Kamis, 28 Maret 2013

Sorry (Chapter 3)

- Len PoV-

Aku menatap kerumunan di depanku. Pikiranku melayang pada sikap Rin tadi, yang bisa kubilang ANEH. Kenapa ia dua kali ke toilet? Dan... Hei, kenapa ia dan Gumi belum kembali? Baru saja aku akan bertanya, sosok Rin sudah ada di ambang pintu.
"Rin? Mana Gumi?" tanya Meiko.
"Gumi belum kembali?" Rin balik bertanya dengan raut wajah bingung, namun terlihat aneh di mataku.
"Bukankah kau tadi bersamanya?" Kali ini Kaito yang bertanya.
Rin menggeleng. "Tadi, aku tidak jadi ke toilet dan memutuskan ke kantin. Tapi Gumi tetap ke toilet. Kupikir ia sudah kembali."
"Gumi belum kembali," ucapku. Rin mengernyitkan dahi, heran.
"Kalau begitu, kita susul aja ke toilet," usul Miku.
"Ya sudah. Ayo, mumpung belum masuk." Kaito menyetujui.
Akhirnya, kami pun pergi ke toilet. Aku masih memandangi Rin dengan aneh. Dia tampak heran, bingung, tapi juga terlihat tenang. Dan... Mengerikan.
"Len? Ada apa memandangiku terus?" tanya Rin.
"Eh? Tidak, tidak apa-apa," tukasku. Rin hanya tersenyum seperti biasa. Akhirnya, kami tiba di toilet anak perempuan.
"Gumi tadi ke toilet yang mana?" tanya Luka.
"Aku enggak tahu. Aku enggak nganterin dia sampe toilet," jawab Rin.
"Kita coba saja satu-satu," usul Meiko. Hanya ada tiga toilet di sekolah ini. Luka, Miku, dan Meiko segera membuka satu-satu. Aku bisa melihat, pupil mata Rin membesar.
"KYAAAAA!" pekik Miku histeris.
"Ada apa?!" tanyaku dan Kaito.
"Gu-Gumi..." Miku menunjuk ke toilet itu dengan histeris. Wajahnya pucat sekali. Kami segera melihat ada apa di toilet itu. Itu... Mayat Gumi! Kepala dan tubuhnya terpisah. Rin, Luka, dan Meiko menjerit. Sementara Miku menangis tersedu-sedu.
"Kenapa bisa begini?!" tanya Kaito kaget.
"A-Aku tidak tahu... Begitu aku membuka pintu toiletnya, sudah seperti ini..." jawab Miku lirih.
Aku berpikir keras. Pasti ada yang membunuh Gumi. Pasti. Tidak mungkin ia bunuh diri. Matanya masih terbelalak.
"Kalian beritahu guru soal hal ini. Sementara aku, Rin, dan Meiko akan disini," perintahku. Teman-temanku mengangguk setuju. Kalian tahu alasanku? Aku memilih Rin dan Meiko untuk disini, karena setidaknya mereka cukup pintar, dan suka menyelidiki sesuatu. Dan tidak cengeng. Yah, setidaknya itu alasanku.
Guru-Guru berdatangan. Mereka histeris, beberapa ada yang nyaris pingsan. Kami segera ditanyai macam-macam oleh guru. Kepala Sekolah lalu memanggil polisi untuk meneliti kasus ini, kami dibolehkan pulang.
"Bagaimana kalau kita kumpul di cafe dulu?" ajak Meiko.
Kami semua setuju dengan usul Meiko. Akhirnya, kami langsung ke cafe yang tak jauh dari sekolah, dan sekaligus sebagai tempat favorit kami.

- Len Pov End-
- Normal PoV-

Cafe
"Kematian Gumi sangat aneh, yah begitu," ujar Kaito.
"Ya, siapa yang membunuhnya?" tambah Luka.
"Belum tentu ia dibunuh! Siapa tahu ia bunuh diri!" sela Rin dengan sengit.
"Bisa saja! Memang kau ada bukti apa kalau Gumi bunuh diri?" tukas Len.
"Kalau Gumi dibunuh, siapa pembunuhnya?! Tidak mungkin murid-murid sekolah!" kata Rin sengit.
"Tidak mungkin bunuh diri, Rin," kata Len dengan nada lebih lembut. "Tidak ada benda tajam di TKP tadi. Ya kan, Meiko?"
Meiko mengangguk mengiyakan. "Betul kata Len. Kalau Gumi bunuh diri, tidak ada satupun benda tajam di toilet tempat mayat Gumi."
Rin diam, merasa kesal. Len memandang Rin dengan heran. Saudari kembarnya ini sangat aneh sekarang.
"Kalian ternyata berkumpul di cafe ini."
Len, Rin, Miku, Kaito, Meiko, dan Luka menoleh. Neru, dengan senyumnya yang biasa. "Rin, aku ingin bicara denganmu."
Rin mengangguk, lalu berdiri dan berjalan ke arah Neru. "Lebih baik jangan disini, oke?"
"Baiklah, Rin." Neru tersenyum. Rasanya, Rin muak sekali melihat senyum itu. Rin dan Neru lalu berjalan ke gudang kosong tak terpakai. Rin yang memilihnya, mereka masuk ke dalamnya.
"Ehm, kenapa harus disini, Rin?" tanya Neru sambil terbatuk-batuk karena gudang itu penuh debu.
"Sebelumnya, kenapa kau mengajakku bicara?" Rin balik bertanya.
"Begini, hal apa saja yang kau sukai?" tanya Neru.
Pupil mata Rin membesar. Ia tampak marah. "Hanya itu?! Kau mengajakku bicara hanya untuk menanyakan ini!? Bodoh!"
"Bukan begitu maksudku, tapi..." Neru tidak melanjutkan perkataannya. Karena Rin tiba-tiba mengeluarkan katana dari balik bajunya. Entah bagaimana ia membawanya, karena katana itu sangat berat. "R-Rin, apa y-yang akan k-kaulakukan dengan k-katana itu?" tanya Neru ketakutan.
"Apa? Tentu saja membunuhmu," Rin tersenyum licik. Neru terbelalak. Dengan cepat, Rin menghunuskan katananya dan menebas tangan kiri Neru hingga tangan malang itu terpisah dari tuannya. Neru menjerit kesakitan.
Rin bergerak dengan cepat, memegang kepala Neru dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang katana. "Menjeritlah, Neru," perintah Rin dengan nada mengerikan. Dengan sekali tebas, Rin memotong pergelangan kaki Neru.
"AAAAA!" jerit Neru kesakitan. Di saat itu, Rin langsung memotong lidah sang penjerit. Dengan wajah kejam, Rin memotong Neru berkali-kali sampai Neru tinggal potongan-potongan daging.
"Hahaha! Bagus sekali!" tawa Rin dengan keras, di hadapan mayat Neru yang sangat mengerikan. "Tapi, uh, bajuku ternoda darah. Teman-temanku pasti curiga," gumam Rin.
Rin mulai menggeledah gudang itu, dan menemukan pakaian. Sepertinya, masih baru, entah bagaimana. Tapi Rin tidak peduli. Ia segera memakainya dan meninggalkan seragamnya begitu saja. Ia menyeringai. "Dua orang sudah kubunuh. Tunggulah, cepat atau lambat aku akan membunuh kalian," seringainya, lalu meninggalkan gudang dan mayat Neru.

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar