CINTA KASIH SEORANG AYAH
 
 Follow twitter: @kutipanhikmah
 
 Ayah di dalam kamar, beberapa kali batuk-batuk. "Cinta ayahmu kepadamu 
luar biasa, tetapi lebih banyak disimpan dalam hati karena kau 
perempuan." kata ibu. Aku mendengarkan ibu dengan heran.
 
 
"Ketika kau melanjutkan kuliah ke Jakarta dan aku bersama ayahmu 
mengantarmu ke stasiun, kau dan aku saling berpelukan. Ayahmu hanya 
memandang. Dia bilang juga ingin 
memelukmu, tapi sebagai laki-laki tak lazim memeluk anak perempuan di 
depan banyak orang, maka dia hanya menjabat tanganmu lalu berdiri sampai
 kereta itu menghilang." kata ibu.
 
 "Ibu memang sering 
menelponmu. Tahukah kau, itu selalu ayahmu yang menyuruh dan 
mengingatkan. Mengapa bukan ayahmu sendiri yang menelponmu? Dia bilang, 
"Suaraku tak selembut suaramu. Anak kita harus menerima yang terbaik."
 
 "Ketika kamu diwisuda, kami duduk di belakang. Ketika kau ke panggung 
dan kuncir togamu dipindahkan rektor, ayahmu mengajak ibu berdiri agar 
dapat melihatmu lebih jelas. "Alangkah cantiknya anak kita ya bu," kata 
ayahmu sambil menyeka air matanya.
 
 Mendengar cerita ibu di 
ruang tamu dadaku sesak, mungkin karena haru atau rasa bersalah. Jujur 
saja selama ini kepada ibu aku lebih dekat dan perhatianku lebih besar. 
Sekarang tergambar kembali kasih sayang ayah kepadaku. Aku teringat 
ketika naik kelas 2 SMP aku minta dibelikan tas. Ibu bilang ayah belum 
punya uang.
 
 Tetapi sore itu ayah pulang membawa tas yang 
kuminta. Ibu heran. "Tidak jadi ke dokter?" tanya ibu. "Kapan-kapan 
saja. Nanti minum jahe hangat, batuk akan hilang sendiri." kata ayah. 
Rupanya biaya ke dokter, uangnya untuk membeli tasku, memberi 
kegembiraan hatiku dengan mengorbankan kesehatannya.
 
 "Dulu 
setelah prosesi akada nikahmu selesai, ayahmu bergegas masuk ke kamar. 
Kau tahu apa yang dilakukan?" tanya ibu. Aku menggeleng.
 
 
"Ayahmu sujud syukur sambil berdoa untukmu. Air matanya membasahi 
sajadah. Dia mohon agar Allah melimpahkan kebahagiaan dalam hidupmu. 
Sekiranya kau dilimpahi kenikmatan, dia mohon tidak membuatmu lupa 
dzikir kepada-Nya. Sekiranya diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara
 Tuhan meningkatkan kualitas hidupmu. Lama sekali dia sujud sambil 
terisak. Ibu mengingatkan banyak tamu menunggu. Dia lalu keluar dengan 
senyuman tanpa ada bekas air di pelupuk matanya."
 
 Mendengar itu
 semua, air mataku tak tertahan lagi, tumpah membasahi pipi. Dari kamar 
terdengar ayah batuk lagi. Aku bergegas menemui ayah sambil membersihkan
 air mata.
 
 "Kau habis menangis?" ayah menatapku melihat sisa 
air di mataku. "Oh, tidak ayah." aku tertawa renyah. Ku pijit betisnya 
lalu pundaknya. "Pijitanmu enak sekali seperti ibumu." katanya sambil 
tersenyum. Aku tahu, meski sakit, ayah tetap ingin menyenangkan hatiku 
dengan pujian. Itulah pertama kali aku memijit ayah. Aku melihat betapa 
gembira wajah ayah. Aku terharu.
 
 "Besok suamiku menyusulku, 
ambil cuti seminggu seperti aku. Nanti sore ayah kuantar ke dokter." 
kataku. Ayah menolak, "Ini hanya batuk ringan, nanti akan sembuh 
sendiri." "Harus ke dokter, aku pulang memang ingin membawa ayah ke 
dokter, mohon jangan tolak keinginanku." kataku berbohong.
 
 Ayah
 terdiam. Sebenarnya aku pulang hanya ingin berlibur, bukan ke dokter. 
Tapi aku berbohong agar ayah mau kubawa ke dokter. Aku bawa ayah ke 
dokter spesialis. Ayah protes lagi, dia minta dokter umum yang lebih 
murah. Aku hanya tersenyum.
 
 Hasil pemeriksaan ayah harus masuk 
rumah sakit hari itu juga. Aku bawa ke rumah sakit terbaik di kotaku. 
Ibu bertanya setengah protes, "Dari mana biayanya?" Aku tersenyum, "Aku 
yang menanggung seluruhnya bu. Sejak muda ayah sudah bekerja keras 
mencari uang untukku. Kini saatnya aku mencari uang untuk ayah. Aku 
bisa. Aku bisa bu."
 
 Kepada dokter aku berbisik, "Tolong lakukan yang terbaik untuk ayahku dok, jangan pertimbangkan biaya." Dokter tersenyum.
 
 Ketika ayah sudah di rumah dan aku pamit pulang, aku tidak menyalami, 
tetapi merangkul dengan erat untuk membayar keinginannya di stasiun 
dulu. "Seringlah ayah menelponku, jangan hanya ibu." kataku. Ibu 
mengedipkan mata sambil tersenyum.
 
 Dalam perjalanan pulang, aku
 berfikir, berapa banyak anak yang tidak paham dengan ayahnya seperti 
aku. Selama ini aku tidak paham betapa besar cinta ayah kepadaku.
 
 Hari-hari berikutnya aku selalu berdoa:
 
 "Rabbighfir lii wa li waalidayya warhamhuma kama rabbayaani shaghiira."
 
 Namun kini dengan perasaan berbeda. Terbayang ketika ayah bersujud pada
 hari pernikahanku sampai sajadah basah dengan air matanya.
 
 LIKE THIS
Sumber : Sudah Tahukah Anda? (Facebook) 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar