Jumat, 08 Maret 2013

Detik demi Detik Ini (2)

   Aku membuka pintu kamar, dan kaget setengah mati melihat Aleyna. Aleyna! Dia memegang pisau dapur, dan akan menusukkannya ke jantungnya.
    "Jangan, Aleyna!" pekikku. Aku mendorong kursi rodaku, lalu menjatuhkan diri ke Aleyna, merebut pisau itu dari tangannya. "Jangan lakukan ini, Leyna. Kamu enggak boleh bunuh diri. Bunuh diri itu dilarang Allah."
    "Aku ingin ketemu Ayah, Ibu, dan Siera! Enggak ada gunanya aku hidup di dunia ini. Semua udah pergi ninggalin aku. Aku enggak mau hidup!" jerit Aleyna.
    "Kamu masih punya aku, Leyna. Jangan pergi ninggalin aku, Leyna. Aku mohon jangan." Aku memeluk Aleyna, berusaha menenangkannya.
 Aleyna masih menangis menjerit-jerit. Mentalnya betul-betul terganggu. Walau aku tak mau mengatakan ia gila. TIDAK. Aku tidak akan mau mengatakan adikku sendiri gila. Aku yakin ia hanya terpukul.
    "Kalian berisik sekali!" Terdengar suara Bibiku, Bibi Vias. Ia berdiri di ambang pintu, berkacak pinggang. "Kau harusnya bawa adikmu ke rumah sakit jiwa. Ia sangat mengganggu disini," kata Bibi Vias sambil menatapku dengan sinis.
    "Adikku tidak gila!" seruku marah, karena Bibi Vias seolah-olah menujukkan bahwa Aleyna gila.
    "Kalau begitu, jaga adikmu agar tidak berisik. Sejak kalian disini, kalian begitu mengganggu," kata Bibi Vias sinis, ia lalu beranjak dan pergi, meninggalkanku yang terpaku dan Aleyna yang menangis sesenggukan.
    "Tenang, Aleyna. Jangan menangis lagi. Ssh..." Aku mengelus Aleyna dengan lembut, membuat gadis itu mulai tenang.
    Aku menghela napas sambil terus mengelus Aleyna. Aleyna... Gadis itu seharusnya sudah kelas 5 SD. Dan bersekolah bersama teman-temannya. Sayangnya, mental Aleyna tak memungkinkannya untuk sekolah. Dan lagi, tak ada yang membayar iuran sekolah Aleyna.
     Jadi, aku mengajarinya materi kelas 5. Dia lumayan mengerti, sekalipun tak begitu menyimak penjelasanku.
     Dan aku sendiri, seharusnya aku sudah kelas 1 SMP. Tapi, aku tidak sekolah. Tentu akan sulit sekali bersekolah dengan kursi roda begini. Dan lagi-lagi, tak ada yang membayar iuran sekolahku.
    Aku menerawang, mengingat masa-masa indah bersama Ayah, Ibu, dan Siera. Serta Aleyna. Disaat keluarga kami masih lengkap, rasanya penuh kebahagiaan. Nasehat Ayah, cerita Ibu, canda tawa Siera... Semua itu masih tertanam di benakku. Tak akan bisa kulupakan. Kenangan-kenangan manis, yang sekarang justru membuat diriku menjadi lemah.
   "Kakak..." ucap Aleyna pelan, membuyarkan lamunanku.
   "Ya, Aleyna?" tanyaku lembut.
    "Aku kangen Ayah, Ibu, dan Siera. Boleh.. Bolehkah besok aku ke makam Ayah, Ibu, dan Siera?"
 Aku terdiam sesaat. Baru kali ini Aleyna berbicara jelas dan lancar. Aku menatap Aleyna. Mata Aleyna yang bulat terus menatapku, menantikan jawaban dari mulutku.
    Aku tersenyum. "Boleh. Kakak akan temani kamu, ya."
    Aleyna tersenyum lebar. "Terima kasih, Kakak!"
    Aku mengangguk, dan Aleyna memelukku. Entah kenapa, kali ini dia tak seperti kemarin-kemarin. Tapi, aku bersyukur akan hal itu.
    Tes!
    Darah segar mengalir dari hidungku. Aku terkejut, begitu pula Aleyna.
   "Hidung Kakak... Berdarah,"; desis Aleyna.
    Aku mengangguk. "Kakak mimisan. Tenang, tak apa-apa."
    Aku berusaha tak panik. Aku mengambil sapu tanganku dan mengelap darah dari hidungku. Aku menahan napas dan mendongak, agar darah dari hidungku berhenti mengalir. Darah itu berhenti mengalir juga akhirnya.
    "Sudah berhenti kan, Aleyna?" ujarku sambil tersenyum, melihat Aleyna yang pucat.
    Aleyna mengangguk, dengan agak takut. Sepertinya, ia syok melihatku mimisan dan darah yang keluar. Bagaimanapun juga, ia takut darah semenjak kecelakaan itu. Aku memeluk Aleyna yang ketakutan. Ah, tiba-tiba saja aku menjadi sangat sangat kangen Ayah, Ibu, dan Siera. Bagus juga usul Aleyna untuk ziarah ke makam mereka.
***
    Makam Ayah, Ibu, dan Siera tampak jelas di mataku. Aleyna mendorong kursi rodaku dengan perlahan. Ia menghentikkannya tepat di depan makam 3 orang yang kucintai, yang telah pergi untuk selamanya.
    Aku bersyukur karena mendapat izin untuk ziarah dari Bibi Vias. Tadinya kupikir ia tak mengizinkan.
 Aleyna bersimpuh di makam Ayah, lalu tertawa. "Ayah..." bisiknya. "Aku sehat-sehat saja bersama Kak Allie. Ayah sehat, kan?"
    Rasanya, hatiku pilu mendengar ucapannya. Aleyna menganggap seolah Ayah masih hidup. Dua butir air mata jatuh di pipiku. Cepat-cepat aku menyekanya.
   "Aleyna," ucapku. "Kita baca surah Al-Fatehah, ya? Kita doakan Ayah, Ibu, dan Siera agar tenang di sisi Allah."
   Aleyna mengangguk. Kami mulai membaca surah Al-Fatehah dan mendoakan Ayah, Ibu, dan Siera.
   "Aamiin," Aku dan Aleyna mengakhiri doa kami.
   "Kakak," Aleyna menoleh ke arahku. "Menurut Kakak, Ayah, Ibu, dan Siera sekarang di surga?"
   "Mudah-mudahan ya, Sayang. Makanya kita doakan terus mereka, ya?"
    Aleyna mengangguk. Ia beralih ke makam Siera. Aku menghela napas. Ingin rasanya kucium nisan Ayah, Ibu, dan Siera. Namun, kondisiku tidak memungkinkan.
    "Uhuk!" Aku menutup mulutku, karena batuk. Dan, aku kaget sekali saat melihat tanganku. Darah. Batuk darah? Bagaimana mungkin?
    "Kakak kenapa?" tanya Aleyna.
    "Eh? Tidak, tidak apa-apa. Cuma batuk, kok," jawabku sambil tersenyum. "Kamu berdoa lagi, gih. Kakak enggak kenapa-napa, kok."
    Aleyna mematuhiku. Ia berdoa kembali. Aku sebetulnya sangat cemas. Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu. Ibu pernah bilang padaku, dulu ia menderita leukemia dan sekarang sudah sembuh. Apakah... Apakah Ibu menuruni penyakit itu padaku?!

#bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar