Kamis, 31 Oktober 2013

Today

Hari ini adalah hari tergila yang pernah Mikan alamin beberapa kali *jiah*
Tadi, Mikan dateng ke sekolah jam 12an *mikan sekolah siang* Mikan langsung ke masjid buat sholat. Habis sholat, Mikan ke kelas Mikan. Kakak kelasnya masih belum pada keluar. Ya udah Mikan taro aja tas Mikan di depan kelas, trus ngobrol bareng Azura, soalnya tempat duduk di depan kelas Mikan udah penuh.
Ehh, pada berisik. Guru kelas 8 keluar trus ngomel-ngomel. Mikan lagi berdiri bareng Azura, diem aja. Trus temen yang Mikan sebelin, diomelin sama guru kelas 8 gegara ketawa pas guru kelas 8 ngomel-ngomel. Salah sendiri sih. Guru ngomel dia malah ketawa. Dimarahin deh~ Haha~ *ketawa iblis*
Setengah jam kemudian, bel masuk. Mikan langsung piket, soalnya kan hari ini Mikan piket. Habis piket, Mikan duduk deh di kursi Mikan, baca Alquran. Guru IPS masuk, tuh. Eh, Mikan sama Aulia disuruh pindah ke belakang. Ya udah, Mikan pindah aja ke belakang. Sambil nyatet, Mikan ngantuuuuuukk banget. Pengen tidur, tapi takut dimarahin.
Bel jam ketiga bunyi. Bu IPS keluar, trus masuk Bu Artati. Bu Artati cuma masuk sebentar, soalnya ada yang mau diurus katanya. Ya udah, kelas ribut ditinggal Bu Artati. Bosen, Mikan sama Aulia izin aja ke toilet buat ngobrol *kurang kerjaan*
Tau-taunya, si Fitriani ngetok pintu. Tadinya Aulia nggak mau buka, tapi akhirnya dibuka juga. Ya udah, kami balik ke kelas. Di kelas, Mikan sama Aulia ngerusuh aja, bikin si Aldo gedek.
Eh, lagi asyik-asyiknya, Pak Renaldi masuk kelas. Mulai ngajar dah tuh, ngoreksi PR. Mikan PR salah tiga, betul tujuh, sembilan soal nggak dikerjain, hasil contekan *jangan bacok mikan, mikan emang gak ngerti aljabar*
Pak Renaldi nerangin lagi tuh tentang Aljabar. Tapi gimana, ya. Mikan sama sekali nggak ngerti apa yang diajarin. Padahal Mikan udah coba simak baik-baik, tapi tetap aja Mikan nggak ngerti. Yah, pasrah aja deh.
Trus istirahat. Mikan sholat aja, beli roti, ke kelas deh. Beberapa menit kemudian, bel masuk, pelajaran B. Inggris. Dikasih tugas banyak banget! Mikan cuma ngerjain satu, yang nerjemahin.
Gila!
Pas nerjemahin, temen-temen Mikan ngerubungin meja Mikan sama Aulia! Nyalin! Seru juga sih. Tapi pengap, gerah, gila! Udah mana Mikan nulisnya nggak bebas gegara si Ojan duduk satu kursi sama Mikan, kan tangannya jadi nggak bebas tuh, kehalangan tangannya si Ojan mulu. Tapi sukses, deh.
Habis ngerjain, gurunya ilang (?) Mikan sama Aulia maen ToD aja. Truth or Dare. Mikan kalah, Aulia juga. Kami sama-sama pilih dare. Mikan dapet dare suruh bilang "I Love You" ke Ojan, kalau Aulia bilang "I Love You" ke Ihwan. Karena kami sama-sama malu, ya udah pake kertas aja.
Untungnya nggak ketauan ama siapa-siapa, ya, cuma ToD aja kok.
Dan sekian~!

School

Hoi! Ketemu lagi sama Mikan diiiiii *musik background* TERTETRTETTERERETET! MIKAN SHOW! *dilempar*
Mikan udah SMP lho sekarang! Mikan udah SMP! *readers : udah tau kali!* *Mikan dibuang*
Kelas Mikan sekarang adalah kelas 7-3, kelas terusuh di SMP Mikan tercintah cetar membahana sesuatu badai ulala zamrud khatulistiwa *syahrinisasi mode : on * *dijambak*
Serius, lho! Kelas Mikan, kelas 7-3, itu rusuh banget! Rusuhnya nggak kira-kira, dari angkatan 1780 (kelamaan-,-) ampe sekarang kelas 7-3 itu kelas paling rusuh, bandel, dan kurang ajar sama guru. Pokoknya, cocok banget deh buat Mikan /slap/
 Biang rusuhnya 7-3 itu Gusti sama Rendi, dua sejoli /digampar/ yang tidak terpisahkan sampai akhir hayat /diselepet/
Mikan sendiri berperan sebagai pengrusuh sampingan di kelas, sekaligus reporter 7-3 *baca : penggosip* bersama sahabat Mikan, AULIA! XD XD
Mikan itu di kelas emang rada alim, tapi isinya Mikan itu hentai semua *buka aib*. Bersama Aulia sahabat Mikan, kami jadi ratu gosip dan ratu hentai/yadong di kelas 7-3 x3
Kalau pelajaran, Mikan itu kadang tidur gara-gara ngantuk. Tapi temen-temen Mikan usil, ngebangunin Mikan mulu! -,-" Padahal kan Mikan ngantuk, pengen tidur. Apalagi kalau pelajaran IPS! Ngantuk banget, kayak didongengin. Udah mana Mikan kayaknya diliatin mulu sama guru IPS Mikan!
Soal guru, guru di sekolah Mikan aneh-aneh. Ada yang mukanya mirip Bopak, ada yang mukanya mirip Pak Jokowi, ada juga guru pedo.
Walaupun aneh-aneh, tapi Mikan sayaaaaanggg banget sama guru-guru Mikan! Mereka itu ngajarin ilmu ke semua murid, Mikan terharu banget kalau ada guru yang sakit dibela-belain masuk demi muridnya! *ceilah -,-*
By the way, guru yang paling Mikan favoritin itu Bu Artati selalu di hati anak kelas 7-3 X3. Bu Artati itu baik, lemah lembut, cantik, nggak pernah marah, lagi. Katanya, soalnya Bu Artati punya penyakit vertigo, jadi nggak bisa capek dan marah. Oh ya, Bu Artati itu guru BK sekaligus guru B. Indonesia.
Trus, ada juga Pak Renaldi. Pak Renaldi itu guru matematika. Ngajarnya kocak, soalnya sambil ngelawak. Tapi ntah kenapa akhir-akhir ini jadi sering marah-marah. Mikan jadi bingung.
Yang lainnya, kapan-kapan aja. Mikan males nulis soalnya *ditendang*
OH IYA!! *teriak pake toa*
Mikan mau cerita tentang temen-temen Mikan!!!!!!
Temen Mikan sekarang udah banyak, nggak kayak dulu waktu di SD lagi *jujur aja nih ya, Mikan kaget waktu baca post2an Mikan waktu SD, yang cerita Mikan nyapa orang duluan itu keajaiban* Mikan nggak tau waktu SD Mikan itu segitu pemalunya! Gila! Bertolak belakang banget sama Mikan yang sekarang!
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang~ Dulu pemalu sekarang berandalan~ Dulu dulu dulu ku nggak punya temen, sekarang, temenku bejibun~ *nyanyi* *dilempar*
Temen-temen akrab Mikan ada Aulia-temen sebangku Mikan yang gokil abis. Trus ada Azura, temen akrab yang dimulai dari sebuah pertemuan tak sengaja *ceilah*. Trus, trus, ada Ojan yang sama-sama otaku kayak Mikan. Ojan itu mukanya imut, imut banget! Shota! *dibekep* Habis itu ada Ikhwan, temen sebangku Ojan. Dia rada pendiam, nggak rusuh-rusuh banget, tapi asyiklah. Banyak banget yang naksir ama dia. Kata temen Mikan sih, si Ikhwan pake guna-guna *lah*
Kalau temen yang lain, nggak akrab-akrab banget, sih. Cuma say hello aja, atau nggak cuma asal nimbrung aja. Sosialisasi *ketularan IPS* Temen yang lain ada Tias, Aldo, Althaf, Vicko, dan laen-laen. Mereka sih, oke aja. Walau ada beberapa yang Mikan sebelin gegara sikap mereka yang sombong, sok alim, sok imut, caper, dan berbagai sikap yang Mikan benci.
Yah, udahlah, biarin aja.
Segini aja ya tentang sekolah Mikan ^^

Do You Still Have Heart?

'At age 8, your mom buys you an ice cream. You thanked her by dripping
it all over his lap.


When you were 9 years old, she paid for piano lessons. You thanked her
by never even bothering to practice.


When you were 10 years old she drove you all day, from soccer to
football to one birthday party after another. You thanked her by
jumping out of the car and never looking back.


When you were 11 years old, she took you and your friends to
the movies. You thanked her by asking to sit in a different row.


When you were 12 years old,s he warned you not to watch
certain TV shows. You thanked her by waiting until he left the house.


When you were 13, she suggested a haircut that was in fashion.
You thanked her by telling she had no taste.


When you were 14, she paid for a month away at summer camp.
You thanked her by forgetting to write a single letter.


When you were 15, she came home from work, looking for a hug.
You thanked her by having your bedroom door locked.


When you were 16, she taught you how to drive his car. You
thanked her by taking it every chance you could.


When you were 17, she was expecting an important call. You thanked her
by being on the phone all night.


When you were 18, she cried at your high school graduation. You thanked
her by staying out partying until dawn.


When you were 19, she paid for your college tuition, drove you to campus
carried your bags. You thanked her by saying good-bye outside the dorm
so you wouldn't be embarrassed in front of your friends.


When you were 25, she helped to pay for your wedding, and she told you
how deeply he loved you. You thanked her by moving halfway across the
country.


When you were 50, she fell ill and needed you to take care of her . You
thanked her by reading about the burden parents become to their
children.


And then, one day, she quietly died. And everything you never did came
crashing down like thunder on YOUR HEART.


Repost this if it touches you in the soul.

Pandora Hearts 30 Day Challenge (day 1)

1. Why do you like Pandora Hearts?


 Because Pandora Hearts is really really really AMAZING!
The story is wonderful and twist! And the characters is sooooo cooooolll! Especially Gilbert, Jack, and Oz X3




Jumat, 04 Oktober 2013

Psychopath Life (1)

Psychopath Life by Kusanagi Mikan

Vocaloid by Yamaha and Crypton FM

Warning : Gore. Typo bertebaran. Abal plus gaje. De-el-el

Chapter 1


- Rin PoV -

Aku terus berlari menghindari polisi-polisi yang mengejarku. Entah berapa kali mereka menembakkan pistol, namun tak ada satupun yang mengenaiku. Aku tersenyum, tepatnya menyeringai. Polisi bodoh, mereka tak akan bisa menangkapku!

Aku berlari menembus kegelapan, hingga sampai ke sebuah toko kue. Aku mengetuknya dengan brutal, hingga pintu itu terbuka menampilkan sosok wanita berambut panjang berwarna pirang.

"Rin! Ayo cepat masuk!" Wanita itu - Lily - menarikku masuk ke dalam toko kue dan menutup pintu.

Aku masuk, melepas jubah hitamku lalu melemparnya sembarang arah, dan duduk di salah satu kursi, kemudian menyambar sebuah cupcakes jeruk dengan cepat. Lily menghela napas.

"Lagi-lagi, kau berkeliaran dan membuat polisi-polisi bodoh itu mengejarmu," keluh Lily. "Mereka tidak mengenalimu, kan?"

"Tidak," jawabku. "Aku selalu memakai jubahku. Lagipula, apa yang kau harapkan dari kegelapan malam?"

Lily kembali menghela napas. Wanita yang merupakan tanteku ini duduk disampingku, menungguku melahap cupcakes jeruk hingga habis.

"Tenanglah, Lily-san," ucapku. "Aku berjanji tak akan melibatkanmu ke kepolisian. Yah, lagipula aku yang berulah, bukan kau."

Lily mendesah pelan. "Bisakah kau hentikan kegiatanmu, Rin? Itu... Bukan kegiatan yang bagus. Itu-"

"Hobiku," potongku sambil tersenyum.

"Uh, baiklah. Cepatlah tidur, Rin," perintah Lily. "Sudah hampir jam 12 malam. Besok kau sekolah, kan?"

"Ya ya," jawabku sembari berjalan ke kamarku.

Hai! Perkenalkan, namaku Shirakawa Rin. Umurku 14 tahun, kelas 2 SMP di Estonia Junior High School. Well, kalian pasti mengira aku adalah gadis yang seperti gadis 'normal', iya kan?

Sayangnya, bukan!

Aku adalah, pembunuh. Bukan bukan, bukan pembunuh bayaran. Aku tak mau bekerja sebagai pembunuh bayaran. Aku adalah pembunuh, ya pembunuh! Pembunuh yang membunuh karena hobi. Istilah kerennya, psikopat.
 
Orang yang kubunuh, ya siapa saja, kecuali orang tua dan Lily, tanteku. Orang tuaku sudah meninggal karena dibunuh seseorang ketika umurku... 8 tahun, mungkin? Entahlah, aku lupa.

Setelah itu, akhirnya aku hidup bersama Lily, tanteku yang memiliki toko kue. Dan, mulai sejak itu aku jadi suka membunuh. Orang yang pertama kali kubunuh adalah... Guruku! Dia guru menyebalkan bernama Meito-sensei, yang kubunuh di hutan dengan cara kumutilasi dan kepalanya kuhancurkan agar identitasnya tidak diketahui. Dan para polisi bodoh itu, tidak berhasil memecahkan kasusnya.

Haha, polisi memang bodoh!

Lily mengetahui hobi membunuhku. Ia tidak pernah melaporkannya ke polisi. Hum, mungkin takut, ya? Atau karena Lily sayang padaku? Entahlah, lagi.

Dan sampai sekarang, identitasku tidak pernah terbongkar! Hal yang bagus, bukan? Jika ada salah seorang yang mengetahuinya kecuali Lily, aku akan langsung membunuhnya. Haha, aku sama sekali tidak peduli dengan nasib mereka atau keluarga mereka. Yang penting aku puas, itu saja.

Egois, bukan?

Ya, psikopat memang egois.

Dan aku sendiri adalah seorang atheis, walau Lily sendiri penganut agama Katholik. Aku tak tertarik pada agama. Aku lebih tertarik soal bunuh-membunuh.

Sekarang, aku ingin tidur dulu!

Ya, oyasuminasai!

Pagi hari, jam setengah 6

Aku terbangun di pagi hari, jam setengah 6. Tidurku hanya 5 jam setengah. Tak bagus untuk anak sekolahan rata-rata, tapi bukan untuk psikopat sepertiku.

Aku segera beranjak dari ranjangku dan mandi, kemudian memakai seragam sekolahku, Estonia Junior High School. Seragam itu berupa kemeja putih dilengkapi rompi coklat dan rok yang sewarna. Dan dilengkapi pita merah marun di bagian atasan.

Sempurna.

Selesai memakainya, aku mengambil tas kuningku kemudian berjalan ke dapur. Bisa kulihat Lily sedang membuat kue-kue.

"Ohayou, Lily-san," sapaku.

Lily menoleh. "Ah, ohayou mo. Rin, boleh bantu aku menata kue-kue itu?" Lily menunjuk sebuah nampan berisi kue-kue buah.

"Tentu!" jawabku bersemangat. Aku mengambil nampan itu dan berjalan ke ruang depan, alias toko kue milik Lily. Dengan cekatan, aku menata kue-kue itu di rak.

Lily kemudian menyuruhku menata kue lagi. Aku mengerjakannya dengan senang hati. Yup, ini adalah salah satu hobiku selain membunuh. Menata kue-kue manis itu, betapa senangnya!

"Sudah selesai, Rin?" tanya Lily.

"Sudah!" jawabku sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum.

"Sudah jam setengah tujuh. Kamu mau berangkat sekolah, kan? Bawalah satu kue yang kau suka," perintah Lily.

"Arigatou, Lily-san!" ucapku bersemangat, dan mengambil sebuah cupcakes jeruk ukuran sedang.

Bisalah mengenyangkanku nanti.

"Douita," balas Lily sambil tersenyum.

Aku memasukkan cupcakes jeruk itu ke kotak bekalku yang sudah kusiapkan (Mikan : emang muat, ya?. Readers : Berisik kau! Lanjut saja ceritanya!. Mikan : *pundung*).

"Ittekimasu, Lily-san!" Aku melambaikan tangan, mulai berjalan keluar rumah Lily sekaligus toko kue.

"Itterashai," balas Lily sembari masuk ke dalam. Aku hanya tersenyum, dan melanjutkan perjalananku ke sekolah.

Sebetulnya, aku datang ke sekolah terlalu pagi karena sekolah dimulai jam delapan. Tapi, siapa peduli? Aku lebih suka berangkat pagi-pagi, udaranya lebih segar dan aku bisa bersantai dulu di sekolah. Ah, aku tersenyum begitu melihat seorang gadis berambut merah. Itu temanku, Furukawa Miki.

"Ohayou, Rin-chan!" sapa Miki.

"Ohayou mo, Miki," balasku.

Miki menghampiriku, dan kami berjalan ke sekolah bersama. Miki tak begitu banyak bicara, karena sikapnya pada dasarnya memang pendiam. Ini yang menyebabkan aku senang berteman dengan Miki. Tidak banyak tanya.

Sekolah kami akhirnya terlihat. Estonia Junior High School. Sekolah ini bercat biru, oranye, dan hijau. Sayang tidak ada warna kuning.

Aku dan Miki satu kelas, 2-3. Kelas kami ada di lantai dua. Aku dan Miki segera menaiki tangga. Baru sampai di kelas, suasana ribut langsung menyambut kami.

"Betul, lho! Semalam, Yowane Hakuo dibunuh seseorang! Aku melihatnya di televisi tadi pagi!" seru Miku heboh.

"Aku juga lihat. Katanya polisi belum menemukan pelakunya. Tapi polisi meyakini, pelakunya sama seperti pelaku pembunuhan-pembunuhan sebelumnya," timpal Mikuo.

"Ada apa?" Suara halus Miki menghentikkan teriakan-teriakan heboh dari Hatsune bersaudara ini.

"Itu! Kau lihat televisi, tidak? Ada orang dibunuh semalam! Yowane Hakuo, saudara Yowane Haku!" jawab Miku.

Aku tersenyum tipis. Yowane Hakuo, dia orang yang kubunuh semalam. Saudara dari senpaiku, Yowane Haku.

"Dibunuh?" ulangku, pura-pura kaget. Ini biasa. Aku harus berakting kaget agar tidak dicurigai.

Miku mengangguk. "Iya! Aku heran, pembunuhannya seperti pembunuhan berantai!"

"Menyeramkan." Aku bergidik ngeri, walau dalam hati aku tertawa terbahak-bahak. Menertawai diriku yang bergidik ngeri, padahal aku sendiri pelakunya. Hahaha!

Aku berjalan ke tempat dudukku yang berada di pojok kelas. Aku tak mempunyai teman sebangku, karena menurutku lebih menyenangkan duduk sendiri. Lebih bebas merenung. Bebas.

Bel masuk telah berbunyi 10 menit lalu, dan sekarang guru yang mengajar adalah guru yang paling kubenci, Sonika. Dia menyebalkan!

"Jadi..." Guru berambut hijau itu terus menerangkan. Membosankan.

"Hoahm..." Tanpa sadar, aku menguap bosan.

"SHIRAKAWA-SAN!" hardik Sonika-sensei padaku.

"I-Iya sensei?" tanyaku gugup.

"Perhatikan pelajaran! Dan jangan menguap! Berani sekali kau menguap saat pelajaranku!" omel Sonika-sensei.

'Berani sekali kau menghardikku,' batinku dalam hati. Namun aku berpura-pura ketakutan. Lagipula, aku akan membunuhnya malam ini. Pasti.

"Baik, sensei," ucapku pelan. Sonika-sensei mengangguk puas, kemudian menerangkan lagi.

Seukir seringaian tercipta di wajahku. Aku sudah menentukan targetku, Sonika. Ya, tunggu saja sampai aku membunuhmu, Sonika!

"Jadi cara-" KRIIIINGGG! Ucapan Sonika terputus oleh bel istirahat. "Silahkan istirahat," ucap Sonika-sensei dingin, lalu pergi keluar kelas. Cih, Sonika-sensei memang seperti itu. Seperti tidak punya sopan santun.

"Rin!" Miki melambai padaku. "Ayo kita ke kantin!" ajaknya.

"Ya ya," Aku mengangguk. Setelah membereskan barangku, aku menghampiri Miki dan pergi ke kantin bersamanya.

"Duh, gimana nih, Rin? Nggak ada meja yang kosong," keluh Miki.

"Menyebalkan," gerutuku sambil mencengkram kotak bekalku erat. Mataku mencari-cari tempat kosong.

"Ah, disana, Rin. Lihat, cowok itu melambaikan tangan pada kita," kata Miki sambil menunjuk.

Aku melihat arah yang ditunjuk Miki. Di sudut, ada tempat yang baru diisi satu orang. Ya, diisi lelaki yang melambaikan tangan itu!

"Ayo," ajakku. Miki mengangguk. Dan kami berjalan ke tempat itu.

"Permisi," ucap Miki.

Lelaki itu mengangguk. Rambutnya honey blonde, sama sepertiku. Dan matanya aquamarine. Sama sepertiku! Parasnya juga mirip denganku, sekilas.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Len," jawabnya. "Kagamine Len. Dan kalian?"

"Aku Shirakawa Rin," Aku memperkenalkan diri.

"Dan aku Furukawa Miki," sambung Miki.

"Sepertinya, kalian dari kelas 2-3, iyakan?" terka Len.

Miki mengangguk, sementara aku membuka kotak bekalku yang berisi cupcakes jeruk ukuran sedang. Hm, aku tinggal memesan minuman.

"Kalian pesan apa?" tanya Len lagi.

"Salad dan jus cherry," jawab Miki.

"Jus jeruk," ujarku singkat, kemudian bangkit untuk memesan.

Len mengcengkram pergelangan tanganku. "Jangan," cegah Len. "Biar aku saja. Salad, jus cherry, dan jus jeruk, kan?"

Aku dan Miki mengangguk bingung, dan memberikan uang. Len kemudian berjalan - atau lebih tepatnya berlari ke tempat pemesanan. Aku terkesiap. Hei hei, jangan berpikiran aku kagum dengan pertolongannya. Tapi aku kaget, melihat cara berlarinya. Bukan cara berlari biasa. Dia berlari, seperti saat aku berlari. 

Lari, lari yang bersifat tergesa-gesa dan menghindari sesuatu. Seperti lariku setiap malam. Lari seorang penjahat menghindari polisi.

"Rin? Hoi, Rin!" Miki mengguncangkanku.

Aku tersadar. "Eh, oh, ada apa?"

Miki menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sadar, Rin! Kalian baru pertama bertemu!"

"Kau pikir apa? Aku heran melihat cara larinya, cara larinya seperti seorang pe-" Aku segera menghentikkan omonganku. Ya ampun, Rin, kau hampir saja membocorkan identitasmu!. "M-Maksudku, pelari marathon," Aku meralat buru-buru.

Miki memandangku dengan tatapan tidak percaya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, kesal. Namun, tiba-tiba seorang Kagamine Len mengagetkan kami dengan cara menaruh nampan di atas meja dengan agak keras.

"Hh... Hh... Akhirnya sampai juga," kata Len terengah-engah.

Cih, apa-apaan dia? Kelelahan begitu? Memangnya jarak dari sini ke tempat memesan jauh, apa? Aneh.

"Arigatou!" ucap Miki, mengambil salad dan jus cherry-nya.

"Douita," balas Len sambil tersenyum. "Dan ini jus jerukmu, Rin."

"Ah iya!" Aku mengambil jus jerukku dan meminumnya. Nikmat.

Len kembali duduk di kursinya. Aku baru sadar, kalau ia tidak memesan apapun. Apa dia tak punya uang? Apa kubagi saja bekalku? Kasihan juga sih, melihatnya. Terengah-engah begitu. Walau aku bingung apa yang dia lakukan sampai kelelahan begitu.

'Kau tidak memesan apa-apa, Len?" tanyaku kepadanya.

"Eh? Uhm, tidak, aku tidak lapar," jawab Len sambil tersenyum.

"Mana mungkin? Ini kubagi bekalku, aku tak akan habis memakan cupcakes jeruk ini sendirian," Aku menyodorkan bekalku. Cupcakes jeruk yang ukuran sedang, tapi menurutku itu lumayan besar.

"Nggak," tolak Len. "Makasih. Aku maunya rasa pisang."

Aku mendengus. "Kau ini, sudah kubagi juga!"

"Hehe, gomen gomen. Iya iya, kumakan sedikit," Len terkekeh.

"Besok aku bawakan yang rasa pisang, deh!" janjiku tanpa sadar.

Mata Len membulat. "Betulkah? Kalau begitu, arigatou!"

Uh! Rin! Enak sekali kau berjanji pada orang yang baru kau kenal! Tapi aku terpaksa mengangguk dan tersenyum.

"Ngomong-ngomong, Len dari kelas mana? Kok nggak bareng temen-temennya?" tanya Miki.

Raut wajah Len berubah. "Eh, aku... Aku dari kelas 2-2. I-Iya, aku lagi malas saja," jawab Len terbata.

"2-2? Wow, kelas 2-2 kan terkenal dengan anak-anaknya yang pintar," komentar Miki tampak kagum. Walau sebenarnya menurutku, Miki juga lumayan pintar, sih.

Len mengangguk-angguk saja. Bisa kulihat, ia terlihat sedih. Humph, aneh.

Malam tiba! Aku mengambil jubah hitamku. Jam sudah menunjukan jam 11 malam saat itu.

"Aku mau keluar dulu, Lily," pamitku sambil tersenyum.

Lily menghela napas. "Ya, hati-hati. Jangan sampai ketahuan."

"Itu tak akan pernah," gumamku. Aku kemudian tersenyum, dan melesat keluar dari toko kue milik Lily.
Targetku malam ini adalah Sonika! Yup, Sonika-sensei yang berani-beraninya menghardikku! Ah, itu dia rumahnya. Berwarna hijau gradasi kuning. Hm, warna yang bagus, walau sebentar lagi kamarnya akan tercampur warna merah! Hahaha!

Aku memasuki sebuah jendela yang tak terkunci dengan hati-hati. Rupanya ini kamar Sonika-sensei Kulihat Sonika-sensei sedang tidur. Ah, bagus sekali. Aku tersenyum, tanpa melepaskan jubah hitamku. Aku menggenggam sebuah belati, kemudian...

JLEB!

Belati itu kutusukkan ke kelopak mata Sonika-sensei yang sedang tertidur. Kontan saja ia menjerit namun segera kubekap mulutnya.

Matanya membelalak, meronta melepaskan diri. Samar-samar kudengar ia merintih kesakitan. Teruslah merintih! Aku tersenyum psikopat.

"Sonika-sensei..." ucapku lembut dengan nada yang dibuat-buat. "Ini hukuman buat Sonika-sensei karena telah menghardikku tadi..." lanjutku.

Sonika-sensei kembali membelalakkan mata kirinya yang masih bagus. Aku tersenyum, dan kucabut belati itu dari mata kanannya.

"Sepertinya ribet, ya, jika aku terus membekap Sonika-sensei? Bagaimana kalau... Kusayat dulu tenggorokanmu?" tanyaku. Tanpa menunggu jawaban Sonika-sensei, aku menyayat tenggorokannya dengan belatiku. Darah muncrat. Aku tertawa.

"Khu khu khu... Darah berwarna merah muncrat, indah sekali, bukan? Bagaimana kalau kau menyumbangkannya banyak?" Tanganku yang memegang belati beralih ke perutnya. "Wah, perutmu mulus sekali, Sonika-sensei," pujiku. Tapi sesaat, aku menyeringai. "Tapi sekarang, tidak lagi!"

Aku menyayat perut Sonika-sensei secara perlahan-lahan. Aku ingin menikmati permainan ini, dan rintihan dari korbanku. Sonika-sensei berontak.

"Oh, kau nakal sekali, sih? Menyebalkan," gerutuku pelan. Aku menyayat wajah mulus Sonika-sensei dengan belati yang telah terasah tajam itu. Belati yang telah merenggut nyawa puluhan orang. Sonika-sensei berhenti berontak. Aku terkekeh. "Bagus! Sekarang, aku jadi bisa melanjutkan permainannya! Kau menikmatinya, kan?"

Aku kembali menyayat-nyayat perut Sonika-sensei. Hingga terobek. Aku semakin bersemangat dan merobek-robek perut Sonika-sensei hingga terlihat organ dalamnya. Untuk orang biasa, pasti merasa jijik. Tapi tidak denganku. Ini... Ini menyenangkan!

"Wah, aku jadi serasa belajar IPA," komentarku. "Nah, yang pertama. Ini adalah... Ginjal!" Aku menusuk ginjal Sonika-sensei hingga guruku itu memekik menarik-narik ginjal itu dengan belatiku hingga terlepas. Aku tertawa kecil, seperti anak kecil mendapat mainan baru.

"Setidaknya, ini cukup untuk menyumpal mulutmu, Sonika-sensei," ucapku dan menjejalkan ginjal itu ke mulut Sonika-sensei. Yah, setidaknya itu menghambatnya untuk menjerit.

Hm, aku memulai permainan lagi. Aku melihat-lihat isi perutnya, kemudian menusuk lambungnya. Sonika-sensei berontak hebat. Darah keluar dari mulutnya.

"Hihi," Aku terkikik pelan. Aku kemudian menusuk-nusuk ususnya sambil tersenyum psikopat. Sementara Sonika-sensei terus menerus muntah darah dan merintih kesakitan.

"Ahh~ Bosan~" keluhku. Perhatianku tertuju pada kuku Sonika-sensei. "Ahh~ Kuku sensei bagus, ya? Boleh kuminta?" tanyaku dengan seringaian menghiasi wajahku.

Tanganku menggapai tangan kiri Sonika-sensei, dari jubahku, kukeluarkan sebuah palu kecil namun bisa menghancurkan sesuatu. Ya, seperti kuku ini.

Aku menyeringai, dan mulai memukulkan palu itu ke kuku Sonika-sensei satu persatu hingga pecah. Sonika-sensei meronta, namun aku lebih kuat saat itu. Karena kuku di tangan kirinya sudah hancur semua, aku beralih ke tangan kanan Sonika-sensei.

Dengan belati, aku mencungkil-cungkil kuku Sonika-sensei hingga terlepas. Asyik sekali rasanya.

"Ahaha~ Darahmu banyak sekali, Sonika-sensei~" komentarku. Sekarang, semua kuku Sonika-sensei sudah hancur dan terlepas. Aku mulai beralih ke perutnya lagi. Kukoyak terus kulit-kulit itu, hingga terlihat tulang rusuk Sonika-sensei.

"Ini tulang, kan? Bagus juga," Aku mencengkram erat salah satu tulang rusuk Sonika-sensei, kemudian mencabutnya. Cukup mudah, karena aku biasa melakukannya.

"Akh!" pekik Sonika-sensei, ginjalnya menggelinding dari mulutnya.

"Kau ini nakal sekali, sih? Dasar menyebalkan," Aku menggerutu pelan dan menancapkan tulang rusuk itu ke mulut Sonika-sensei. "Biar kau diam."

Aku berpikir, akan 'bermain' apa lagi dengan Sonika-sensei. Sampai akhirnya...

"Aha!" Aku menjentikkan jari. "Kulitmu terlalu mulus, Sonika-sensei! Aku juga ingin melihat dagingmu," seringaiku. Aku mengambil belatiku dan beranjak ke tangannya dan mulai mengulitinya. Sonika-sensei berkali-kali memekik tertahan akibat 'permainan' yang aku lakukan.

"Terlalu berisik," komentarku datar. JLEB! Aku menancapkan belatiku ke leher Sonika-sensei. Dan berakhirlah riwayat guru menyebalkan itu. "Begitu lebih baik," lanjutku dan melanjutkan kegiatan menguliti Sonika-sensei.

Aku melirik jam dinding di kamar Sonika-sensei, jam 12. Aku harus pulang sekarang! Dan lagi, suara-suara gaduh terdengar dari luar. Aku buru-buru membereskan senjataku, dan melompat keluar jendela. Tak lama, terdengar jeritan histeris. Mungkin keluarganya. Aku tak peduli. Yang pasti, aku harus segera pulang. Mungkin hari ini aku akan membersihkan diri dulu. Tubuhku sangat belepotan darah.

"Lily!" Aku menggedor pintu toko kue ber-plang "Lily's Bakery" itu.

"Ah, Rin, ya?" Lily membuka pintu dan mempersilahkanku masuk.

"Tadaima!" ucapku.

"Okaeri," balas Lily. "Bersihkan dulu dirimu, Rin. Kau sangat belepotan darah hari ini."

Aku mengangguk-angguk mengerti, kemudian membersihkan diri di kamar mandi.

Khu khu khu... Kira-kira, siapa korbanku berikutnya?

#Bersambung

Amare (chapter 1)

Disclaimer : Kuroshitsuji by Yana Toboso, this fic by Kusanagi Mikan
Warning : OOC, OC, Sebastian PoV (for this chap), don't like don't read!

Chapter 1
That Shy Girl

Hai.

Namaku Sebastian Michaelis. Aku adalah seorang guru di sebuah sekolah SMA elite di London, Amethyst Senior High School. Aku bekerja disana sebagai guru Sains. Sebagai guru, aku terkenal sebagai guru yang galak. Mungkin memang benar. Banyak murid yang menghindar bicara denganku, atau malah mereka lari terbirit-birit begitu melihatku. Aku jadi seperti hantu kalau begini terus.

Sebetulnya, aku sama sekali tidak mengerti kenapa mereka menganggapku galak. Rasanya, aku biasa saja. Malah menurutku, aku terbilang humoris. Tapi kenapa mereka malah bilang aku ini galak?

Hh, aku tidak mengerti pola pikir remaja jaman sekarang.

Masa bodoh mereka berpikir aku ini galak atau apa. Yang penting, aku melaksanakan kewajibanku sebagai guru. Itu yang terpenting.

Ah, kukira penjelasanku cukup sampai disini saja. Sekarang aku harus mengajar di kelas 2-3, kelas yang paling rusuh sepanjang sejarah Amethyst Senior High School. Itu sih, kata guru-guru. Tapi entahlah. Kelas 2-3 tidak pernah berisik jika aku yang mengajar. Apa mereka takut kepadaku, ya?

"Ah, sudahlah, Sebastian." Aku menggelengkan kepalaku, mengusir bayang-bayang 'guru yang galak' dari benakku. "Rileks, seperti biasa."

Suara kelas 2-3 yang ribut terdengar jelas begitu aku sampai di depan pintu. Aku kemudian mendorong pelan pintu kelas 2-3.

Kriiiiiieeett...
Suasana langsung hening begitu aku memasuki kelas. Beberapa murid stay cool, sementara banyak murid lain yang berwajah pucat dan horror. Apalagi begitu melihatku membawa map berisi hasil ulangan minggu kemarin. Hh... Selalu seperti ini.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapaku dengan senyumku yang biasa.

"S-Selamat pagi, Sir," balas mereka, tampaknya tidak terpengaruh dengan senyumku.

Hh, aku gregetan kalau begini terus. Aku harus berbuat apa sih, supaya mereka nggak usah takut kalau melihatku? Senyum, sudah. Candaan, sudah. Ramah, sudah. Apalagi yang harus kulakukan?

"Saya akan membagikan hasil ulangan minggu lalu," ucapku lagi. Kuletakkan buku-buku yang kubawa di atas meja, lalu aku membuka mapku.

"Hasil tertinggi diraih oleh Ciel Phantomhive, dengan nilai seratus."

Seisi kelas bertepuk tangan pelan dan sebentar. Sangat sebentar. Si pemuda bernama Ciel itu lalu maju ke depan untuk menerima hasil ulangannya. Aku tersenyum, lagi. Si Phantomhive ini selalu mendapat nilai yang bagus. Nyaris semuanya seratus.

"Selamat, Phantomhive," pujiku.

Si Phantomhive hanya mengangguk pelan, lalu buru-buru kembali ke tempat duduknya. Aku menghela napas pelan melihatnya. Apa salahku, sih? Apa mereka membenciku?

Buru-buru kusingkirkan pikiran itu dan mulai membagikan hasil ulangan satu persatu. Nilai mereka bagus-bagus. Aku senang sekali, sangat senang. Yah, inilah perasaan seorang guru kalau murid-muridnya mendapatkan nilai yang bagus. Merasa berhasil dalam mengajar.

"Kita mulai pelajaran hari ini. Buka halaman seratus tiga," perintahku.

Semua mengikuti dengan tertib. Dan pelajaran hari itu dimulai selama dua jam.

Selama dua jam, aku mengajar dengan penuh semangat (menurutku).

Dan selama dua jam pula, murid-murid di kelas ini berwajah pucat dan tidak ada satupun yang bersuara.

Benar-benar suasana yang tidak mengenakkan.

Kriiiiiiiiiiinnngg!

Bel pergantian pelajaran berbunyi dengan nyaring. Nyaris seisi kelas langsung menghela napas lega. Jujur saja, rasanya sakit mendengar mereka menghela napas begitu pergantian jam pelajaran. Rasanya begitu tidak sedih ketika mereka tidak menyukaiku, guru mereka.

"Baiklah Anak-anak, pelajaran hari ini telah selesai. Pe-er halaman seratus tujuh, latihan satu. Sampai berjumpa minggu depan." Aku menutup pelajaran. "Selamat pagi."

Aku membereskan buku-buku serta map yang kubawa, lalu berjalan menuju pintu kelas.

"T-Tunggu, S-Sir!" Seorang gadis berambut pirang kecoklatan beranjak dari tempat duduknya dan berlari dengan kikuk ke arahku. Kalau tidak salah, namanya Sara Framboise.

Aku mengangkat sebelah alisku, heran. "Ya?"

"S-S-Sir! S-s-saya b-belum mengikuti u-ulangan m-minggu k-kemarin k-karena sakit. K-Kapan saya bisa m-mengikuti ulangan susulan?" tanya gadis itu dengan gugup. Ah, dia gagap sekali. Apa takut bicara denganku?

"Hm... Istirahat nanti, kau bisa?" tanyaku. "Jika tidak bisa, pulang sekolah saja."

"K-Kupikir a-aku lebih s-s-siap s-saat pulang s-sekolah. K-Kau tidak k-keberatan k-kan, S-s-sir?" jawab Sara sembari menunduk dalam.

"Tidak apa-apa. Pulang sekolah saja. Temui aku di kantor guru," jawabku sembari tersenyum. "Belajarlah dulu agar kau lebih siap."

"B-b-baik, Sir!"

Aku tersenyum. Kemudian berjalan keluar kelas, menuju kantor guru. Pikiranku melayang pada si gadis Framboise itu. Dia gugup sekali, dan kelihatannya dia pemalu, bukan takut kepadaku. Mungkin saja, kan?
Lagipula, aku jarang melihat si Framboise itu di kantin atau berjalan bersama teman-temannya. Sekali aku pernah melihatnya, dia sedang membaca buku di perpustakaan. Ya ya, mungkin saja dia memang pemalu, bukan takut kepadaku.

Kuharap begitu.

Aku tak ingin semua muridku takut kepadaku. Bisa hancur perasaanku sebagai seorang guru. Aku menggelengkan kepalaku lagi, berhenti berpikir soal guru-galak-yang-ditakuti-muridnya.

"Rileks, rileks!" ucapku pada diriku sendiri. Aku menghembuskan napas, kemudian tersenyum lega. Perasaanku lebih baik setelah menghembuskan napas.

"Singkirkanlah rasa takutmu, Sebastian! Berjuanglah menjadi guru yang terbaik!"

ooo

Tok tok tok.

Pintu ruang guru diketuk pelan. Beberapa guru menoleh ke pintu-termasuk aku, sementara yang lainnya tetap asyik dengan pekerjaan sendiri-sendiri.

Pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok gadis berambut pirang kecoklatan dan bermata hijau lembut. Kedua pipinya bersemu merah, sepertinya dia malu. Aku tersenyum simpul melihatnya. Si Framboise itu benar-benar kemari rupanya.

"P-Permisi..." ucap gadis itu pelan.

"Ya? Ada perlu apa?" tanya Angela yang berada paling dekat dengan pintu.

"U-Uhm... A-Aku... Ng... U-ulangan s-susulan... Mr. Michaelis... Err..." Sara tampak kesulitan menyusun kata-katanya.

"Mr. Michaelis?" Angela mengernyit, kemudian berbalik menghadapku. "Mr. Michaelis, murid ini ada perlu dengan anda."

"Oh... Kau... Murid kelas 2-3, ya? Ulangan susulan?" tanyaku.

"Y-Ya..."

"Baiklah. Ayo kita kerjakan di perpustakaan," ajakku sembari tersenyum. Aku mengambil selembar kertas ulangan dan lembar untuk mengisi jawabannya.

"Saya permisi dulu, Mrs. Angela," pamitku.

"Ya." Angela mengangguk singkat.

"P-Permisi..." pamit Sara gugup.

Aku menutup pintu ruang guru, lalu berbalik menghadap Sara yang sekarang sedang menunduk. Hah, rasanya gadis ini selalu saja menunduk.

"M-Mengerjakannya d-d-di p-perpustakaan?" tanya Sara, masih menunduk.

"Hei, angkat wajahmu. Kau harus mengangkat wajahmu saat sedang berbicara dan kau harus menatap lawan bicaramu," tegurku.

Dengan gemetar, Sara mengangkat wajahnya dan menatapku. Ah... Akhirnya dia mengangkat wajahnya. Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama. Wajahnya mungil, dengan sepasang mata hijau yang agak besar. Poni pirang kecoklatannya cukup panjang, hingga sedikit menutupi matanya.

"S-Sir?" panggil Sara hati-hati.

Aku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya. Aku kita pergi ke perpustakaan."

Aku dan Sara berjalan menuju perpustakaan. Sara mengekor di belakangku, tampaknya dia agak takut kalau berjalan beriringan atau berjalan di depanku.

Perpustakaan saat itu sudah sepi, sangat sepi. Bahkan, Mr. Clause, penjaga perpustakaan, tidak ada di mejanya. Mungkin, dia sedang makan atau istirahat. Bagaimanapun juga membosankan seharian berada di antara buku-buku.

Aku duduk di salah satu kursi yang ada di perpustakaan. Sara dengan takut-takut ikut duduk sembari menggenggam erat pulpennya.

"Ini soalnya, dan lembar jawabannya." Aku memberikan soal dan lembar jawaban itu pada Sara.
Sara menerimanya dengan tangan gemetar-yang jelas-jelas bisa kulihat kalau dia gemetaran. Kemudian, gadis bermata hijau itu mulai mengerjakannya.

Aku mengamati Sara sembari berpikir, apakah gadis ini takut kepadaku atau tidak. Rasanya tidak lucu kalau murid takut pada guru yang jelas-jelas ramah dan baik hati sepertiku ini. Hem... Sebenarnya, apa ya, yang membuat murid-muridku menganggapku galak?

Seingatku, aku tidak pernah marah. Aku malah sangat ramah. Guru-guru yang lain juga bilang begitu. Tapi kenapa murid-muridku bilang aku ini galak? Ah, itu salah satu pertanyaan di dunia yang tak bisa kupecahkan. Benar-benar aneh dan memusingkan.

"S-Sir, s-saya sudah s-selesai," ucap Sara pelan, membuyarkan lamunanku untuk kedua kalinya.

"Ah, cepat sekali," komentarku. Aku mengambil lembar soal dan jawabannya. Ketika aku akan bertanya kepadanya, si gadis Framboise itu buru-buru pamit dan pergi. Atau lebih tepatnya, kabur.

"Ck ck ck. Memangnya, aku sebegitu menyeramkannya, ya?" desahku sebal. Lagi-lagi begini. Tidak ada murid yang tahan bersama denganku. Mereka pasti akan cepat-cepat menyelesaikan urusannya denganku, lalu kabur.

"Hh... Sabarlah, Sebastian..." ucapku pada diriku sendiri.

Merasa tak penting lagi ada di perpustakaan, aku keluar dan berjalan ke kantor guru.

ooo

Hari sudah sore ketika aku berjalan pulang ke rumahku. Aku memang kadang berjalan kaki. Lebih sehat, ketimbang mengendarai mobil atau motor. Lagipula, aku senang memperhatikan suasana di sore hari. Entah kenapa, suasananya terasa... Dramatis.

Ya ya, aku tahu ini terdengar bodoh. Tapi memang begitu pemikiranku soal suasana di sore hari. Langit yang berwarna oranye itu unik menurutku. Terserah kalian mau berpikir apa.

"J-Jangan! I-Itu u-uang untuk m-membeli ob-bat Ibuku!"

"He?" Aku mengernyit mendengar suara itu. Kalau tidak salah, bukankah itu suara si gadis Framboise?
Aku berjalan ke arah suara. Ternyata asalnya dari sebuah gang sempit. Si Framboise itu sedang dikepung tiga orang lelaki kekar. Mereka pasti preman disini.

"Aku tak peduli! Berikan uangmu!" bentak salah satu yang berambut keriting.

"T-Tapi..."

"BERIKAN!" Yang berkulit gelap menarik Sara, kemudian melemparkannya.

Mendidih amarahku melihatnya. Aku langsung menonjok lelaki yang melempar Sara hingga terjatuh. Kemudian, aku menghajar mereka satu persatu hingga babak belur. Sara terduduk di pojokan, kelihatannya dia ketakutan.

"Sara, kau tidak apa-apa?" tanyaku setelah menghajar preman-preman itu.

Sara menggeleng. "T-Tidak. Aku t-tidak apa-apa. T-terima k-k-kasih, S-S-Sir."

"Ya, sama-sama," balasku sembari tersenyum. "Kau mau kemana?"

"Mm... T-Tadi s-s-saya mau m-membeli obat u-unt-tuk I-Ibuku. T-Tapi m-mereka menghala-langiku..." ujar Sara gugup.

"Obat untuk Ibumu?" Aku mengernyit.

"Mm... I-Iya. I-Ibuku s-sakit dan, ng, ak-u m-mau membeli-likannya obat," angguk Sara.
"Apakah mau kuantar?"

"T-Tidak usah!" seru Sara, kemudian berlari cepat meninggalkanku. Aku hanya bisa melongo di tempat.

"Gadis yang aneh..."


Wee!

Satu chapter selesai!

Adakah kritik dan saran? Mikan terima dengan senang hati!

Kamis, 03 Oktober 2013

Have a heart, read this...

Have a heart...read this...

Her dad was a drunk.

Her mom was an addict.

Her parents kept her locked up in an attic.
 
Her only friend was a little toy bear.

It was old and worn out and had patches of hair.

She always talked to it when no one's around.

She lays there and hugs it not a peep of sound.

Until her parents unlock the door... Some more and more pain, She'll have to endure

A bruise on her leg

A scar on her face

Why would she be in such a horrible place?

But she grabs her bear and softly crys

She loves her parents, but they want her to die

She sits in the corner, Quiet but thinking, "Please God, why is my life always sinking? "

Such a bad life, For a sad little kid

She'd get beaten and beaten, For anything that she did

Then one night, her mom came home high

And the poor child was beaten

As hours went by

Then her mom suddenly grabbed for a blade

It was sharp and pointy, It was one that she's made

She thrusted the blade right in her chest, "You deserve to die You worthless pest!"

The mom walked out, Leaving the girl slowly dying

She grabbed her bear and again started crying

Police showed up at the small little house

Then quickly barged in

Everything quiet as a mouse

One officer slowly opened a door

To find the little girl lying on the floor

It must have been bad to go through such harm

But at least she died with her best friend in her arms

A child dies every day from child abuse. There are millions of others just like her, who get abused,or worse. Have you ever took the time to think how lucky you were to have parents that cared for you? And if you have an ounce of pity in you for this little child and hate child abuse with a passion you will help out those abused children and let them know that someone cares for them.I care for them, and i know those who have a heart also feel the same way i do. Together we can save little kids just like this child.

Sad Story

I was walking around in a store. I saw a cashier hand this little boy his money back saying

"I'm sorry, but you don't have enough money to buy this doll."


Then the little boy turned to the old woman next to him: ''Granny, are you sure I don't have enough money?''


The old lady replied: ''You know that you don't have enough money to buy this doll, my dear.''


Then she asked him to stay there for 5 minutes while she went to look around. She left quickly.
The little boy was still holding the doll in his hand.


Finally, I walked toward him and I asked him who he wished to give this doll to.


"It's the doll that my sister loved most and wanted so much for this Christmas. She was so sure that Santa Claus would bring it to her."


I replied to him that maybe Santa Claus will bring it to her after all, and not to worry.


But he replied to me sadly. "No, Santa Claus can't bring it to her where she is now. I have to give the doll to my mommy so that she can give it to my sister when she goes there."


His eyes were so sad while saying this. "My sister has gone to be with God. Daddy says that Mommy is going to see God very soon too, so I thought that she could take the doll with her to give it to my sister.''


My heart nearly stopped.


The little boy looked up at me and said: "I told daddy to tell mommy not to go yet. I need her to wait until I come back from the mall."


Then he showed me a very nice photo of him where he was laughing. He then told me


"I want mommy to take my picture with her so she won't forget me."


"I love my mommy and I wish she doesn't have to leave me, but daddy says that she has to go to be with my little sister."
Then he looked again at the doll with sad eyes, very quietly.


I quickly reached for my wallet and said to the boy. "What if we checked again, just in case you do have enough money?''


"OK" he said "I hope that I have enough." I added some of my money to his without him seeing and we started to count it. There was enough for the doll and even some spare money.
The little boy said: "Thank you God for giving me enough money!"


Then he looked at me and added "I asked yesterday before I slept for God to make sure I have enough money to buy this doll so that mommy can give it to my sister. He heard me!" Pause. "I also wanted to have enough money to buy a white rose for my mommy, but I didn't dare to ask God for too much. But He gave me enough to buy the doll and a white rose.''


"My mommy loves white roses."


A few minutes later, the old lady came again and I left with my basket.


I finished my shopping in a totally different state from when I started. I couldn't get the little boy out of my mind.


Then I remembered a local newspaper article: 2 days ago, which mentioned of a drunk man in a truck, who hit a car, where there was one young lady and a little girl.


The little girl died right away, and the mother was left in a critical state. The family had to decide whether to pull the plug on the life-assisting machine, because the young lady would not be able to recover from the coma.


Two days after this encounter with the little boy, I read in the newspaper that the young lady had passed away.


I couldn't stop myself as I bought a bunch of white roses and I went to the funeral home where the body of the young woman was exposed for people to see and make last wishes before burial.
She was there, in her coffin, holding a beautiful white rose in her hand with the photo of the little boy and the doll placed over her chest.


I left the place, teary-eyed, feeling that my life had been changed forever. The love that this little boy had for his mother and his sister is still, to this day, hard to imagine. And in a fraction of a second, a drunk driver had taken all this away from him.


Drinking and driving is a gamble that you just can’t win. So don't gamble with your life or someone else's. If you're gonna gamble with your life, fine, its not my problem, you had a choice and you picked the wrong and stupid one. The only thing i'm concerned about is when you gamble, you pull someone else's life in the middle. Don't let yourself live with that regret, because if you do you won't be able to live with yourself. Knowing you killed someone because of your stupid decision, how can you live like that?

Now you have 2 choices:

1) Repost this message.
2) Ignore it as if it never touched you. Have a heart.

Rabu, 02 Oktober 2013

Pandora Hearts Retrace 82 Page 63

Yo...
Mikan lagi iseng-iseng translate manga. Dan ini hasilnya! (hancur berantakan!)


Crimson Sapphire itu nama translationnya Mikan. Maksudnya, kan tiap translator punya nama sendiri-sendiri. Dan nama translator Mikan itu Crimson Sapphire. Ntar Mikan bikin deh blognya!

Gimana menurut kalian?