Sudah ada 7 orang yang dimasukkan ke ruang eksekusi kelas 7I dan  
diledakkan dengan bom rakitan Willy. Dan hasilnya, ruang eksekusi mereka
  menjadi kotor oleh darah dan bau oleh mayat yang membusuk. Siapa yang 
 mau disuruh membersihkan mayat?
Apalagi, setelah beberapa kejadian  pembunuhan, kelas 7I menjadi kelas 
yang bisa dibilang angker. Beberapa  anak indigo (dapat melihat makhluk 
ghaib) sering melihat penampakan di  sekitar kelas 7I. Anak 7I pun 
merasakan hawa-hawa aneh setiap kali  mereka berkumpul di kelas itu.
“Teman-teman,” kata Juliet, dengan  ekspresi khawatir. “Apa kalian 
merasa, di kelas ini ada hantunya? Aku  sering merinding setiap duduk di
 sofa atau bermain komputer.”
“Ya, aku juga merasakannya,” kata yang lain.
Keadaan  itu berlanjut sampai beberapa minggu. Bahkan, Charlene pernah 
menemukan  sebongkah kepala di dalam lokernya. Padahal, di kelas itu tak
 ada yang  mau membersihkan mayat dari ruang eksekusi dan anak kelas 
lain terlalu  lemah untuk menyentuh mayat. Sedangkan Nath, dia pernah 
ditarik oleh  makhluk ghaib ke perpustakaan, padahal jelas-jelas dia 
berjalan  sendirian. Dan minggu-minggu di sekolah itu semakin menakutkan
 bagi  mereka.
Hari Sabtu.
“Ya ampun, aku tak tahan lagi  berada di sini!” keluh Allison. Dia baru 
saja datang sambil ngos-ngosan  karena ada makhluk ghaib yang 
menggelayutinya.
“Aku juga, Al! Kau  ingat kan, dulu aku pernah menemukan kepala?” kata 
Charlene, kesal.  Apalagi setelah menemukan kecoak di dalam tasnya. 
“Astaga! Kecoak! Sejak  kapan kecoak ada di sini?”
Licorice mengangkat bahu. “Kita harus  pindah dari sekolah ini. Kita 
bisa saja membunuh murid lain, tapi itu  sama saja dengan menambah hantu
 di sekolah ini.”
Allison mengangguk, lalu diam. Tiba-tiba, “AHA! Aku tau!”
“Apa?” tanya Darren, tiba-tiba ikut dalam pembicaraan.
“Bibiku! Ya, Bibiku!”
“Kenapa dengan Bibimu?” tanya Thomas.
“Bibiku,  Mambo Loa, kan peramal! Dia punya Fortune Tell’s Shack! Pasti 
dia punya  sesuatu untuk menghilangkan makhluk halus yang mengganggu 
kita!” jelas  Allison berapi-api.
“Fortune Tell’s Shack? Di mana?” tanya Bryan, melirik sedikit ke arah Allison dan sejenak melupakan game War Craft yang sedang dimainkannya.
Allison mengetuk-ngetuk dahinya. “Em, di dekat sekolah ini, kok. Di dekat pertigaan di sana.”
“Oh.  Sekarang saja! Aku sudah nggak tahan lagi sama hantu-hantu jelek 
itu,”  usul Jerry. Mereka semua menyetujui, dan mereka langsung 
berangkat.
Fortune  Tell’s Shack milik Mambo Loa, bibi Allison, ternyata memang 
dekat  dengan sekolah mereka. Di sana, Mambo Loa sedang duduk di hadapan
 bola  kristal yang berputar.
“Bibi!” seru Allison. Mambo Loa mengangkat pandangannya dari bola kristalnya.
“Allison McFlamkins!”
“Apa kabar, Bi?” tanya Al lagi.
“Baik. Bagaimana denganmu dan kakakmu, Deddy? Baik-baik saja, kan?”
“Tentu saja, Bi.”
“Oh ya, untuk apa kau datang kemari?” tanya Bibi Loa (begitulah Allison memanggilnya) setelah mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
“Ehm.  Begini Bi, akhir-akhir ini di sekolah kami banyak makhluk halus 
yang  mengganggu kami. Kami jadi takut. Apa Bibi punya sesuatu untuk 
menangkal  makhluk-makhluk itu?”
Bibi Loa berpikir sejenak. “Sesuatu untuk menangkal makhluk ghaib? Jimat, maksudmu? Ya, ada. Sebentar, kucarikan dulu.”
Bibi  Loa masuk ke sebuah ruangan, dan anak-anak itu menunggu. Charlene 
dan  Licorice sejak tadi melongo melihat Bibi Loa. Mungkin karena mereka
  belum pernah melihat peramal secara langsung -_______-
Tak lama kemudian, Bibi Loa kembali. Di tangannya terdapat sebuah jimat berwarna biru, juga sebuah buku kwitansi.
“Ini dia, Allie,” kata Bibi Loa, menunjukkan jimat tersebut kepada Allison.
“Terima kasih, Bi,” kata Allison. “Teman-teman, ayo kita pulang.”
Bibi Loa melotot. “Pulang? Hei, tunggu dulu!”
“Ada apa lagi, Bi?” tanya Allison.
“Berani-beraninya  kalian pulang sebelum membayar jimat itu! Semua orang
 tau, tak ada yang  gratis di dunia ini. Termasuk semua barang yang 
berasal dari Fortune  Tell’s Shack. Jadi, kalian harus membayarnya!”
Anak-anak itu  saling menatap, dan mengecek saku mereka. Hampir tak ada 
yang memiliki  uang berlebih. Semuanya selalu menghabiskan uang mereka 
sendiri, untuk  hal-hal yang tak perlu.
“Memangnya berapa harganya?” tanya Bryan, yang memang anak orang kaya.
“Murah. Hanya 40 dolar,” jawab Bibi Loa enteng.
“40 dolar? Yang benar saja!” bisik Charlene kepada Licorice. Lic hanya mengangkat bahunya.
“Ayo,  cepat. Bilang saja kalian tak punya uang, dan kembalikan jimat 
itu.  Anak kecil memang belum saatnya menyentuh barang-barang seperti 
ini,”  sindir Bibi Loa. Charlene sudah mulai meraba pedang anggarnya. 
Ini  artinya, sebentar lagi akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
“Siapa yang kau maksud dengan anak kecil?” tanyanya dingin, sambil mengacungkan pedang anggarnya ke hidung Bibi Loa.
“Tentu saja kalian! Memangnya siapa lagi anak kecil di sini? Kalian!” jawab Bibi Loa.
“Grrh. Sekali lagi kau ucapkan kata itu, kau akan kehilangan kedua bola matamu,” ancam Charlene.
“Oh ya? Memangnya kau pernah menyentuh sebuah bola mata?” tanya Bibi Loa meremehkan.
“Tentu,”  Charlene merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah bola mata yang
 belum  sempat disimpannya di lemari koleksinya. Bola mata itu masih 
berlumuran  darah, dan otot-otot mata.
Bibi Loa menelan ludahnya. “Baiklah,  baiklah. Aku tak ingin kehilangan 
bola mataku. Sebutkan apa lagi yang  kalian butuhkan, aku akan 
memenuhinya.”
“Kalau begitu, beri kami masing-masing satu jimat,” kata Darren memutuskan.
“Jimat apa?” tanya Bibi Loa, menatap pedang anggar Charlene dengan takut.
“Jimat  yang sesuai dengan kami. Kau pasti punya banyak sekali jimat, 
kan?”  tanya Thomas. Dia merasa kesal karena peramal tidak tau kebutuhan
  mereka.
“Tentu saja… Baiklah, silakan masuk,” ajak Bibi Loa.  Mereka pun 
mengikuti wanita itu ke dalam ruang pribadinya, tempat dia  menyimpan 
jimat. “Berbarislah, anak-anak. Aku akan memberi kalian  masing-masing 
satu jimat.”
Anak-anak langsung berbaris. Bibi Loa  meramal mereka sekaligus memberi 
mereka masing-masing sebuah jimat.  Juliet dengan rajin mencatat jimat 
apa saja yang didapat teman-temannya.
Alice               = Kekuatan penuh
Allison            = Tepat sasaran
Andrea           = Anti mati
Angus            = Lari cepat
Bryan            = Invisible
Charlene        = Anti luka + anti mati
Darren           = Ahli strategi
Emma            = Bijaksana + anti mati
Flo                 = Gesit
Jane              = Anti mati
Jerry             = Tepat sasaran + Anti luka
Jim                = Kekuatan penuh
Juliette          = Cerdik + Menulis cepat
Licorice          = Penyembuh
Luna              = Tepat sasaran
Nathline         = Pemberani + anti racun
Neilson           = Anti mati
Nick               = Anti mati
Patrick           = Anti luka
Thomas                   = Anti racun
Veronica         = Anti mati
Willy             = Mechanical skill
~~~~~~~~~*
“Terima  kasih, Bibi Loa,” ucap anak-anak. Bibi Loa hanya mengangguk,  
sekali-sekali melirik ke arah pedang anggar yang sedang digenggam  
Charlene, khawatir pedang itu akan melukainya. Dia menghembuskan nafas  
lega begitu anak-anak itu pergi dari Fortune Tell’s Shack-nya.
“Aku akan mengunci rapat pintu Fortune Tell’s Shack-ku dari mereka. Mereka telah membuatku bangkrut,” keluhnya.
Di kelas 7I.
“Kita harus segera memasang jimat ini!” kata Allison sambil menunjukkan jimat biru yang pertama kali ditunjukkan oleh Bibi Loa.
“Di depan pintu saja,” usul Darren. Yang lain setuju, dan mulai memasang jimat tersebut.
Selesai memasang, mereka duduk melingkar di tengah karpet, sambil memegang jimat masing-masing.
“Memangnya jimat ini beneran ampuh?” tanya Jerry ragu.
“Tentu  saja! Sudah banyak orang datang ke Fortune Tell’s Shack dan 
mereka  mendapat keberuntungan,” jawab Allison, membela Bibinya.
“Masalahnya  Al, kita dapat ini kan sambil ngancam Bibimu. Nanti Bibimu 
nggak rela,  dan jimat ini sama sekali nggak ada khasiatnya. Percuma aja
 kita ke  sana,” protes Jerry.
“Diamlah! Tentu saja keberuntungan itu tak  langsung datang. Kita harus 
tunggu beberapa lama, baru keberuntungan  akan datang!” kata Allison, 
membuat Jerry kembali terdiam.
3 hari kemudian.
“Rasanya jimat ini tak berguna sama sekali,” keluh Juliet.
“Memangnya kenapa?” tanya Allison, merasa jimatnya baik-baik saja.
“Bibi  Loa mengatakan, dengan jimat ini aku bisa menulis cepat. Tapi apa
  hasilnya? Kecepatan menulisku biasa-biasa saja,” jelas Juliet.
“Mungkin  menulis cepat hanya dilakukan di saat-saat tertentu. Tapi 
Juliet,  kuperhatikan akhir-akhir ini kau semakin suka menulis dan 
sebentar saja  kau sudah membuat paling tidak 2 lembar tulisan.”
“Oh ya?”
“Iya!”
“Kalau begitu, mulai sekarang Juliet jadi pencatat laporan kita,” kata Darren, tiba-tiba ikut nimbrung.
Juliet mendelik. “Pencatat laporan? Apa maksudmu? Laporan apa?”
“Laporan  mengenai siapa saja yang kita bunuh, tanggal berapa, di mana 
lokasinya,  yah, semua yang berhubungan dengan aksi pembunuhan kita,” 
Darren  menjelaskan.
“Oh, baiklah. Daripada aku diam saja melihat aksi pembunuhan yang kalian lakukan,” kata Juliet akhirnya.
“Kalau begitu, sekarang kita harus apa?” tanya Darren berlagak bodoh. Padahal, jelas-jelas dia adalah ahli strategi di kelas 7I.
“Tentu saja membunuh. Tapi membunuh siapa? Itu yang jadi pertanyaan,” jawab Charlene, meskipun dia juga bertanya.
“Guru-guru,”  ucap Allison pelan. Hal ini bukannya menjawab pertanyaan 
Charlene, tapi  memberitahu teman-temannya bahwa ada guru yang datang.
“Anak-anak,” kata guru tersebut. “Saya mendapat laporan bahwa kalian suka membunuh. Apa itu benar?”
“Memang apa buktinya, Ma’am?” Licorice balik bertanya.
“Anak-anak  kelas reguler mengaku melihat kalian melakukan pembunuhan. 
Sebelumnya,  jawab pertanyaan saya. Benarkah kalian membunuh?”
“Tidak,” jawab Charlene dingin.
“Kalau  memang kalian tidak membunuh, untuk apa kalian membawa senjata 
tajam?  Miss Courtland, bisa kau jelaskan semua ini? Kenapa kau membawa 
senjata  itu?”
Charlene mengeluarkan pedang anggarnya. “Ini? Ini memang bukan untuk membunuh. Ini untuk menyiksa, Ma’am.”
Perlahan, Charlene maju ke hadapan gurunya. Kedua bola mata guru itu pun jatuh ke tangan Charlene.
Jaga bola matamu baik-baik sebelum pedang Charlene sempat menyentuhnya.
Pepatah  yang sangat tepat digunakan ketika anak kelas lain atau malah 
guru-guru  bertemu dengan Charlene Courtland dan pedang anggarnya. 
Berita  kekejaman Charlene sudah tersiar kemana-mana.
“Semua orang  sekarang takut sama kamu, Charl,” kata Licorice, ketika 
mereka sedang  asyik makan roti di gazebo. “Lihat saja. Setiap kamu 
lewat, mereka  langsung lari terbirit-birit. Huh, aku jadi kesal.”
“Kesal kenapa?” tanya Charlene.
“Aku  iri. Kenapa mereka nggak takut padaku,” keluh Licorice. “Oh ya, 
kamu  harus jaga sikapmu, Charl. Nanti Wira nggak mau sama kamu.”
“Siapa peduli.”
“Tentu saja kamu harus peduli! Ada apa dengan Wira? Apa dia menyakitimu?”
“Tak ada lelaki yang berani menyakitiku. Pedang anggarku akan segera bekerja.”
“Terus, ada apa?”
“Nggak papa. Aku malas. Sudahlah, Lic, jangan membicarakan anak itu lagi. Aku bosan.”
Licorice  menurut, jadi dia diam saja. Selesai makan, mereka berjalan di
 koridor  anak reguler, dan anak-anak itu langsung menciut setiap kali 
Charlene  melewati mereka. Pandangan mereka tertuju pada pedang anggar 
Charlene,  yang bisa saja dikeluarkan kapanpun Charlene mau.
Charlene sendiri  biasa saja, dia hanya mengeluarkan pedangnya di saat 
yang benar-benar  diperlukan. Tetapi, tetap saja semboyan itu 
disalahartikan sebagai, “Charlene Courtland adalah maniak bola mata”.
Keesokan harinya, terrible day for Charlene.
“Gawat!  Pedangku, pedangku!” seru Charlene, panik. Dia masih memakai 
piyama dan  rambutnya berantakan. Licorice, yang sekamar dengannya, ikut
 bangun dan  panik.
“Kenapa pedangmu?”
“Hilang! Padahal semalam aku meletakkannya di sebelah bantalku, seperti biasa!”
“Pasti  ada yang mencurinya! Lihat, pintu kita tidak terkunci. Padahal, 
semalam  jelas-jelas aku mengunci pintu. Kenapa ada yang bisa masuk?”
“Masalahnya adalah, pedangku hilang dan aku tak bisa melakukan apapun tanpa pedangku.”
Licorice menatap Charlene prihatin. “Tenang. Aku dan teman-teman akan membantumu, Charl.”
“Terima kasih, Licorice,” ucap Charlene, terharu. Licorice hanya mengangguk.
“Sekarang, kau mandi, lalu kita ke kelas. Oke?”
“Oke, Lic.”
Siang  itu, di 7I sangat ribut. Semuanya membahas tentang hilangnya 
pedang  anggar Charlene yang keramat dan ditakuti anak satu sekolah. 
Mereka  mengkhawatirkan nasib Charlene nantinya. Dengan hilangnya pedang
 itu,  semua orang pasti akan menindas Charlene.
“Tenang, Charlene. Kami akan membantumu,” Allison menenangkan Charlene. Charlene hanya mengangguk dengan wajah cemas.
Darren  juga iba pada Charlene. Oleh karena itu, dia berkata, “Bryan, 
pergilah  memata-matai anak-anak di sekolah ini. Bawa binokular Emma dan
 walkie  talkie ini.”
“Baiklah,” kata Bryan.
“Darren, bolehkah aku ikut? Aku juga ingin membantu,” pinta Angus.
“Baiklah.  Karena kau bisa berlari cepat, kau memperhatikan lebih dulu 
secara  sekilas, baru Bryan yang memperhatikan secara detil.”
Angus dan  Bryan menurut, dan menjalankan tugas mereka. Charlene ditahan
 Allison di  sofa, tak boleh ke mana-mana. Sebab, kata Allison, kalau 
Charlene  beranjak dari sofa, anak-anak kelas lain akan menindasnya. 
Charlene  sendiri menurut, harap-harap cemas akan nasib pedangnya.
Tiba-tiba, walkie talkie Darren berdering.
“Bryan kepada Darren. Ganti.”
“Darren kepada Bryan. Sudah ketemu? Ganti.”
“Ya, sudah. Pelakunya Fleta Gail, anak kelas 8D. Ganti.”
“Baiklah. Kembali ke kelas, Bryan. Ganti.”
“Oke. Angus sudah kembali? Ganti.”
“Belum. Mungkin dia masih menyelidiki. Kalau sempat, ajak dia kembali, Bryan. Ganti.”
“Baiklah.”
Tak lama kemudian, Bryan dan Angus kembali. Semuanya lega karena mereka berdua selamat.
“Baiklah.  Sekarang, Licorice dan Nathline ke sana. Allison, tetap di 
sana, jaga  Charlene supaya tidak ke mana-mana. Ini cukup berbahaya. 
Willy, siapkan  ruang eksekusi. Alice, jaga di sana. Patrick juga. Aku 
akan ke 8D,  membantu Licorice dan Nathline,” jelas Darren. Semuanya 
mengangguk dan  melakukan tugas masing-masing. Jane ikut duduk di 
sebelah Charlene. Dia  diam saja, tahu bahwa suasana hati Charlene 
sedang buruk.
Licorice,  Nathline, dan Darren pergi ke 8D. Benar saja. Di sana, Fleta 
sedang  memamerkan pedang anggar, yang tak lain dan tak bukan adalah 
milik  Charlene. Licorice menerjang masuk.
“Hahaha, siapa itu?” tanya seseorang, menertawakan gaya Licorice saat masuk.
“Aku sahabat Charlene,” jawab Licorice tenang.
“Sahabat  Charlene Courtland? Haha, si sombong itu? Yang kerjanya cuma 
keliling  sekolah untuk memamerkan pedang anggarnya, INI?” Fleta 
menunjukkan  pedang itu ke wajah Licorice.
“Benar! Serahkan pedang itu segera!” Tiba-tiba, Darren.
“Wow, Darren Black datang untuk membantu,” kata teman-teman Fleta, yang merupakan fans berat
  Darren. Mereka menghampiri Darren, tapi dengan cepat Darren 
menunjukkan  gergajinya. “Mau apa kalian? Mau kepala kalian putus?”
“Haah,  rupanya anak ini sama saja dengan Charlene. Mereka juga 
memamerkan  senjata mereka,” kata orang yang tadi menertawakan Licorice.
“Kami melakukannya untuk membela diri!” terdengar suara Nathline, menancapkan jarum akupunturnya. Seketika, orang itu beku.
Clang!
Licorice  langsung menahan serangan Fleta. Rupanya, Fleta ingin meniru 
kebiasaan  Charlene, yaitu menusuk bola mata orang. Tapi, dia payah 
dalam bermain  pedang, jadi dengan mudah pedang anggar itu telah jatuh 
ke tangan  Licorice.
“YA!” teriak seseorang, membuat semuanya kaget. Licorice  menoleh. Ya 
ampun, Charlene! Charlene langsung menyerbu Licorice.  “Pedangkuuu!”
Charlene langsung menusuk bola mata Fleta Gail dan  memasukkannya ke 
dalam kantong. “Ah, aku cinta kau, pedangku! Aku tak  akan membiarkan 
orang lain menggunakanmu lagi!”
“Charlene!!” Tiba-tiba datang Allison dan Jane. “Hei, kenapa kamu kabur… Yey, akhirnya pedangmu kembali!”
“Iya,  terima kasih, Licorice, Darren, Nathline!” ucap Charlene bahagia.
  Mereka, tanpa memperdulikan anak-anak lain di kelas 8D, langsung 
kembali  ke kelas. Jane meninggalkan pines-pines tajam di koridor kelas 
8,  menghalangi jalan anak 8D yang hendak mengejar mereka. Charlene  
tersenyum sambil mengelus-elus pedang kesayangannya itu.
“Bagaimana?” tanya Emma.
“Misi berhasil. Lihat saja,” jawab Darren sambil menunjuk Charlene.
“Syukurlah… Kalian bertarung?” tanya Emma lagi.
“Yap.  Dengan anak 8D. Harusnya Lic yang membunuh Fleta Gail, tapi 
tiba-tiba  Charlene datang dan menusuk bola mata Fleta. Lihat saja di 
kantongnya.  Tapi, untunglah Jane datang. Kami tak dikejar oleh anak 8D 
karena kaki  mereka tertusuk pines-pines Jane,” cerita Darren.
“Tumben Jane bisa berpikir cepat. Biasanya kan, dia lola, ups,” komentar Luna. Jane diam saja, mungkin lolanya kambuh.
Mereka  semua kembali ke aktivitas masing-masing. Namun, misi mereka 
hari ini  telah berhasil, mengembalikan pedang anggar itu ke tangan 
Charlene  Courtland.
Kali ini, Charlene berjalan biasa saja dengan  pedang terselip di 
pinggangnya. Dia hanya akan menggunakan pedang itu di  saat-saat 
penting, seperti ketika ada yang menyerangnya atau bermasalah  dengan 
kelas 7I. Sayangnya, yang bermasalah dengan anak 7I sangat  banyak, 
sehingga mereka semua perlu dibunuh -__-
“Wow. Lihat, Charlene Courtland sekarang lebih rendah hati,” komentar seseorang.
“Rendah hati apanya? Dia tetap membunuh!” protes yang lain.
“Kalau itu memang hobinya, bagaimana lagi? Yang penting, menjaga sikap kita agar bola mata kita tidak jatuh ke tangannya.”
“Ya, benar. Aku setuju denganmu.”
Charlene  mendengar percakapan anak-anak itu, tapi dia tidak 
menghiraukannya.  Hatinya masih diliputi rasa senang karena pedang 
anggarnya telah kembali  ke tangannya dengan selamat, masih mengkilat 
dan masih tajam.
Jum’at siang.
“Pokoknya kalian harus ikut RCE hari ini!”
Anak-anak  perempuan kelas 7I kecuali Andrea sedang berurusan dengan 
kakak kelas  pembina ekskul RCE (Red Cross Extra) karena sudah 
berkali-kali mereka  membolos dari ekskul itu.
“Tapi…” kata Charlene pelan.
“Tapi  apa? Kalian sudah berkali-kali membolos ekskul RCE. Alasan kalian
  selalu sama, kerjakan tugas, tugas, dan tugas. Bukannya kalian sama  
sekali tak ada tugas?” tanya kakak kelas itu galak. Charlene meliriknya 
 sinis. Kakak kelas yang satunya menyikut temannya, dan berbisik,
“Hei. Jaga sikapmu. Ayo kita pergi kalau kau tidak mau kehilangan bola matamu.”
Akhirnya, mereka pun pergi. Charlene hanya mengangkat alisnya dan menggenggam pedang anggarnya. Dasar kakak kelas payah. Lihat saja nanti. Kami akan ikut, tapi kami juga akan melakukan pembunuhan.
“Jadi, bagaimana?” tanya Alice.
“Sudah,  ikut saja,” jawab Charlene sinis. Dari nada bicaranya, Alice 
sudah  tahu, Charlene akan membiarkan pedang anggarnya bekerja.
“Jadi  Adik-adik, hari ini kita belajar tentang bidai. Masih ingat?” 
tanya  Roxy Queen, salah satu kakak kelas pembina ekskul RCE. Semuanya 
hening.  “Coba Charlene, jelaskan apa itu bidai.”
“Bidai itu… ehm, apa ya?” Charlene kebingungan menjawab karena dia tak pernah memperhatikan pelajaran.
“Begitu saja tidak bisa! Sini, maju ke depan!” perintah Tracy Clodd, kakak kelas yang tadi marah-marah pada anak kelas 7I.
Charlene menatapnya sinis. Dia memang benar-benar maju, tapi sambil menodongkan pedang anggarnya.
“Charlene… turunkan pedang itu,” pinta Roxy, khawatir akan nasib Tracy.
“Tidak mau,” jawab Charlene, masih terus menodongkan pedangnya ke wajah Tracy.
“Aku bilang turunkan, sekarang!” Roxy beranjak untuk merebut pedang itu, tapi Charlene justru menodongnya sekarang.
“Jangan ikut campur urusanku. Alice,” panggil Charlene pelan. Alice mengangguk, lalu memukul kepala Roxy dengan honey drizzle-nya sampai pingsan. Kini, ujung tajam pedang Charlene kembali mengarah ke wajah Tracy.
“Charlene, tolong, turunkan pedang itu dari wajahku,” pinta Tracy mengiba. Charlene tak menghiraukannya.
“Kau lupa atau tak tahu, semua yang mengganggu anak 7I harus dibunuh. Kau lupa atau tidak tahu?” tanya Charlene. Croot! Darah muncrat begitu dia menusukkan pedang anggarnya ke mata Tracy.
“Aaaawwwhhh!!!!”
“Balasan  untukmu. Ini lagi,” kata Charlene enteng sambil menusuk bola 
mata Tracy  yang satunya. Anak-anak lain, yang berada di ruangan bersama
 anak 7I,  hanya berdesis ketakutan.
“Charlene Courtland! Apa yang kau  lakukan? Kau telah membuat kerusuhan 
dan mengotori tempat ini!”  Kakak-kakak kelas yang lain langsung 
menyerbu Charlene, namun Licorice,  Nathline, Alice, dan Jane langsung 
bangkit untuk membantu Charlene.  Setelah Nathline dan Alice membuat 
kakak-kakak kelas itu tak sadarkan  diri, mereka langsung lari keluar 
ruangan. Jane menaburkan  pines-pinesnya, menyebabkan darah berceceran 
di lantai. Mereka terus  berlari sampai kamar terdekat, yaitu kamar 
Alice dan Jane. Mereka masuk  dan mengunci pintunya.
“Kenapa dikunci? Itu tindakan pengecut!” olok Charlene, lalu membuka kuncinya.
“Huh,  dasar kakak-kakak kelas pencari masalah! Sudah tahu mereka pasti 
akan  menemui ajalnya, malah memaksa kita ikut RCE yang membosankan!” 
omel  Licorice.
“Iya! Ngomong-ngomong, kamarmu luas sekali, Alice,” komentar Allison sambil memperhatikan kamar itu.
“Kamarmu juga luas, Al,” protes Alice.
“Tapi  kamarmu lebih luas. Buktinya, kamar ini cukup menampung 11 orang.
  Kamarku dan Nathline hanya cukup menampung maksimal 6 orang. Tidak ada
  kamar mandinya, lagi! Jadi, setiap pagi aku numpang mandi di kamar  
Veronica,” kata Allison.
“Sudahlah Al, yang penting bisa tidur nyenyak setiap malam,” Jane menenangkan.
Mereka  duduk di sana cukup lama, bahkan sampai mereka ketiduran di 
kamar Alice  dan membuat Andrea panik mencari Veronica, teman 
sekamarnya.
“Pagi! Pagi!”
Suara  cempreng itu membangunkan mereka semua dari tidur lelap semalam. 
 Pemiliknya adalah Charlene, yang bangun terlebih dulu, tetapi masih 
agak  ngantuk sehingga suaranya cempreng.
“Charlene! Ngapain kamu bangunin kita pagi-pagi? Masih ngantuk, nih!” omel Licorice. “Lho? Di mana aku? Ini kan, kamar Alice!”
“Hoahm, apa?” Alice terbangun mendengar namanya dipanggil. “Lho? Jadi, semalam kita tidur di lantai?”
“Wah, kita kecapekan habis lari dari kakak-kakak kelas, nih,” komentar Luna.
“Iya. Aku mandi duluan ya,” kata Charlene, seenaknya memasuki kamar mandi di kamar Alice.
“Eh, enak saja! Aku duluan!” Licorice mencegahnya.
“Kan aku yang bangun duluan, Lic! Jadi, aku yang mandi duluan!” Charlene tak mau kalah.
“Hhh, ya sudah lah. Tapi cepat!” Licorice mengalah. Ia tak mau Charlene marah dan dia akan kehilangan kedua bola matanya.
Charlene  segera mandi, lalu membiarkan Licorice yang mandi. Selesai 
mandi,  mereka semua kembali ke kelas. Di kelas, anak laki-laki semuanya
 sudah  datang, asyik main game atau main gitar. Anak perempuan, seperti biasa, duduk di sofa, asyik melakukan kegiatan masing-masing.
“Perhatian bagi semua anggota paduan suara diharapkan berkumpul di depan studio musik sekarang juga.”
“Sial! Paduan suara!” umpat Luna.
“Huh! Aku malas!” keluh Nathline.
“Aku juga!” tambah Flo.
Charlene menatap teman-temannya. “Teman-teman?”
“Ya, Charl?”
“Kalian mau…” tanya Charlene, dengan nada yang bisa ditebak oleh teman-temannya.
“Ya. Kau ikut?”
“Tentu saja!” jawab Charlene girang.
“Pepiti..  Pepitoo…” terdengar suara anggota paduan suara bernyanyi. 
Charlene  mengendap-endap. Sebenarnya, ini bukan urusannya. Yang harus  
melakukannya adalah Luna, Flo, Nathline, Juliet, Patrick, dan Bryan. Dia
  hanya ikut sebagai pelengkap penderitaan.
Flo bersiap-siap dengan  kapaknya ketika guru paduan suara menyuruh 
Nathline bernyanyi. Tanpa  berkata apapun, dia mengayunkan kapaknya, dan
 darah pun muncrat. Anggota  paduan suara yang lain mendesis ketakutan 
dan langsung lari  terbirit-birit. Flo membersihkan darah dari kapaknya 
ketika Charlene  mengambil bola mata dari guru itu.
“Misi kita sudah selesai. Tak  ada masalah. Tak akan ada lagi RCE dan 
paduan suara,” kata Luna, dan  mereka semua mengangguk setuju.
By : Nilna Qomara Nurul Husna 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar