Minggu, 29 Juli 2012

Panggung Di Kelas (2)

Meisha cengar-cengir. Jerry tiba-tiba hampirin kami.
"Berisik banget dah, Pelangi Loncat! Loncat dong, dari genteng. Biar gak berisik lagi, hehehe.." kata Jerry setengah bercanda.
"Mati atuh," protes Veisha.
"Lagian, berisik banget, sih. Eh, katanya kan, Mrs.Qeila pergi," kata Jerry agak berbisik.
Hah? Mrs.Qeila pergi? Berarti... "Yey! Bebas!!" seruku gembira.
Alice, kembar Isha, Serenity, dan Jerry bengong. Aku masih loncat-loncat gembira. Yaa, karna ini kita namanya Pelangi Loncat (?). Alice langsung menepuk-nepuk bahuku.
"Setan, keluarlah dari July. Hai setan, keluarlah dari jangan rasukin July! Masuk ke Meisha aja, jangan ke July," kata Alice sok serius, mirip dukun (?). "Keluarlah, dengan semburanku setan akan keluar,"
Buuuh! Aku langsung berhenti loncat-loncat. "Woi! Woi! Sadar dari alam baka! (?) Aku gak kemasukan, woi!"
Alice berhenti ngomong. "Lagian, sih! Loncat-loncat kayak setan,"
Aku mau ngomong, tapi dipotong Leisha. "Namanya juga Pelangi Loncat, hehe.." potong Leisha.
Aku tertawa kecil. Gak tau kenapa, beberapa anak masuk sambil berteriak kayak orang gila (?).
"Semuanya!! Kata Mrs.Qeila kita boleh bikin panggung!! Bikin panggung! Kata Mrs.Qeila!! Yey! Yey!" seru Thompson.
"Iya! Bebas! Kita boleh pulang jam berapa aja! TERSERAH!!" sambung Kanita.
Beberapa anak bersorak gembira. Putra, Keiko, dan Serilyn si geng bandel, langsung mengambil tas dan PULANG. Namanya juga geng bandel. Hei hei, maksudnya panggung itu apa?? Oho, Mrs.Qeila udah memulai ini sejak awal sekolah.
Di beberapa hari Sabtu, kami boleh menaikan kursi dan meja. Menatanya sehingga seperti panggung. Sesuka kami, yaah Mrs.Qeila memang baik.
"Asyik! Panggung! Aku bisa tunjukan suaraku sekarang juga!" sorak Veisha gembira.
Veisha memang paling pandai menyanyi.
"Aku yang memotretnya, siapa tahu menarik," tawarku.
Aku memang pemotret yg baik. Aku selalu membawa kamera kesayanganku kemanapun. Sebuah kamera digital berwarna biru, yang selalu aku kalungkan di leherku.
"Terserah," jawab Veisha.
"Hei, jangan ngobrol. Kita harus membantu mereka menyusun meja," tegur Jerry.
"Aku tidak mau. Kameraku bisa pecah kalau terantuk meja," tolakku.
"Pemalas," gerutu Jerry.
Aku hanya cengar-cengir. Alice menarikku sampai aku nyaris terjatuh.
"Alice! Jangan tarik aku, ah! Tanganku lepas nanti," protesku.
"Aku saja yang pegang kameramu! Kau yg bantu mereka bereskan meja!" kata Alice sambil mengambil kameraku.
"Hei hei! Jangan rebut kameraku! Itu kamera turun-temurun keluarga Scamander!" Aku berusaha mengambil kameraku dari Alice.
"Kau kan kuat, kau saja yg bereskan meja. Tanganku tidak kuat menggeser meja berat, itu! Tak ada meja seberat meja kelas kita, aku pikir meja sebelah lebih ringan," kata Alice.
Yah, memang benar sih. Meja kelas kami yg beratnya nggak ketulungan. Kelas-kelas lain, tak ada yg mejanya seberat kami. Kata Mrs.Qeila, biar nggak ada yg mencuri meja kelas kami (?). Sama sekali nggak masuk akal.
Aku bergabung dengan teman-temanku yg menyusun meja.
"Hai, Loon! Akhirnya bergabung juga, tenaga raksasa," sapa Ardy.
"Terserah," ujarku cuek.
Aku memang sering disebut 'tenaga raksasa' oleh teman-temanku. Entah kenapa, kata mereka gara-gara tenagaku yg lumayan kuat. Lebih kuat dari anak lelaki malah. Entahlah. Aku nggak yakin akan hal itu, terserah mereka.
Setelah mungkin setengah jam, panggung meja udah berdiri.
"Yes! Udah berdiri, yes yes!" sorakku gembira.
Aku menghampiri Alice yang memainkan tali kameraku. "Alice, kameraku,"
Alice memberikannya. Ia masih bengong, entah kenapa. Veisha langsung loncat menaiki panggung. Aneh, biasanya ia paling payah dalam memanjat.
"Penonton! Aku mau nyanyiin lagi, request lagu apa nih??" seru Veisha seolah ia penyanyi terkenal, penyayi gadungan.
Tapi, suara Veisha memang lumayan. Kira-kira setara sama Rossa (?).
"Chaiya Chaiya tapi bahasa India! Huahaah!" seru Meisha.
"Gak jaman! Penonton, gimana kalau Karna Kusanggup?"
Huaah, aku males liatnya. Jadi, aku bikin kerajaanku sendiri (?). Aku menaikinya, lalu bersender di kursinya. Tiba-tiba.. BRAK!! Kursi yg aku duduki jatuh kebelakang.
"Waa!" jeritku kaget.
Ah, ceroboh. Harusnya aku memilih kursi yg ditembok, bukan di pinggir! Alice dan Serenity membantu aku berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Serenity.
Aku mengangguk-angguk, walaupun kepalaku sedikit pusing. Alice masih tertawa.
"Hahaha! Untung kameramu nggak pecah!" tawa Alice.
Ah, kamera! Aku memeriksa kameraku. Fyuuh, syukurlah tidak pecah atau lecet.
"Hei fotografer! Foto aku, dong!" pinta Veisha dari atas panggung somplak.
"Ya," jawabku singkat.
Aku bangun, dan menoleh ke arah kursi yg terjatuh.
"Alice, hmm, angkat kursi itu, ya?" pintaku pelan.
"Tapi kan..."
"Hei, aku kan sudah menggantikan tugasmu tadi," protesku.
Alice mengangguk pasrah. Aku berjalan ke depan panggung. Veisha mulai menyanyi lagu aneh. Sepertinya lagu bahasa Korea, entahlah. Aku mencari posisi yg tepat, dan.. JEPRET! *gak tau gimana bunyi foto. Foto keluar. Jerry yg ada disampingku, langsung merebut fotonya.
"Jangan direbut!" seruku kesal.
Jerry tak menghiraukanku. Ia menatap foto di tangannya.
"Lumayan bagus, kau berbakat jadi fotografer, atau wartawan," komentar Jerry.
Aku tak menanggapi, pura-pura memperhatikan Veisha. Aku mengalihkan pandanganku, melihat sekeliling siapa tahu ada gambar bagus. Tak ada, hanya ada 'pemandangan' rusuh. Menyebalkan. Aku paling kesal kalau tak menemukan tempat untuk memotret.
Seseorang mencoleh bahuku. Aku menoleh. Alice, Leisha, Meisha, dan Serenity.
"Foto kami berempat, dong!" pinta Meisha.
Aku hanya mengangguk. Alice, kembar Isha, dan Serenity bergaya. JEPRET! Aku memotret mereka. Foto keluar, aku mengambilnya. Alice, kembar Isha, dan Serenity berebut melihatnya.
"Awesome!" puji Meisha.
"Aku akan pajang ini di pondok Peloncat," komentar Serenity.
Pondok Peloncat adalah rumah pohon tempat kami berenam berkumpul.
"Ya,"
Iseng-iseng, aku memotret ke atap kelas kami yg bolong. JEPRET!
"Motret apaan?" tanya Jerry.
"Genteng," jawabku.
"Kurang kerjaan,"
Aku menggerutu kesal, bukan karena Jerry. Melainkan fotonya yg tak kunjung keluar.
"Uuh, sial, fotonya nggak keluar," umpatku kesal.
"Film-nya habis mungkin?" ujar Alice.
Aku mengangkat bahu. Aku menggoyang-goyangkan kameraku. Tak keluar juga.
"Aku akan minta Peter memperbaikinya," gumamku.
"Peter? Kakakmu?" tanya Leisha.
Aku mengangguk. "Dia pintar memperbaiki barang,"
"Kata siapa kameramu rusak, Loon? Fotonya keluar!" seru Alice.
Hah? Aku memeriksanya. Benar, aku langsung mengambil fotonya. Tak memperbolehkan siapapun melihat hasilnya. Wajahku pucat melihat hasilnya.
"Kenapa?" tanya Serenity.
Aku masih pucat. Tak sabar, Serenity merebut fotonya. Wajahnya ikut pucat, bersama Alice, Leisha, dan Meisha. Jerry yg memperhatikan kami heran.
"Hei! Pada kenapa, sih?" tanya Jerry.
"Sejak kapan kelas kita ada hantunya?" Aku balik bertanya.
Jerry bingung. Ia merebut foto di tangan Serenity. Wajahnya ikut pucat. Sesaat kemudian, anak-anak lain ikut melihat. Yah, jelas saja mereka pucat. Di fotoku, ada kepala di atap yg bolong! Entah kepala siapa, tidak jelas.
Sedetik kemudian, kami berlari keluar sambil berteriak ketakutan.

2 komentar:

  1. Lanjuut, seru banget ceritanya !
    Kirain bakal happy alurnya, taunya sama aja..

    BalasHapus