. Ya, tunggu saja sampai aku membunuhmu, Sonika!
"Jadi
cara-" KRIIIINGGG! Ucapan Sonika terputus oleh bel istirahat. "Silahkan
istirahat," ucap Sonika-sensei dingin, lalu pergi keluar kelas. Cih,
Sonika-sensei memang seperti itu. Seperti tidak punya sopan santun.
"Rin!" Miki melambai padaku. "Ayo kita ke kantin!" ajaknya.
"Ya ya," Aku mengangguk. Setelah membereskan barangku, aku menghampiri Miki dan pergi ke kantin bersamanya.
"Duh, gimana nih, Rin? Nggak ada meja yang kosong," keluh Miki.
"Menyebalkan," gerutuku sambil mencengkram kotak bekalku erat. Mataku mencari-cari tempat kosong.
"Ah, disana, Rin. Lihat, cowok itu melambaikan tangan pada kita," kata Miki sambil menunjuk.
Aku
melihat arah yang ditunjuk Miki. Di sudut, ada tempat yang baru diisi
satu orang. Ya, diisi lelaki yang melambaikan tangan itu!
"Ayo," ajakku. Miki mengangguk. Dan kami berjalan ke tempat itu.
"Permisi," ucap Miki.
Lelaki itu mengangguk. Rambutnya
honey blonde, sama sepertiku. Dan matanya aquamarine. Sama sepertiku! Parasnya juga mirip denganku, sekilas.
"Siapa namamu?" tanyaku.
"Len," jawabnya. "Kagamine Len. Dan kalian?"
"Aku Shirakawa Rin," Aku memperkenalkan diri.
"Dan aku Furukawa Miki," sambung Miki.
"Sepertinya, kalian dari kelas 2-3, iyakan?" terka Len.
Miki mengangguk, sementara aku membuka kotak bekalku yang berisi
cupcakes jeruk ukuran sedang. Hm, aku tinggal memesan minuman.
"Kalian pesan apa?" tanya Len lagi.
"Salad dan jus cherry," jawab Miki.
"Jus jeruk," ujarku singkat, kemudian bangkit untuk memesan.
Len mengcengkram pergelangan tanganku. "Jangan," cegah Len. "Biar aku saja. Salad, jus cherry, dan jus jeruk, kan?"
Aku
dan Miki mengangguk bingung, dan memberikan uang. Len kemudian berjalan
- atau lebih tepatnya berlari ke tempat pemesanan. Aku terkesiap. Hei
hei, jangan berpikiran aku kagum dengan pertolongannya. Tapi aku kaget,
melihat cara berlarinya. Bukan cara berlari biasa. Dia berlari, seperti
saat
aku berlari.
Lari, lari yang bersifat
tergesa-gesa dan menghindari sesuatu. Seperti lariku setiap malam. Lari
seorang penjahat menghindari polisi.
"Rin? Hoi, Rin!" Miki mengguncangkanku.
Aku tersadar. "Eh, oh, ada apa?"
Miki menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sadar, Rin! Kalian baru pertama bertemu!"
"Kau
pikir apa? Aku heran melihat cara larinya, cara larinya seperti seorang
pe-" Aku segera menghentikkan omonganku. Ya ampun, Rin, kau hampir saja
membocorkan identitasmu!. "M-Maksudku, pelari marathon," Aku meralat
buru-buru.
Miki memandangku dengan tatapan tidak percaya. Aku
menggeleng-gelengkan kepala, kesal. Namun, tiba-tiba seorang Kagamine
Len mengagetkan kami dengan cara menaruh nampan di atas meja dengan agak
keras.
"Hh... Hh... Akhirnya sampai juga," kata Len terengah-engah.
Cih, apa-apaan dia? Kelelahan begitu? Memangnya jarak dari sini ke tempat memesan jauh, apa? Aneh.
"Arigatou!" ucap Miki, mengambil salad dan jus cherry-nya.
"Douita," balas Len sambil tersenyum. "Dan ini jus jerukmu, Rin."
"Ah iya!" Aku mengambil jus jerukku dan meminumnya. Nikmat.
Len
kembali duduk di kursinya. Aku baru sadar, kalau ia tidak memesan
apapun. Apa dia tak punya uang? Apa kubagi saja bekalku? Kasihan juga
sih, melihatnya. Terengah-engah begitu. Walau aku bingung apa yang dia
lakukan sampai kelelahan begitu.
'Kau tidak memesan apa-apa, Len?" tanyaku kepadanya.
"Eh? Uhm, tidak, aku tidak lapar," jawab Len sambil tersenyum.
"Mana mungkin? Ini kubagi bekalku, aku tak akan habis memakan
cupcakes jeruk ini sendirian," Aku menyodorkan bekalku.
Cupcakes jeruk yang ukuran sedang, tapi menurutku itu lumayan besar.
"Nggak," tolak Len. "Makasih. Aku maunya rasa pisang."
Aku mendengus. "Kau ini, sudah kubagi juga!"
"Hehe, gomen gomen. Iya iya, kumakan sedikit," Len terkekeh.
"Besok aku bawakan yang rasa pisang, deh!" janjiku tanpa sadar.
Mata Len membulat. "Betulkah? Kalau begitu, arigatou!"
Uh! Rin! Enak sekali kau berjanji pada orang yang baru kau kenal! Tapi aku terpaksa mengangguk dan tersenyum.
"Ngomong-ngomong, Len dari kelas mana? Kok nggak bareng temen-temennya?" tanya Miki.
Raut wajah Len berubah. "Eh, aku... Aku dari kelas 2-2. I-Iya, aku lagi malas saja," jawab Len terbata.
"2-2?
Wow, kelas 2-2 kan terkenal dengan anak-anaknya yang pintar," komentar
Miki tampak kagum. Walau sebenarnya menurutku, Miki juga lumayan pintar,
sih.
Len mengangguk-angguk saja. Bisa kulihat, ia terlihat sedih. Humph, aneh.
Malam tiba! Aku mengambil jubah hitamku. Jam sudah menunjukan jam 11 malam saat itu.
"Aku mau keluar dulu, Lily," pamitku sambil tersenyum.
Lily menghela napas. "Ya, hati-hati. Jangan sampai ketahuan."
"Itu tak akan pernah," gumamku. Aku kemudian tersenyum, dan melesat keluar dari toko kue milik Lily.
Targetku
malam ini adalah Sonika! Yup, Sonika-sensei yang berani-beraninya
menghardikku! Ah, itu dia rumahnya. Berwarna hijau gradasi kuning. Hm,
warna yang bagus, walau sebentar lagi kamarnya akan tercampur warna
merah! Hahaha!
Aku memasuki sebuah jendela yang tak terkunci
dengan hati-hati. Rupanya ini kamar Sonika-sensei Kulihat Sonika-sensei
sedang tidur. Ah, bagus sekali. Aku tersenyum, tanpa melepaskan jubah
hitamku. Aku menggenggam sebuah belati, kemudian...
JLEB!
Belati itu kutusukkan ke kelopak mata Sonika-sensei yang sedang tertidur. Kontan saja ia menjerit namun segera kubekap mulutnya.
Matanya
membelalak, meronta melepaskan diri. Samar-samar kudengar ia merintih
kesakitan. Teruslah merintih! Aku tersenyum psikopat.
"Sonika-sensei..."
ucapku lembut dengan nada yang dibuat-buat. "Ini hukuman buat
Sonika-sensei karena telah menghardikku tadi..." lanjutku.
Sonika-sensei kembali membelalakkan mata kirinya yang masih bagus. Aku tersenyum, dan kucabut belati itu dari mata kanannya.
"Sepertinya
ribet, ya, jika aku terus membekap Sonika-sensei? Bagaimana kalau...
Kusayat dulu tenggorokanmu?" tanyaku. Tanpa menunggu jawaban
Sonika-sensei, aku menyayat tenggorokannya dengan belatiku. Darah
muncrat. Aku tertawa.
"Khu khu khu... Darah berwarna merah
muncrat, indah sekali, bukan? Bagaimana kalau kau menyumbangkannya
banyak?" Tanganku yang memegang belati beralih ke perutnya. "Wah,
perutmu mulus sekali, Sonika-sensei," pujiku. Tapi sesaat, aku
menyeringai. "Tapi sekarang, tidak lagi!"
Aku menyayat perut
Sonika-sensei secara perlahan-lahan. Aku ingin menikmati permainan ini,
dan rintihan dari korbanku. Sonika-sensei berontak.
"Oh, kau nakal
sekali, sih? Menyebalkan," gerutuku pelan. Aku menyayat wajah mulus
Sonika-sensei dengan belati yang telah terasah tajam itu. Belati yang
telah merenggut nyawa puluhan orang. Sonika-sensei berhenti berontak.
Aku terkekeh. "Bagus! Sekarang, aku jadi bisa melanjutkan permainannya!
Kau menikmatinya, kan?"
Aku kembali menyayat-nyayat perut
Sonika-sensei. Hingga terobek. Aku semakin bersemangat dan merobek-robek
perut Sonika-sensei hingga terlihat organ dalamnya. Untuk orang biasa,
pasti merasa jijik. Tapi tidak denganku. Ini... Ini menyenangkan!
"Wah,
aku jadi serasa belajar IPA," komentarku. "Nah, yang pertama. Ini
adalah... Ginjal!" Aku menusuk ginjal Sonika-sensei hingga guruku itu
memekik menarik-narik ginjal itu dengan belatiku hingga terlepas. Aku
tertawa kecil, seperti anak kecil mendapat mainan baru.
"Setidaknya,
ini cukup untuk menyumpal mulutmu, Sonika-sensei," ucapku dan
menjejalkan ginjal itu ke mulut Sonika-sensei. Yah, setidaknya itu
menghambatnya untuk menjerit.
Hm, aku memulai permainan lagi. Aku
melihat-lihat isi perutnya, kemudian menusuk lambungnya. Sonika-sensei
berontak hebat. Darah keluar dari mulutnya.
"Hihi," Aku terkikik
pelan. Aku kemudian menusuk-nusuk ususnya sambil tersenyum psikopat.
Sementara Sonika-sensei terus menerus muntah darah dan merintih
kesakitan.
"Ahh~ Bosan~" keluhku. Perhatianku tertuju pada kuku
Sonika-sensei. "Ahh~ Kuku sensei bagus, ya? Boleh kuminta?" tanyaku
dengan seringaian menghiasi wajahku.
Tanganku menggapai tangan
kiri Sonika-sensei, dari jubahku, kukeluarkan sebuah palu kecil namun
bisa menghancurkan sesuatu. Ya, seperti kuku ini.
Aku menyeringai,
dan mulai memukulkan palu itu ke kuku Sonika-sensei satu persatu hingga
pecah. Sonika-sensei meronta, namun aku lebih kuat saat itu. Karena
kuku di tangan kirinya sudah hancur semua, aku beralih ke tangan kanan
Sonika-sensei.
Dengan belati, aku mencungkil-cungkil kuku Sonika-sensei hingga terlepas. Asyik sekali rasanya.
"Ahaha~
Darahmu banyak sekali, Sonika-sensei~" komentarku. Sekarang, semua kuku
Sonika-sensei sudah hancur dan terlepas. Aku mulai beralih ke perutnya
lagi. Kukoyak terus kulit-kulit itu, hingga terlihat tulang rusuk
Sonika-sensei.
"Ini tulang, kan? Bagus juga," Aku mencengkram erat
salah satu tulang rusuk Sonika-sensei, kemudian mencabutnya. Cukup
mudah, karena aku biasa melakukannya.
"Akh!" pekik Sonika-sensei, ginjalnya menggelinding dari mulutnya.
"Kau
ini nakal sekali, sih? Dasar menyebalkan," Aku menggerutu pelan dan
menancapkan tulang rusuk itu ke mulut Sonika-sensei. "Biar kau diam."
Aku berpikir, akan 'bermain' apa lagi dengan Sonika-sensei. Sampai akhirnya...
"Aha!"
Aku menjentikkan jari. "Kulitmu terlalu mulus, Sonika-sensei! Aku juga
ingin melihat dagingmu," seringaiku. Aku mengambil belatiku dan beranjak
ke tangannya dan mulai mengulitinya. Sonika-sensei berkali-kali memekik
tertahan akibat 'permainan' yang aku lakukan.
"Terlalu berisik,"
komentarku datar. JLEB! Aku menancapkan belatiku ke leher Sonika-sensei.
Dan berakhirlah riwayat guru menyebalkan itu. "Begitu lebih baik,"
lanjutku dan melanjutkan kegiatan menguliti Sonika-sensei.
Aku
melirik jam dinding di kamar Sonika-sensei, jam 12. Aku harus pulang
sekarang! Dan lagi, suara-suara gaduh terdengar dari luar. Aku buru-buru
membereskan senjataku, dan melompat keluar jendela. Tak lama, terdengar
jeritan histeris. Mungkin keluarganya. Aku tak peduli. Yang pasti, aku
harus segera pulang. Mungkin hari ini aku akan membersihkan diri dulu.
Tubuhku sangat belepotan darah.
"Lily!" Aku menggedor pintu toko kue ber-plang "Lily's Bakery" itu.
"Ah, Rin, ya?" Lily membuka pintu dan mempersilahkanku masuk.
"
Tadaima!" ucapku.
"
Okaeri," balas Lily. "Bersihkan dulu dirimu, Rin. Kau sangat belepotan darah hari ini."
Aku mengangguk-angguk mengerti, kemudian membersihkan diri di kamar mandi.
Khu khu khu... Kira-kira, siapa korbanku berikutnya?
#Bersambung