Jumat, 04 Oktober 2013

Amare (chapter 1)

Disclaimer : Kuroshitsuji by Yana Toboso, this fic by Kusanagi Mikan
Warning : OOC, OC, Sebastian PoV (for this chap), don't like don't read!

Chapter 1
That Shy Girl

Hai.

Namaku Sebastian Michaelis. Aku adalah seorang guru di sebuah sekolah SMA elite di London, Amethyst Senior High School. Aku bekerja disana sebagai guru Sains. Sebagai guru, aku terkenal sebagai guru yang galak. Mungkin memang benar. Banyak murid yang menghindar bicara denganku, atau malah mereka lari terbirit-birit begitu melihatku. Aku jadi seperti hantu kalau begini terus.

Sebetulnya, aku sama sekali tidak mengerti kenapa mereka menganggapku galak. Rasanya, aku biasa saja. Malah menurutku, aku terbilang humoris. Tapi kenapa mereka malah bilang aku ini galak?

Hh, aku tidak mengerti pola pikir remaja jaman sekarang.

Masa bodoh mereka berpikir aku ini galak atau apa. Yang penting, aku melaksanakan kewajibanku sebagai guru. Itu yang terpenting.

Ah, kukira penjelasanku cukup sampai disini saja. Sekarang aku harus mengajar di kelas 2-3, kelas yang paling rusuh sepanjang sejarah Amethyst Senior High School. Itu sih, kata guru-guru. Tapi entahlah. Kelas 2-3 tidak pernah berisik jika aku yang mengajar. Apa mereka takut kepadaku, ya?

"Ah, sudahlah, Sebastian." Aku menggelengkan kepalaku, mengusir bayang-bayang 'guru yang galak' dari benakku. "Rileks, seperti biasa."

Suara kelas 2-3 yang ribut terdengar jelas begitu aku sampai di depan pintu. Aku kemudian mendorong pelan pintu kelas 2-3.

Kriiiiiieeett...
Suasana langsung hening begitu aku memasuki kelas. Beberapa murid stay cool, sementara banyak murid lain yang berwajah pucat dan horror. Apalagi begitu melihatku membawa map berisi hasil ulangan minggu kemarin. Hh... Selalu seperti ini.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapaku dengan senyumku yang biasa.

"S-Selamat pagi, Sir," balas mereka, tampaknya tidak terpengaruh dengan senyumku.

Hh, aku gregetan kalau begini terus. Aku harus berbuat apa sih, supaya mereka nggak usah takut kalau melihatku? Senyum, sudah. Candaan, sudah. Ramah, sudah. Apalagi yang harus kulakukan?

"Saya akan membagikan hasil ulangan minggu lalu," ucapku lagi. Kuletakkan buku-buku yang kubawa di atas meja, lalu aku membuka mapku.

"Hasil tertinggi diraih oleh Ciel Phantomhive, dengan nilai seratus."

Seisi kelas bertepuk tangan pelan dan sebentar. Sangat sebentar. Si pemuda bernama Ciel itu lalu maju ke depan untuk menerima hasil ulangannya. Aku tersenyum, lagi. Si Phantomhive ini selalu mendapat nilai yang bagus. Nyaris semuanya seratus.

"Selamat, Phantomhive," pujiku.

Si Phantomhive hanya mengangguk pelan, lalu buru-buru kembali ke tempat duduknya. Aku menghela napas pelan melihatnya. Apa salahku, sih? Apa mereka membenciku?

Buru-buru kusingkirkan pikiran itu dan mulai membagikan hasil ulangan satu persatu. Nilai mereka bagus-bagus. Aku senang sekali, sangat senang. Yah, inilah perasaan seorang guru kalau murid-muridnya mendapatkan nilai yang bagus. Merasa berhasil dalam mengajar.

"Kita mulai pelajaran hari ini. Buka halaman seratus tiga," perintahku.

Semua mengikuti dengan tertib. Dan pelajaran hari itu dimulai selama dua jam.

Selama dua jam, aku mengajar dengan penuh semangat (menurutku).

Dan selama dua jam pula, murid-murid di kelas ini berwajah pucat dan tidak ada satupun yang bersuara.

Benar-benar suasana yang tidak mengenakkan.

Kriiiiiiiiiiinnngg!

Bel pergantian pelajaran berbunyi dengan nyaring. Nyaris seisi kelas langsung menghela napas lega. Jujur saja, rasanya sakit mendengar mereka menghela napas begitu pergantian jam pelajaran. Rasanya begitu tidak sedih ketika mereka tidak menyukaiku, guru mereka.

"Baiklah Anak-anak, pelajaran hari ini telah selesai. Pe-er halaman seratus tujuh, latihan satu. Sampai berjumpa minggu depan." Aku menutup pelajaran. "Selamat pagi."

Aku membereskan buku-buku serta map yang kubawa, lalu berjalan menuju pintu kelas.

"T-Tunggu, S-Sir!" Seorang gadis berambut pirang kecoklatan beranjak dari tempat duduknya dan berlari dengan kikuk ke arahku. Kalau tidak salah, namanya Sara Framboise.

Aku mengangkat sebelah alisku, heran. "Ya?"

"S-S-Sir! S-s-saya b-belum mengikuti u-ulangan m-minggu k-kemarin k-karena sakit. K-Kapan saya bisa m-mengikuti ulangan susulan?" tanya gadis itu dengan gugup. Ah, dia gagap sekali. Apa takut bicara denganku?

"Hm... Istirahat nanti, kau bisa?" tanyaku. "Jika tidak bisa, pulang sekolah saja."

"K-Kupikir a-aku lebih s-s-siap s-saat pulang s-sekolah. K-Kau tidak k-keberatan k-kan, S-s-sir?" jawab Sara sembari menunduk dalam.

"Tidak apa-apa. Pulang sekolah saja. Temui aku di kantor guru," jawabku sembari tersenyum. "Belajarlah dulu agar kau lebih siap."

"B-b-baik, Sir!"

Aku tersenyum. Kemudian berjalan keluar kelas, menuju kantor guru. Pikiranku melayang pada si gadis Framboise itu. Dia gugup sekali, dan kelihatannya dia pemalu, bukan takut kepadaku. Mungkin saja, kan?
Lagipula, aku jarang melihat si Framboise itu di kantin atau berjalan bersama teman-temannya. Sekali aku pernah melihatnya, dia sedang membaca buku di perpustakaan. Ya ya, mungkin saja dia memang pemalu, bukan takut kepadaku.

Kuharap begitu.

Aku tak ingin semua muridku takut kepadaku. Bisa hancur perasaanku sebagai seorang guru. Aku menggelengkan kepalaku lagi, berhenti berpikir soal guru-galak-yang-ditakuti-muridnya.

"Rileks, rileks!" ucapku pada diriku sendiri. Aku menghembuskan napas, kemudian tersenyum lega. Perasaanku lebih baik setelah menghembuskan napas.

"Singkirkanlah rasa takutmu, Sebastian! Berjuanglah menjadi guru yang terbaik!"

ooo

Tok tok tok.

Pintu ruang guru diketuk pelan. Beberapa guru menoleh ke pintu-termasuk aku, sementara yang lainnya tetap asyik dengan pekerjaan sendiri-sendiri.

Pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok gadis berambut pirang kecoklatan dan bermata hijau lembut. Kedua pipinya bersemu merah, sepertinya dia malu. Aku tersenyum simpul melihatnya. Si Framboise itu benar-benar kemari rupanya.

"P-Permisi..." ucap gadis itu pelan.

"Ya? Ada perlu apa?" tanya Angela yang berada paling dekat dengan pintu.

"U-Uhm... A-Aku... Ng... U-ulangan s-susulan... Mr. Michaelis... Err..." Sara tampak kesulitan menyusun kata-katanya.

"Mr. Michaelis?" Angela mengernyit, kemudian berbalik menghadapku. "Mr. Michaelis, murid ini ada perlu dengan anda."

"Oh... Kau... Murid kelas 2-3, ya? Ulangan susulan?" tanyaku.

"Y-Ya..."

"Baiklah. Ayo kita kerjakan di perpustakaan," ajakku sembari tersenyum. Aku mengambil selembar kertas ulangan dan lembar untuk mengisi jawabannya.

"Saya permisi dulu, Mrs. Angela," pamitku.

"Ya." Angela mengangguk singkat.

"P-Permisi..." pamit Sara gugup.

Aku menutup pintu ruang guru, lalu berbalik menghadap Sara yang sekarang sedang menunduk. Hah, rasanya gadis ini selalu saja menunduk.

"M-Mengerjakannya d-d-di p-perpustakaan?" tanya Sara, masih menunduk.

"Hei, angkat wajahmu. Kau harus mengangkat wajahmu saat sedang berbicara dan kau harus menatap lawan bicaramu," tegurku.

Dengan gemetar, Sara mengangkat wajahnya dan menatapku. Ah... Akhirnya dia mengangkat wajahnya. Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama. Wajahnya mungil, dengan sepasang mata hijau yang agak besar. Poni pirang kecoklatannya cukup panjang, hingga sedikit menutupi matanya.

"S-Sir?" panggil Sara hati-hati.

Aku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya. Aku kita pergi ke perpustakaan."

Aku dan Sara berjalan menuju perpustakaan. Sara mengekor di belakangku, tampaknya dia agak takut kalau berjalan beriringan atau berjalan di depanku.

Perpustakaan saat itu sudah sepi, sangat sepi. Bahkan, Mr. Clause, penjaga perpustakaan, tidak ada di mejanya. Mungkin, dia sedang makan atau istirahat. Bagaimanapun juga membosankan seharian berada di antara buku-buku.

Aku duduk di salah satu kursi yang ada di perpustakaan. Sara dengan takut-takut ikut duduk sembari menggenggam erat pulpennya.

"Ini soalnya, dan lembar jawabannya." Aku memberikan soal dan lembar jawaban itu pada Sara.
Sara menerimanya dengan tangan gemetar-yang jelas-jelas bisa kulihat kalau dia gemetaran. Kemudian, gadis bermata hijau itu mulai mengerjakannya.

Aku mengamati Sara sembari berpikir, apakah gadis ini takut kepadaku atau tidak. Rasanya tidak lucu kalau murid takut pada guru yang jelas-jelas ramah dan baik hati sepertiku ini. Hem... Sebenarnya, apa ya, yang membuat murid-muridku menganggapku galak?

Seingatku, aku tidak pernah marah. Aku malah sangat ramah. Guru-guru yang lain juga bilang begitu. Tapi kenapa murid-muridku bilang aku ini galak? Ah, itu salah satu pertanyaan di dunia yang tak bisa kupecahkan. Benar-benar aneh dan memusingkan.

"S-Sir, s-saya sudah s-selesai," ucap Sara pelan, membuyarkan lamunanku untuk kedua kalinya.

"Ah, cepat sekali," komentarku. Aku mengambil lembar soal dan jawabannya. Ketika aku akan bertanya kepadanya, si gadis Framboise itu buru-buru pamit dan pergi. Atau lebih tepatnya, kabur.

"Ck ck ck. Memangnya, aku sebegitu menyeramkannya, ya?" desahku sebal. Lagi-lagi begini. Tidak ada murid yang tahan bersama denganku. Mereka pasti akan cepat-cepat menyelesaikan urusannya denganku, lalu kabur.

"Hh... Sabarlah, Sebastian..." ucapku pada diriku sendiri.

Merasa tak penting lagi ada di perpustakaan, aku keluar dan berjalan ke kantor guru.

ooo

Hari sudah sore ketika aku berjalan pulang ke rumahku. Aku memang kadang berjalan kaki. Lebih sehat, ketimbang mengendarai mobil atau motor. Lagipula, aku senang memperhatikan suasana di sore hari. Entah kenapa, suasananya terasa... Dramatis.

Ya ya, aku tahu ini terdengar bodoh. Tapi memang begitu pemikiranku soal suasana di sore hari. Langit yang berwarna oranye itu unik menurutku. Terserah kalian mau berpikir apa.

"J-Jangan! I-Itu u-uang untuk m-membeli ob-bat Ibuku!"

"He?" Aku mengernyit mendengar suara itu. Kalau tidak salah, bukankah itu suara si gadis Framboise?
Aku berjalan ke arah suara. Ternyata asalnya dari sebuah gang sempit. Si Framboise itu sedang dikepung tiga orang lelaki kekar. Mereka pasti preman disini.

"Aku tak peduli! Berikan uangmu!" bentak salah satu yang berambut keriting.

"T-Tapi..."

"BERIKAN!" Yang berkulit gelap menarik Sara, kemudian melemparkannya.

Mendidih amarahku melihatnya. Aku langsung menonjok lelaki yang melempar Sara hingga terjatuh. Kemudian, aku menghajar mereka satu persatu hingga babak belur. Sara terduduk di pojokan, kelihatannya dia ketakutan.

"Sara, kau tidak apa-apa?" tanyaku setelah menghajar preman-preman itu.

Sara menggeleng. "T-Tidak. Aku t-tidak apa-apa. T-terima k-k-kasih, S-S-Sir."

"Ya, sama-sama," balasku sembari tersenyum. "Kau mau kemana?"

"Mm... T-Tadi s-s-saya mau m-membeli obat u-unt-tuk I-Ibuku. T-Tapi m-mereka menghala-langiku..." ujar Sara gugup.

"Obat untuk Ibumu?" Aku mengernyit.

"Mm... I-Iya. I-Ibuku s-sakit dan, ng, ak-u m-mau membeli-likannya obat," angguk Sara.
"Apakah mau kuantar?"

"T-Tidak usah!" seru Sara, kemudian berlari cepat meninggalkanku. Aku hanya bisa melongo di tempat.

"Gadis yang aneh..."


Wee!

Satu chapter selesai!

Adakah kritik dan saran? Mikan terima dengan senang hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar