Ferlita Middleton
Nama : Ferlita Kayla Middleton
TTL : Cornhead, U.K. 16 Juli.
Warna Rambut : Coklat.
Warna Mata : Abu-Abu.
Steven Johnson
Nama : Steven Stevan Johnson
TTL : Cornhead, U.K. 3 Maret.
Warna Rambut : Hitam.
Warna Mata : Biru.
Lara Widson
Nama : Lara Media Widson
TTL : Cornhead, U.K. 19 Desember.
Warna Rambut : Merah.
Warna Mata : Biru.
Tampilkan postingan dengan label Wind. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wind. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 05 Januari 2013
Wind (4)
"Lara?!" seru Ferlita panik.
Ia segera berlari ke dapur.
***
Di dapur, tampak Lara yang sedang memegangi kepalanya. Ia sepertinya pusing.
"Lara?" ulang Ferlita.
Lara tersadar. "Y-Ya, Lita?"
Ferlita mengernyit heran. "Lita?"
"Ah, maksudku, Nona. Ada apa?" ralat Lara.
Ferlita menatap Lara, sebelum akhirnya ia berkata. "Kenapa kau berteriak?"
"Tikus! Tadi ada tikus lewat di sini," jawab Lara.
"Tikus?"
"Ya, tikus yang sangat besar,"
"Interesting, Lara. Setahuku, kau tidak pernah takut pada tikus sebelumnya. Apalagi sampai menjerit begini," ucap Ferlita.
"Tikus itu muncul tiba-tiba dan membuatku kaget, Nona," tukas Lara.
Ferlita mengendikkan bahu. Ia memandang telur goreng di piring dengan kaget. Tetesan darah!"Bumbu apa saja yang kau gunakan untuk menggoreng telur ini, Lara Widson?" tanya Ferlita.
"Bumbu?""Ya, garam? Atau merica? Atau DARAH?"
"Darah? Jangan mengada-ada seperti dulu, Lita. Maksudku, Nona," kata Lara.
"Lalu, darah apa yang ada di telur goreng ini?" tanya Ferlita.
"Cepatlah pergi bekerja! Tidak usah banyak tanya!" usir Lara.
Ferlita cepat-cepat keluar rumah. "Dia sopan sekali," umpat Ferlita.
Ferlita cepat berjalan ke toko es krim. Lara berjalan perlahan ke luar rumah. Ia memandangi Ferlita dengan tatapan tajam, setajam SILET!! #malah iklan-,-
***
Pasti pada protes, kok pendek banget?
Yups!
Aku enggak ada ide cerita lagi, nih. Nanti kulanjut deh yang panjang!! Oke oke?
Tapi, jangan lupa LIKE and COMMENT ya!
Wind (3)
"Lara!" Ferlita pulang ke rumahnya dengan gembira.
Lara yang ada di dapur menoleh.
"Nona? Kau sudah pulang?"
"Ya! Dan kabar bagus! Aku mendapat pekerjaan di toko es krim!" lapor Ferlita girang.
Lara ikut tersenyum. "Kabar yang sangat bagus, Nona!"
Ferlita menengok ke dapur. "Kau memasak apa, Lara?" tanya Ferlita.
"Sayur bayam dan wortel. Mr.Roberts berbaik hati memberikan bayam dan wortel dari kebunnya," jawab Lara.
"Oh," Hanya itu yang Ferlita katakan.
Ia segera berbaring di tempat tidurnya. Hari ini, Ferlita merasa sangat bahagia. Namun..
Mungkin saja...
Dia tidak tahu, apa yang akan menimpanya kemudian....
***
Jam 2 pagi...
Hujan turun dengan deras. Petir menyambar-nyambar. Ferlita yang sedang tidur terbangun karenanya. Terdengar suara aneh di dapur.
"Suara apa itu?" gumam Ferlita heran.
Ferlita segera menyalakan lampu kamarnya. Matanya terbelalak melihat sesuatu yang JANGGAL di jendela kamarnya.
Di jendela kamarnya..
Terdapat sesuatu yang lengket, liat, dan berwarna merah... Juga sedikit lembek..
Ferlita mengetahui apa benda itu...
TANAH PEMAKAMAN!!
Ferlita meraba tanah pemakaman di jendelanya itu.
"Ba-Bagaimana bisa ada tanah pemakaman di jendela?!" tanya Ferlita kaget.
Jantungnya berdebar kencang...
Dan...
Pet!
Listrik mati. Kini, semua menjadi gelap, sunyi, dan... Mengerikan...
Yang terdengar cuma bunyi hujan.. Dan suara-suara aneh dari dapur. Apakah Lara tidak terbangun?
Itu yang ada di pikiran Ferlita sekarang.
"Aku harus keluar!" kata Ferlita.
Ferlita segera menyambar senter dan keluar dari kamarnya. Dengan takut-takut, ia berjalan ke kamar Lara. Ia mengetuk pintu kamar Lara.
"La-Lara? Apakah kau masih tidur?" tanya Ferlita dari luar.
Tidak ada sahutan... Yang ada malah..
Sebuah tangan keriput yang menyentuh bahu Ferlita!Ferlita terpaku. Dengan perasaan takut yang amat sangat, Ferlita menoleh. Seorang wanita! Wanita itu cuma mempunyai satu mata, dan kulitnya sobek disana sini. Ia juga mulai busuk!
"AAA!!!!" teriak Ferlita ketakutan.
Ferlita segera berlari ke pintu. Ia berusaha mencari kunci pintu rumah. Namun tak ditemukan.. Sementara wanita itu lama kelamaan semakin dekat dengan Ferlita..
"AA! PERGI DARIKU!!" jerit Ferlita sambil melempar sebuah kayu di jendela ke arah wanita itu.
Kayu itu mengenai kepala wanita itu. Dan yang mengerikan, kepalanya mulai terkelupas. Hingga terlihatlah tulang tengkoraknya. Ia jauh lebih menyeramkan dari pada tadi.
"AAA!!" Ferlita menjerit makin kencang.
Ia berlari pergi ke dapur. Disana, ia melihat Lara yang terbaring di dapur. Seluruh peralatan dapur sudah berserakan tak karuan.
"Lara?" panggil Ferlita.
Lara tak bergerak. Wajahnya tersembunyi karena ia terbaring dengan posisi tengkurap. Dengan hati-hati, Ferlita memalingkan wajah Lara.
Sungguh mengerikan!
Wajah Lara tergores dari atas sampai bawah. Dan salah satu bagian wajahnya, TIDAK ADA KULIT!!! Yang terlihat adalah dagingnya yang berwarna merah segar, dan tulang tengkorak yang terlihat sedikit.
"AAA!!!" jerit Ferlita.
Klontang! Klontang!
Terdengar suara wajan dan panci yang beradu. Ferlita menoleh.
Seorang lelaki!
Entah sejak kapan lelaki itu ada. Yang jelas, ia sangat MENYERAMKAN!
Kepalanya tinggal setengah, kakinya pun tinggal setengah, dan ia memegang sebuah pisau yang sangat besar. Ferlita menjerit semakin kencang. Ia melemparkan semua barang yang ada.
Pluk!
Ferlita melempar wajan dan mengenai kepala lelaki itu yang tinggal separuh. Dan kepala separuh itu sekarang putus! Lelaki itu tidak memiliki kepala lagi. Namun, ia mengayun-ayunkan pisaunya, melemparnya, sehingga mengenai Ferlita.
"AAAA!!!" teriak Ferlita begitu pisau itu mengenainya.
***
"Hah!" Ferlita terbangun dengan keringat mengucur di sekujur tubuhnya.
Ia melirik jam dinding. Sudah jam lima pagi. Ferlita meraba-raba tubuhnya sendiri. Tidak ada yang terluka. Lalu, Ferlita menoleh ke jendela. Bersih. Tidak ada tanah pemakaman seperti mimpinya.
Ya, mungkin saja semalam itu mimpi.
"Huft, mimpi yang sangat mengerikan," kata Ferlita ketakutan.
Terdengar suara orang menggoreng sesuatu dari dapur."Apakah itu Lara?" gumam Ferlita.
Dengan perlahan-lahan, Ferlita menuju dapur. Benar, itu Lara. Ia sedang menggoreng telur.
"Nona? Kau sudah bangun?" sapa Lara.
Ferlita mengangguk. Ia seakan tak percaya. Ferlita menatap sekeliling. Tidak ada yang aneh. Tidak ada barang berserakan, tidak ada darah, dan tidak ada wanita dan lelaki itu.
"Nona?"
"Y-Ya?!" tanya Ferlita kaget.
"Ada apa, Nona?" tanya Lara khawatir. "Wajahmu pucat, dan keringatmu mengalir deras,"
"T-Tidak ada apa-apa! Aku harus mandi sekarang! Kalau tidak, aku bisa terlambat!" ucap Ferlita buru-buru.
Ia segera mandi, dan memakai seragam pramusajinya. (atau apalah itu namanya). Ferlita duduk di kasurnya sambil menghela napas. Mimpinya itu terus terbayang di benaknya.
"AA!!" Terdengar jeritan Lara.
"Lara?!" seru Ferlita panik.
Ia segera berlari ke dapur.
Ada apa dengan Lara?
Wind (2)
Ferlita menggeleng. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ia segera berlari pulang meninggalkan Steven yang masih tertegun.
"Ferlita!" Terdengar suara Steven memanggilnya.
Ferlita masih terus berlari, menuju rumahnya. Hujan mulai turun. Angin bertiup semakin kencang. Ferlita akhirnya sampai juga. Di depan rumah, Lara menunggu dengan penuh rasa cemas. Ia segera menarik Ferlita masuk dan mengelap wajah Ferlita yang basah dengan handuk kering.
"Nona! Nona pergi kemana?! Saya sangat cemas! Lain kali, tolong pamitlah dahulu. Dan, cepat ganti baju Nona. Nanti Nona bisa sakit," kata Lara.
"Terima kasih, Lara. Aku hanya mencari pekerjaan," ucap Ferlita.
"Tidak perlu, Nona. Seharusnya saya saja yang mencari pekerjaan," larang Lara.
Ferlita menggeleng. Ia tersenyum hangat pada Lara. Lara tertegun. Ia baru tersadar, kalau wajah Ferlita lambat laun menjadi mirip dengan wajah Ibunya. Mrs.Middleton. Seakan-akan, Lara telah melihat Mrs.Middleton tersenyum kepadanya. Ferlita masuk ke kamarnya. Bajunya basah terguyur air hujan. Ia segera menggantinya.
***
Ferlita keluar dari kamar. Tampak Lara sedang menghidangkan telur goreng. Masing-masing satu di sebuah piring.
"Untuk Nona, dan untuk saya," kata Lara.
"Tidak, Lara. Untukmu saja," tolak Ferlita halus.
"Nona bisa sakit. Jika Nona tidak mau makan, saya juga tidak akan mau makan,"
Ferlita luluh juga. Ia akhirnya mau makan, walaupun cuma sedikit. Lara, pembantunya itu sangat setia. Lara menganggap Ferlita seperti anaknya sendiri. Ia begitu sayang pada Ferlita.
"Besok, aku akan mencari pekerjaan," kata Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona, biar saya saja yang mencari pekerjaan,"
"Besok hari Sabtu bukan? Aku akan berjalan-jalan sembari mencari pekerjaan," Ferlita tersenyum.
Lara menghela napas. Ferlita tetap teguh pada pendiriannya, ingin mencari pekerjaan. Tak ada yang bisa menggoyahkannya.
***
Keesokan harinya...
Ferlita berjalan-jalan di trotoar kota Cornhead. Mobil jarang berlalu lalang. Mungkin, karena perkantoran libur. Ferlita berbelok. Mungkin saja, ada usaha atau toko kecil-kecilan yang membuka lowongan pekerjaan. Namun..
Tidak ada.
Yang ada, cuma sebuah taman. Mata Ferlita menatap taman itu dengan sendu.
"Ayah... Ibu..." desah Ferlita.
Dulu, Ayah dan Ibunya sering mengajak Ferlita bermain di taman itu. Sebelum mereka meninggal. Ya, tentu saja. Tanpa terasa, kaki Ferlita melangkah ke taman itu. Suara anak-anak yang sedang bermain semakin terdengar.
BRUK!Ferlita menabrak tong sampah di taman, sehingga semua sampah berserakan keluar. Rupanya, Ferlita tidak sadar ada tong sampah besar itu.
"Aww..." rintih Ferlita pelan.
"Ya ampun!" seru seseorang.
Ferlita menoleh. Seorang tukang sapu taman menggeram marah.
"Kau..." geram tukang sapu itu.
"Ah, maafkan aku!" sesal Ferlita.
"Sapu semua sampah ini! Kau harus menyapunya sampai bersih, seperti sedia kala!" perintah tukang sapu itu marah.
"Ah, baiklah," kata Ferlita.
Ia segera mengambil sapu dan serokan, lalu menyapu semua sampah itu dengan cepat. Hingga tak ada lagi sampah yang berserakan.
"Sudah, Sir," ucap Ferlita.
Tukang sapu itu mengangguk-angguk.
"Hati-hati kalau berjalan!"
"Ya. Boleh aku bertanya?" tanya Ferlita.
"Apa?""Apakah ada lowongan pekerjaan di sekitar sini?" tanya Ferlita.
Tukang sapu itu berpikir.
"Sepertinya, tidak ada," ketusnya. "Carilah pekerjaan di tempat lain,"
Ferlita mengangguk lesu. "Terima kasih, Sir,"
Tukang sapu itu cuma mengangguk kembali. Ferlita kembali berjalan. Mencari lowongan pekerjaan. Ahh... Sebuah toko menarik perhatian Ferlita. Sebuah toko kue!
"Dulu kan, aku sering membuat kue. Dan.. Aku suka memasak," gumam Ferlita.
Ferlita akhirnya masuk ke toko kue itu. Ia menghampiri gadis penjaga.
"Maaf, adakah lowongan pekerjaan disini?" tanya Ferlita.
Gadis itu menggeleng. "Maaf, Nona. Tidak ada lowongan pekerjaan,"
"Ya, terima kasih," Ferlita segera keluar dari toko kue itu.
Ia menghela napas. Sulit sekali mendapatkan pekerjaan.
"Ah, sebaiknya aku pergi ke pemakaman saja," kata Ferlita. "Aku ingin mengunjungi Ayah dan Ibu,"
***
Sesampainya di pemakaman...
Ferlita berjalan menelusuri pemakaman itu. Ia membaca satu persatu nisan yang ada di situ. Sampai akhirnya, Ferlita sampai di makam orang tuanya. Di sebelah kiri makam Ayahnya, dan sebelah kanan makam Ibunya.
"Ayah... Ibu... Kenapa kalian harus pergi meninggalkanku?" bisik Ferlita sedih.
Ferlita meraba tanah makam Ayah dan Ibunya. Mata Ferlita terbelalak. Ada yang aneh... Tanahnya...
BASAH!
DHEG! Tidak mungkin! Ayah dan Ibunya saja dimakamkan tahun lalu! Tidak mungkin, jika tanahnya masih basah? Dan, terlihat baru? Ferlita mengenali tanah itu. Itu tanah pemakaman yang baru digali!
"Ba..Bagaimana ini bisa terjadi?!" tanya Ferlita kaget.
Jantungnya berdebar kencang.
"Hai.." Seseorang menepuk bahunya.
"AAA!!" jerit Ferlita kaget.
"Aww! Teriakanmu keras sekali, sih!" gerutu orang itu.
Ferlita berbalik. Itu... Steven!
"S-Steven?! Mau apa kau kemari?!" tanya Ferlita ketus.
"Aku? Aku cuma sedang berjalan-jalan di sekitar sini. Dan aku melihatmu. Kau sendiri?" Steven balik bertanya.
"Aku... Mengunjungi makam orang tuaku," jawab Ferlita.
"Tidak baik kau sedih terus menerus. Lihat dirimu," Steven memegang kepala Ferlita yang menunduk, lalu mendongakkannya.
"A-Apa?!" tanya Ferlita panik.
"Lihat matamu. Matamu yang dulu sangat penuh semangat dan seakan bercahaya, kini telah redup. Kulit wajahmu yang menjadi kusam. Begitu pula dengan rambutmu. Menjadi cokelat kemerahan! Orang tuamu pasti kecewa," ucap Steven.
"Bi..Biar saja! Aku tidak peduli!" Ferlita membuang muka.
Steven tertawa. "Hahaha! Kenapa kau ini, heh? Dulu atau sekarang, kau masih sama saja! Sombong!" cetus Steven.
"Aku tidak sombong!" bantah Ferlita.
"Kau sombong! Menurutku, kau sombong," tukas Steven.
Ferlita diam. Ia tidak mau lagi berdebat dengan si aneh Steven.
"Kenapa diam, heh?" tanya Steven.
"Memangnya, aku tidak boleh diam!?" ketus Ferlita.
"Tidak!" kata Steven sambil tertawa.
Ferlita kembali diam. Ia agak jengkel dengan Steven."Hei, jangan disini, ya! Agak menyeramkan," kata Steven.
"Lalu?" tanya Ferlita datar.
"Kita ke tempat lain saja, yuk! Hitung-hitung mencari pekerjaan. Ayo!" Steven menarik tangan Ferlita.
"Ehh, tunggu!" seru Ferlita kewalahan.
Ferlita menoleh ke makam orang tuanya sambil terus berlari.
DHEG!
Tampak ada jejak kaki dari makam orang tuanya ke pintu keluar lain! Wajah Ferlita langsung pucat. Namun, ia cepat mengalihkan pandangannya. Siapa tahu, itu jejak kaki orang lain.
Benarkah?
***
"Es krim disini enak sekali, kan!" Ucapan Steven membuyarkan lamunan Ferlita."Eh?"
"Kau sedari tadi mendengarkan aku bicara atau tidak, sih!" gerutu Steven kesal.
"Ehhh, iya iya! Aku dengar!" kata Ferlita.
"Nah, gitu dong," Steven tersenyum puas sambil terus memakan es krimnya.
Steven mengajak Ferlita pergi ke toko es krim. Awalnya, Ferlita menolak. Namun, Steven keras kepala.
"Katamu, kau akan mengajakku mencari pekerjaan. Nyatanya? Malah mengajakku makan es krim," gerutu Ferlita.
Steven tersenyum. "Aku memang akan mencarikanmu pekerjaan, kok,"
Steven berdiri, kemudian berjalan ke arah kasir. Ia berbicara sebentar dengan kasir itu, lalu masuk ke sebuah ruangan."Mau apa ya, Steven," gumam Ferlita bertanya-tanya.
Beberapa menit kemudian, Steven keluar. Ia tersenyum gembira."Ferlita! Kau diterima bekerja di toko es krim sebagai pramusaji! (atau apalah namanya itu)" kabar Steven gembira."Aku tidak suka bercanda,"
"Aku tidak bercanda! Kau bisa pastikan itu," Steven menarik tangan Ferlita menuju sebuah ruangan.
Ternyata, itu ruangan manager (atau apalah namanya itu) toko es krim itu.
"Jadi, ini gadis yang akan bekerja?" tanya manager itu ramah.
"Ya, Sir! Dia gadis yang giat bekerja!" jawab Steven.
"Perkenalkan, aku Mike McLewis," kata Mike.
"A..Aku Ferlita Middleton," kata Ferlita pelan.
"Ya! Kau akan bekerja disini mulai besok! Ini seragammu. Datanglah jam 7 tepat!" jelas Mike sambil memberikan seragam pada Ferlita.
Ferlita menerimanya. "Baiklah, terima kasih. Saya permisi.." Ferlita segera keluar.
Steven mengikutinya.
"Bagaimana? Cepat bukan, aku mencarikanmu pekerjaan?" kata Steven gembira.
"Terima kasih, Steven. Tapi, bagaimana bisa dengan cepatnya dia menerimaku sebagai pramusaji disini? Apa yang kau katakan padanya, Steven?" tanya Ferlita.
"Mudah. Dia itu pamanku," jawab Steven.
"Oh. Terima kasih banyak, Steven," ucap Ferlita sekali lagi.
"Sama-sama,"
Ferlita merenung.
"Aku... Harus pulang," ujar Ferlita.
"Pulanglah, Ferlita," kata Steven."Sebentar, es krim tadi harganya berapa?" tanya Ferlita.
"Kau tak usah membayarnya, Ferlita,"
"Apa? Tapi, aku tidak bisa.." tolak Ferlita.
"Tak usah dibayar. Atau pekerjaanmu aku ambil lagi," ancam Steven.
"Ups, baiklah baiklah. Aku akan pulang, terima kasih!" Ferlita berlalu.
Nah, apakah Ferlita bisa bekerja dengan bagus? Atau malah hancur? Dan, jejak kaki siapa tadi itu? Mau tahu ketegangan selanjutnya?
"Ferlita!" Terdengar suara Steven memanggilnya.
Ferlita masih terus berlari, menuju rumahnya. Hujan mulai turun. Angin bertiup semakin kencang. Ferlita akhirnya sampai juga. Di depan rumah, Lara menunggu dengan penuh rasa cemas. Ia segera menarik Ferlita masuk dan mengelap wajah Ferlita yang basah dengan handuk kering.
"Nona! Nona pergi kemana?! Saya sangat cemas! Lain kali, tolong pamitlah dahulu. Dan, cepat ganti baju Nona. Nanti Nona bisa sakit," kata Lara.
"Terima kasih, Lara. Aku hanya mencari pekerjaan," ucap Ferlita.
"Tidak perlu, Nona. Seharusnya saya saja yang mencari pekerjaan," larang Lara.
Ferlita menggeleng. Ia tersenyum hangat pada Lara. Lara tertegun. Ia baru tersadar, kalau wajah Ferlita lambat laun menjadi mirip dengan wajah Ibunya. Mrs.Middleton. Seakan-akan, Lara telah melihat Mrs.Middleton tersenyum kepadanya. Ferlita masuk ke kamarnya. Bajunya basah terguyur air hujan. Ia segera menggantinya.
***
Ferlita keluar dari kamar. Tampak Lara sedang menghidangkan telur goreng. Masing-masing satu di sebuah piring.
"Untuk Nona, dan untuk saya," kata Lara.
"Tidak, Lara. Untukmu saja," tolak Ferlita halus.
"Nona bisa sakit. Jika Nona tidak mau makan, saya juga tidak akan mau makan,"
Ferlita luluh juga. Ia akhirnya mau makan, walaupun cuma sedikit. Lara, pembantunya itu sangat setia. Lara menganggap Ferlita seperti anaknya sendiri. Ia begitu sayang pada Ferlita.
"Besok, aku akan mencari pekerjaan," kata Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona, biar saya saja yang mencari pekerjaan,"
"Besok hari Sabtu bukan? Aku akan berjalan-jalan sembari mencari pekerjaan," Ferlita tersenyum.
Lara menghela napas. Ferlita tetap teguh pada pendiriannya, ingin mencari pekerjaan. Tak ada yang bisa menggoyahkannya.
***
Keesokan harinya...
Ferlita berjalan-jalan di trotoar kota Cornhead. Mobil jarang berlalu lalang. Mungkin, karena perkantoran libur. Ferlita berbelok. Mungkin saja, ada usaha atau toko kecil-kecilan yang membuka lowongan pekerjaan. Namun..
Tidak ada.
Yang ada, cuma sebuah taman. Mata Ferlita menatap taman itu dengan sendu.
"Ayah... Ibu..." desah Ferlita.
Dulu, Ayah dan Ibunya sering mengajak Ferlita bermain di taman itu. Sebelum mereka meninggal. Ya, tentu saja. Tanpa terasa, kaki Ferlita melangkah ke taman itu. Suara anak-anak yang sedang bermain semakin terdengar.
BRUK!Ferlita menabrak tong sampah di taman, sehingga semua sampah berserakan keluar. Rupanya, Ferlita tidak sadar ada tong sampah besar itu.
"Aww..." rintih Ferlita pelan.
"Ya ampun!" seru seseorang.
Ferlita menoleh. Seorang tukang sapu taman menggeram marah.
"Kau..." geram tukang sapu itu.
"Ah, maafkan aku!" sesal Ferlita.
"Sapu semua sampah ini! Kau harus menyapunya sampai bersih, seperti sedia kala!" perintah tukang sapu itu marah.
"Ah, baiklah," kata Ferlita.
Ia segera mengambil sapu dan serokan, lalu menyapu semua sampah itu dengan cepat. Hingga tak ada lagi sampah yang berserakan.
"Sudah, Sir," ucap Ferlita.
Tukang sapu itu mengangguk-angguk.
"Hati-hati kalau berjalan!"
"Ya. Boleh aku bertanya?" tanya Ferlita.
"Apa?""Apakah ada lowongan pekerjaan di sekitar sini?" tanya Ferlita.
Tukang sapu itu berpikir.
"Sepertinya, tidak ada," ketusnya. "Carilah pekerjaan di tempat lain,"
Ferlita mengangguk lesu. "Terima kasih, Sir,"
Tukang sapu itu cuma mengangguk kembali. Ferlita kembali berjalan. Mencari lowongan pekerjaan. Ahh... Sebuah toko menarik perhatian Ferlita. Sebuah toko kue!
"Dulu kan, aku sering membuat kue. Dan.. Aku suka memasak," gumam Ferlita.
Ferlita akhirnya masuk ke toko kue itu. Ia menghampiri gadis penjaga.
"Maaf, adakah lowongan pekerjaan disini?" tanya Ferlita.
Gadis itu menggeleng. "Maaf, Nona. Tidak ada lowongan pekerjaan,"
"Ya, terima kasih," Ferlita segera keluar dari toko kue itu.
Ia menghela napas. Sulit sekali mendapatkan pekerjaan.
"Ah, sebaiknya aku pergi ke pemakaman saja," kata Ferlita. "Aku ingin mengunjungi Ayah dan Ibu,"
***
Sesampainya di pemakaman...
Ferlita berjalan menelusuri pemakaman itu. Ia membaca satu persatu nisan yang ada di situ. Sampai akhirnya, Ferlita sampai di makam orang tuanya. Di sebelah kiri makam Ayahnya, dan sebelah kanan makam Ibunya.
"Ayah... Ibu... Kenapa kalian harus pergi meninggalkanku?" bisik Ferlita sedih.
Ferlita meraba tanah makam Ayah dan Ibunya. Mata Ferlita terbelalak. Ada yang aneh... Tanahnya...
BASAH!
DHEG! Tidak mungkin! Ayah dan Ibunya saja dimakamkan tahun lalu! Tidak mungkin, jika tanahnya masih basah? Dan, terlihat baru? Ferlita mengenali tanah itu. Itu tanah pemakaman yang baru digali!
"Ba..Bagaimana ini bisa terjadi?!" tanya Ferlita kaget.
Jantungnya berdebar kencang.
"Hai.." Seseorang menepuk bahunya.
"AAA!!" jerit Ferlita kaget.
"Aww! Teriakanmu keras sekali, sih!" gerutu orang itu.
Ferlita berbalik. Itu... Steven!
"S-Steven?! Mau apa kau kemari?!" tanya Ferlita ketus.
"Aku? Aku cuma sedang berjalan-jalan di sekitar sini. Dan aku melihatmu. Kau sendiri?" Steven balik bertanya.
"Aku... Mengunjungi makam orang tuaku," jawab Ferlita.
"Tidak baik kau sedih terus menerus. Lihat dirimu," Steven memegang kepala Ferlita yang menunduk, lalu mendongakkannya.
"A-Apa?!" tanya Ferlita panik.
"Lihat matamu. Matamu yang dulu sangat penuh semangat dan seakan bercahaya, kini telah redup. Kulit wajahmu yang menjadi kusam. Begitu pula dengan rambutmu. Menjadi cokelat kemerahan! Orang tuamu pasti kecewa," ucap Steven.
"Bi..Biar saja! Aku tidak peduli!" Ferlita membuang muka.
Steven tertawa. "Hahaha! Kenapa kau ini, heh? Dulu atau sekarang, kau masih sama saja! Sombong!" cetus Steven.
"Aku tidak sombong!" bantah Ferlita.
"Kau sombong! Menurutku, kau sombong," tukas Steven.
Ferlita diam. Ia tidak mau lagi berdebat dengan si aneh Steven.
"Kenapa diam, heh?" tanya Steven.
"Memangnya, aku tidak boleh diam!?" ketus Ferlita.
"Tidak!" kata Steven sambil tertawa.
Ferlita kembali diam. Ia agak jengkel dengan Steven."Hei, jangan disini, ya! Agak menyeramkan," kata Steven.
"Lalu?" tanya Ferlita datar.
"Kita ke tempat lain saja, yuk! Hitung-hitung mencari pekerjaan. Ayo!" Steven menarik tangan Ferlita.
"Ehh, tunggu!" seru Ferlita kewalahan.
Ferlita menoleh ke makam orang tuanya sambil terus berlari.
DHEG!
Tampak ada jejak kaki dari makam orang tuanya ke pintu keluar lain! Wajah Ferlita langsung pucat. Namun, ia cepat mengalihkan pandangannya. Siapa tahu, itu jejak kaki orang lain.
Benarkah?
***
"Es krim disini enak sekali, kan!" Ucapan Steven membuyarkan lamunan Ferlita."Eh?"
"Kau sedari tadi mendengarkan aku bicara atau tidak, sih!" gerutu Steven kesal.
"Ehhh, iya iya! Aku dengar!" kata Ferlita.
"Nah, gitu dong," Steven tersenyum puas sambil terus memakan es krimnya.
Steven mengajak Ferlita pergi ke toko es krim. Awalnya, Ferlita menolak. Namun, Steven keras kepala.
"Katamu, kau akan mengajakku mencari pekerjaan. Nyatanya? Malah mengajakku makan es krim," gerutu Ferlita.
Steven tersenyum. "Aku memang akan mencarikanmu pekerjaan, kok,"
Steven berdiri, kemudian berjalan ke arah kasir. Ia berbicara sebentar dengan kasir itu, lalu masuk ke sebuah ruangan."Mau apa ya, Steven," gumam Ferlita bertanya-tanya.
Beberapa menit kemudian, Steven keluar. Ia tersenyum gembira."Ferlita! Kau diterima bekerja di toko es krim sebagai pramusaji! (atau apalah namanya itu)" kabar Steven gembira."Aku tidak suka bercanda,"
"Aku tidak bercanda! Kau bisa pastikan itu," Steven menarik tangan Ferlita menuju sebuah ruangan.
Ternyata, itu ruangan manager (atau apalah namanya itu) toko es krim itu.
"Jadi, ini gadis yang akan bekerja?" tanya manager itu ramah.
"Ya, Sir! Dia gadis yang giat bekerja!" jawab Steven.
"Perkenalkan, aku Mike McLewis," kata Mike.
"A..Aku Ferlita Middleton," kata Ferlita pelan.
"Ya! Kau akan bekerja disini mulai besok! Ini seragammu. Datanglah jam 7 tepat!" jelas Mike sambil memberikan seragam pada Ferlita.
Ferlita menerimanya. "Baiklah, terima kasih. Saya permisi.." Ferlita segera keluar.
Steven mengikutinya.
"Bagaimana? Cepat bukan, aku mencarikanmu pekerjaan?" kata Steven gembira.
"Terima kasih, Steven. Tapi, bagaimana bisa dengan cepatnya dia menerimaku sebagai pramusaji disini? Apa yang kau katakan padanya, Steven?" tanya Ferlita.
"Mudah. Dia itu pamanku," jawab Steven.
"Oh. Terima kasih banyak, Steven," ucap Ferlita sekali lagi.
"Sama-sama,"
Ferlita merenung.
"Aku... Harus pulang," ujar Ferlita.
"Pulanglah, Ferlita," kata Steven."Sebentar, es krim tadi harganya berapa?" tanya Ferlita.
"Kau tak usah membayarnya, Ferlita,"
"Apa? Tapi, aku tidak bisa.." tolak Ferlita.
"Tak usah dibayar. Atau pekerjaanmu aku ambil lagi," ancam Steven.
"Ups, baiklah baiklah. Aku akan pulang, terima kasih!" Ferlita berlalu.
Nah, apakah Ferlita bisa bekerja dengan bagus? Atau malah hancur? Dan, jejak kaki siapa tadi itu? Mau tahu ketegangan selanjutnya?
Wind (1)
Angin bertiup kencang di Cornhead, di New York, AS. Angin kencang itu menandakan akan terjadi badai kencang seperti tahun lalu. Semua penduduk masuk ke dalam rumah, dan cuma berani mengintip dari jendela. Angin semakin kencang. Sampah-sampah terbang terbawa angin. Langit sangat gelap. Seolah matahari sedang bersembunyi. Seorang gadis berambut coklat mengintip dari jendela rumahnya. Matanya yang berwarna abu-abu, menatap suasana diluar.
Tangannya gemetar.
"Ferlita..." Seorang wanita paruh baya menghampirinya.
Gadis yang bernama Ferlita itu menoleh.
"Ya?"
"Sebaiknya, Nona pergi ke kamar. Tidak baik jika Nona terus berdiri disini, menatap badai," ucap wanita paruh baya itu.
Ferlita merenung.
"Biarkan aku disini, Lara," kata Ferlita akhirnya.
Lara, wanita paruh baya itu menghela napas.
Ferlita Middleton... Dia anak bangsawan Edward dan Clara. Umurnya enam belas tahun. Dan, di hari itu.... Saat sebuah badai besar menerpa kota Cornhead. Badai yang sangat besar. Terjadi setahun yang lalu. Tepatnya, 12 Februari 2004..
12 Februari 2004..
"Diperkirakan hari ini akan terjadi badai besar di kota Cornhead. Kami berpesan agar warga Cornhead tetap berada di rumah," Begitu suara pembawa laporan cuaca di televisi.
Ferlita yang sedang menonton televisi menjadi panik."Lara!" panggil Ferlita.
"Ya, Nona!" Lara, pembantu di kediaman Middleton, segera tergopoh-gopoh menghampiri Ferlita.
"A..Apakah Ayah dan Ibuku sudah pulang? Atau, mereka menelepon kita tadi?" tanya Ferlita panik.
Lara menggeleng. "Tuan dan Nyonya belum pulang. Mereka juga tidak menelepon kita," jawab Lara.
Ferlita menghela napas sedih. "Padahal, badai besar akan terjadi! Bagaimana ini!?" keluh Ferlita.
"Kita telepon Tuan dan Nyonya saja, Nona," kata Lara.
Ferlita mengangguk. Dengan cepat, ia mengambil handphone-nya dan segera menelepon orang tuanya. Namun, tidak ada sinyal.
"Sial!" umpat Ferlita.
"Bagaimana, Nona?" tanya Lara.
"Tidak ada sinyal!"
Lara tidak punya solusi.
DUAAAARR!!
Petir menyambar-nyambar. Pet! Listrik mati. Semua menjadi gelap. Ditambah, langit diluar juga sangat gelap. Seolah tidak ada matahari. Dan suara angin yang bertiup sangat kencang. Ferlita dan Lara semakin panik.
"Aku harus menelepon mereka," kata Ferlita.
Ia mengambil handphonenya, dan menelepon orang tuanya lagi. Ada sinyal, namun, nomornya tidak aktif.
"Sekarang tidak aktif! Ada apa sebenarnya ini!" kata Ferlita mulai ketakutan.
"Tenanglah, Nona. Mungkin saja, baterai handphone mereka habis," Lara berusaha menenangkan anak majikannya itu.
"Bagaimana aku bisa tenang!" Ferlita duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Cemas, takut, dan marah.
Tiga jam...
Suara handphone Ferlita berbunyi. Ternyata, orang tuanya.
"Orang tuaku menelepon!" seru Ferlita gembira.
Ferlita mengangkatnya.
"Halo, ayah? Ibu?" kata Ferlita.
"Maaf, apakah ini Ferlita Middleton?" tanya suara disamping.
"Ya, saya sendiri. Ada apa?" Ferlita balik bertanya.
" Maafkan saya, Nak. Mobil Ayah dan Ibumu jatuh ke laut di jembatan, karena tertabrak mobil bus besar," jawab suara disamping. "Dan sekarang, mereka ada di rumah sakit Peach Flower,"
Rasanya, Ferlita seperti tidak punya tenaga lagi. Ia jatuh terduduk. Air mata mulai mengalir dari matanya.
"Apa?! Itu tidak mungkin! Jangan bercanda! Ini bukan waktu untuk bercanda!" teriak Ferlita marah dan sedih.
"Saya minta maaf, tapi memang itu yang terjadi. Dan Nona Ferlita Middleton diharapkan dapat segera ke rumah sakit Peach Flower sekarang. Kamar VIP 310," Orang di seberang mematikan teleponnya.
Ferlita melepaskan teleponnya. Air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak percaya pada kenyataan. Ferlita menoleh pada Lara.
"Lara! Kita ke rumah sakit Peach Flower sekarang!" kata Ferlita.
"Apa? Nona? Untuk apa?" tanya Lara bingung.
"Biar kujelaskan nanti!" Ferlita langsung berjalan menuju garasi.
Ia masuk ke dalam mobil sedan miliknya. Ferlita tidak peduli kalau ia belum memiliki SIM. Yang penting, Ferlita bisa ke rumah sakit Peach Flower sekarang. Lara mengikuti dari belakang, setelah mengunci pintu.
"Masuk, Lara!" perintah Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona? Untuk apa Nona..""Sudah! Masuk saja!" potong Ferlita kasar.
Lara terdiam, lalu masuk ke mobil. Lara tahu betul sikap anak majikannya yang kalau sedang marah atau sedih akan menjadi kasar. Dan Lara memaklumi itu.
Ferlita mengeluarkan mobil dari garasi, lalu menancap gas menuju rumah sakit Peach Flower dengan kecepatan tinggi. Tak dipedulikan badai yang masih berlangsung. Setelah kira-kira 10 menit, mereka sampai juga di rumah sakit Peach Flower. Ferlita memarkir mobilnya, lalu berlari ke dalam rumah sakit. Ia menuju resepsionis.
"Per..Permisi! Apakah, ada yang dirawat di rumah sakit ini yang bernama Edward dan Clara Middleton?" tanya Ferlita.
"Biar saya periksa dulu," Resepsionis itu memeriksa buku catatan list-nya.
Ia kemudian mengangguk.
"Ya, mereka ada di kamar VIP nomor 310," jawab Resepsionis.
Tanpa basa-basi, Ferlita langsung berlari ke kamar VIP nomor 310. Lara mengikutinya dari belakang. Di lorong, tampak tetesan darah.
Di depan pintu kamar 310...
Ferlita terhenyak. Orang tuanya berbaring di ranjang dengan kepala, tangan, dan kaki diperban. Darah terlihat jelas. Ferlita bisa melihatnya, karena pintunya terdapat kaca.
"A-Ayah... Ibu.."
"Astaga! Tuan dan Nyonya?!" seru Lara kaget melihat majikannya terbaring lemah.
Seorang dokter keluar.
"Do..Dokter! Bagaimana.. Bagaimana keadaan orang tua saya?!" tanya Ferlita.
"Anda..?"
"Saya Ferlita Middleton, anak Edward dan Clara Middleton," jelas Ferlita.
Dokter menghela napas. "Orang tuamu... Ibumu sudah meninggal, karena pembuluh darah besarnya pecah dan nadinya tergores cukup dalam. Dan Ayahmu koma," jelas Dokter. "Walau begitu, saya tidak tahu apakah Ayahmu bisa diselamatkan lagi atau tidak,"
Ferlita langsung terjatuh.
"Dokter, tolong selamatkan Ayah saya. Saya mohon!" tangis Ferlita.
"Saya hanya bisa membantu. Tapi, Tuhan yang menentukan," ucap Dokter.
Tiiiiiittt...... Detak jantung Ayah Ferlita di penampang tv (saya tidak tahu namanya apa-,-) terlihat rata. Tanda Ayah Ferlita sudah meninggal dunia. Ferlita menatapnya dengan kaget.
"AYAAAAHHH!! IBUUUUU!!!!"
***
Sejak kematian orang tua Ferlita, Ferlita jatuh miskin. Ia tidak bisa mengatur uanya. Untuk mencukupi kebutuhan mereka, Ferlita dan Lara berusaha bekerja. Ferlita juga putus sekolah.
Sekolahnya mahal, dan Ferlita tidak sanggup membayarnya. Maka, ia lebih memilih berhenti sekolah.
***
"Akankah, ada yang meninggal lagi di badai ini," gumam Ferlita.
"Nona, jangan bicara begitu," tegur Lara.
Ferlita menghela napas. "Aku masih tidak bisa melupakan orang tuaku,"
Lara tidak tahu harus bicara apa lagi.
"Lara, apakah masih ada makanan?" tanya Ferlita.
"Hanya ada dua butir telur, Nona," jawab Lara.
"Untukmu saja, Lara. Kau sudah bekerja keras," ucap Ferlita.
"Apa? Tapi, Nona, saya tidak bisa..""Sudah! Itu untukmu saja. Aku tahu dari kemarin kau belum makan," potong Ferlita.
"Baiklah, Nona,"
Ferlita kembali menatap langit. Matanya melirik Lara yang sedang berjalan ke dapur."Bagus," gumam Ferlita.
Ia segera keluar diam-diam dari rumah..
***
Ferlita memeluk dirinya sendiri. Udara di luar sangat dingin, dan suasananya... Sangat mengerikan. Untungnya, saat itu tidak hujan.
Ia baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai tukang cuci piring di restoran. Itu karena, Ferlita selalu memecahkan piring atau gelas.
"Dimana lagi aku bisa mencari pekerjaan.." gumam Ferlita.
Tidak ada lowongan pekerjaan.
Bruk!
Sebuah koran terbang dan menubruk wajahnya.
"Aww.." rintih Ferlita pelan.
Ia segera menggenggam koran itu.
"Aku tak akan diterima bekerja di pabrik," kata Ferlita pada dirinya sendiri. "Aku cuma lulusan SMP. Dan SMA tidak lulus," desah Ferlita sedih.
Seandainya, orang tuanya masih ada. Tentu, Ferlita tak usah kesana kemari mencari pekerjaan. Di usianya yang harusnya masih sekolah.
"Kenapa kau keluar disaat begini?"
Ferlita menoleh ke asal suara. Ia kira itu Lara. Namun...
Itu seorang lelaki.
Sepertinya, Ferlita mengenalinya.
"Steven!" seru Ferlita kaget.
Steven Johnson, adalah teman sekelasnya di SMA.
"Huh, berhenti sekolah. Kau sama saja seperti Tessy," olok Steven.
"A..Aku.." Ferlita berhenti bicara.
Ia teringat akan Tessy. Temannya, yang berhenti sekolah. Dulu, Ferlita sangat mengejeknya. Dan sekarang?
Ia sendiri berhenti sekolah.
"Nggak usah terlalu dipikirin. Yang tadi aku cuma bercanda," kata Steven.
Ferlita mengangguk. "Ya,"
"Kenapa kau keluar disaat begini?" tanya Steven."Kau sendiri sama," tukas Ferlita.
Steven terkekeh. "Aku tidak ada kerjaan di rumah. Kau?"
"Aku..." Ferlita malu mengatakan yang sebenarnya. "Aku.. Mencari pekerjaan," jawab Ferlita akhirnya.
Mata Steven terbelalak, kemudian tertawa keras.
"Hahaha! Mencari pekerjaan?! Anak bangsawan Middleton?!! Hahaha!!" tawa Steven keras.
"Diam!" bentak Ferlita sambil melempar koran yang dipegangnya ke wajah Steven.
"Aw!"
Steven berhenti tertawa. Ia menatap Ferlita yang menatapnya dengan marah. Sangat marah."Tidak usah mengejekku begitu!!" kata Ferlita marah.
"Aku cuma bercanda!" bantah Steven.
"Kau... Kau tidak mengerti perasaanku, sangat sedih kehilangan orang tuaku! Aku tidak peduli dengan kekayaan, aku cuma ingin orang tuaku!!" seru Ferlita.
Matanya berkaca-kaca. Steven merasa bersalah.
"Kenapa... Kenapa ini terjadi padaku?" isak Ferlita.
"Maafkan aku, tadi aku... Kelepasan bicara! Maaf!" ucap Steven.
"Kenapa!? Kenapa.. Orang tuaku harus pergi? Kenapa?!"
"Jangan menangis lagi, hei!" seru Steven sambil menyeka air mata Ferlita.
Ferlita tertegun. Ada sebuah perasaan menyelinap begitu Steven menyeka air matanya.
"Maaf aku sudah mengejekmu," kata Steven.
Ferlita menggeleng. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ia segera berlari pulang meninggalkan Steven yang masih tertegun.
Langganan:
Postingan (Atom)